Jakarta, 1 Juli 2014 (Ujang Rusdianto) - Bukan pembahasan baru, jika pemberdayaan
masyarakat harus pula melibatkan masyarakat di dalamnya. Sudah seharusnya pula,
bahwa pembangunan di berbagai bidang sekarang ini menitikberatkan pada
pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan.
Harus kita akui, keberhasilan suatu program
pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran serta
masyarakat, sebab peran serta masyarakat yang diabaikan dalam pembangunan, rentan
dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan dari pembangunan yaitu upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan dilibatkannya masyarakat dalam
pembangunan diberbagai sektor, diharapkan akan kembali memberikan manfaat
kepada masyarakat, dimana masyarakat berkesempatan memberikan pengawasan
terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. Selain itu, motivasi untuk
menjaga dan memelihara hasil-hasil pembangunan juga akan semakin tinggi dimana
pembangunan tidak hanya bersifat pembangunan fisik saja, namun juga dapat
bersifat pembangunan partisipasi publik juga sangat diperlukan.
5 Bias Pemberdayaan Masyarakat
Harus disadari, bahwa dalam proses pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan sekarang ini terdapat adanya berbagai bias
terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Pertama, adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan
lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada
dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi
sosialnya. Akibat dari anggapan itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan
menurut jalan pikiran yang demikian.
Kedua adalah anggapan bahwa pendekatan
pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan
aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang
mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat. Sementara itu, pembangunan
masyarakat di tingkat bawah seringkali dianggap lebih memerlukan bantuan
material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering
mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan
keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia, dan
mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
Ketiga adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang
diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka
harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan
meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini tercermin pada reaksi pertama
terhadap program Inpres Desa Tertingal (IDT) yang meragukan apakah tepat
masyarakat miskin dipersilahkan memilih sendiri bagaimana memanfaatkan dana
bantuan yang diperolehnya. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek
pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan
masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai objek
dan bukan subjek pembangunan.
Keempat adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan,
misalnya ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang
segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat,
akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih
lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang
lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang
sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari
pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.
Bias terakhir atau kelima adalah adalah anggapan bahwa sektor
pertanian dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan
memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan
investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra
dengan petani dan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan perdesaan dipandang
tidak menguntungkan dan memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah
mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh
membangun usaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan.
Prinsip Dasar sebagai panduan
Program pemberdayaan yang idel bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat dalam membangun kapasitas mereka untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kehidupannya secara mandiri sehingga secara tidak langsung
dapat meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi daerah dan pengentasan
kemiskinan. Untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, ada beberapa
prinsip dasar yang harus kita perhatikan.
Pertama, pendekatan Partisipatif. Dalam hal ini target kelompok masyarakat
harus benar-benar didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam proyek. Kedua, transparansi. Dimana setiap perubahan pelaksanaan proyek perlu
diberitahukan dengan baik; aktif dalam kegiatan hubungan masyarakat. Ketiga, akuntabilitas. Mempertanggungjawabkan setiap pemanfaatan dana,
melakukan audit keuangan. Keempat, berorientasi lapangan dan pemanfaatan smber
daya lokal. Dalam hal ini seluruh kegiatan perlu mempertimbangkan situasi,
tradisi, dan nilai-nilai setempat termasuk ketika melakukan pemilihan mesin dan
peralatan perlu mempertimbangkan aspek pemeliharaan dan perbaikan yang dapat
dilakukan secara lokal setempat. Kelima, berkesinambungan. Ini merupakan upaya penting,
dimana berbagai kegiatan proyek seyogyanya dapat dipertahankan oleh masyarakat
walaupun telah berakhirnya proyek tersebut. Prinsip terakhir
atau keenam, membangun kemitraan.
Seluruh pihak yang terlibat berupaya sekuat-kuatnya untuk bekerjasama secara
gotong royong. (UR)