Sebagian besar dalam melaksanakan CSR (Corporate
Social Responsibility), perusahaan seringkali menyatakan bahwa mereka
membuka peluang kerjasama dengan Civil Society Organization (CSO), namun
kadang mereka juga mengaku mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan CSO.
Hambatan utama yang kerap muncul dalam
komunikasi dengan CSO itu sebenarnya karena adanya penilaian dari kalangan
pelaksana CSR yang cenderung negatif terhadap CSO.
Penilaian itu setidaknya didasari oleh
beberapa hal. Pertama, CSO dianggap hanya ahli di pengembangan konsep
dan penyajian presentasi namun kurang mendalam pada kerja-kerja pelaksanaan di
lapangan, seringkali utopis, tidak praktis, dan tidak aplikatif di lapangan.
Kedua, CSO mengembangkan program yang
tidak sesuai dengan prioritas perusahaan, terlalu fanatik untuk memperjuangkan
isu yang diusung dan kurang melihat isu lain yang sedang berkembang, lebih
banyak mengusung isu advokasi, namun sedikit yang mengusung isu pembangunan.
Ketiga, CSO seringkali terlalu
independen, dan tidak mampu mengembangkan skema kolaboratif. Terakhir atau Keempat,
CSO kurang profesional, kurang kompeten dalam hal administrasi, dokumentasi,
pelaporan dan publikasi.
Namun dalam kerjasama itu, mereka juga
mengajukan beberapa syarat pada CSO dan kadang ini yang kurang dipahami oleh
CSO. Perusahaan menyarankan agar dalam kolaborasi dengan CSO dipenuhi beberapa
syarat di antaranya; Kerjasama harus dibangun dalam skema mutual-benefit; CSO
harus profesional dan mampu menjaga komitmen dalam kerjasama, mau memahami dan
menyepakati prosedur dan mekanisme CSR; CSO mesti fokus pada penerima manfaat,
bukan kepentingan organisasinya saja dan dapat mengisi kekurangan perusahaan
dalam memahami masyarakat secara mendalam; CSO mampu mensinergikan kepentingan
sosial dan bisnis dari perusahaan.
Sudut Pandang CSO
Sebaliknya, dari sisi CSO memiliki
pandangan yang sama mengenai kesulitan dalam berkomunikasi dengan perusahaan.
Pandangan kritis yang muncul dan santer
disuarakan, CSR dianggap hanyalah sebuah bagian dari upaya pencitraan korporat
semata, hanya kosmetika dari upaya kapitalisasi, dan hanya merupakan alat untuk
‘menjinakkan’ masyarakat saja.
Pandangan kedua, CSR tidak dikelola
secara transparan dalam penyajian informasi dan laporan, dan dikelola dengan
skema birokratis korporat. Ketiga, CSR dianggap masih merupakan program
karikatif, memberi ikan bukan kail dan tidak memberdayakan masyarakat dalam
jangka panjang.
Keempat, CSR kurang dapat memahami dan
mengakomodasi keunikan dan karakteristik dari program-program yang dilaksanakan
CSO. Terakhir, CSR selalu memilih wilayah program yang menguntungkan mereka,
seperti sekitar lokasi usaha dan menutup mata terhadap wilayah lain yang lebih
membutuhkan.
Namun kadang terjadi friksi manakala CSO kemudian
memandang bahwa pendanaan CSR dianggap cukup potensial untuk membangun proyek
percontohan untuk isu-isu penting pada tingkat lokal.
Sama seperti perusahaan, CSO juga menyarankan
untuk membangun kerjasama dengan beberapa catatan, antara lain sebagai berikut;
CSO harus selektif dalam mengembangkan kerjasama dengan perusahaan yang tidak
bertentangan dengan visi. Misi dan nilai-nilai CSO; beberapa CSO menyatakan
sangat terbuka untuk bekerjasama dengan CSR dari BUMN; Perlunya peningkatan
transparansi dan keterbukaan informasi pengelolaan CSR bagi kepentingan publik;
Harus terbangun kesepakatan mekanisme yang utuh bagi pelaksanaan program CSR
oleh CSO.
Hambatan Komunikasi antara CSR dan CSO
Kenyataan tersebut di atas menggambarkan
bahwa faktor yang menghambat dalam komunikasi dan sinergi antara CSR dan CSO
bersumber pada tiga faktor, yaitu faktor ideologis, faktor budaya organisasi,
dan faktor skema dan mekanisme kerja.
Faktor ideologis, menyangkut cara pandang
dan konsekwensi tindakan terhadap realitas sosial. Masalah ideologis menjadi
sulit dipecahkan karena menyangkut keyakinan atas satu nilai dan paham
tertentu. Namun demikian, spektrum aliran CSO sangat luas, seperti halnya aneka
ragam karakteristik perusahaan, sehingga tetap bisa ditemukan irisan sinergi
untuk CSO dan CSR yang tidak mengalami problem ideologis dalam mengembangkan
kolaborasi.
Faktor budaya organisasi, di mana ada
perbedaan antara CSO yang lebih ‘egaliter’ dengan perusahaan yang memiliki
prosedur hirarkis yang jelas dalam tata kelola. Sesungguhnya yang terjadi dalam
konteks ini berimplikasi terhadap aspek psikologis. Hal ini bisa diatasi dengan
mengintensifkan proses saling memahami di antara kedua belah pihak agar faktor
perbedaan budaya organisasi tidak menjadi hambatan dalam menemukan skema dan
mekanisme kerjasama untuk kepentingan yang lebih besar.
Faktor skema dan mekanisme kerjasama,
yang merupakan faktor praktis. Seringkali hal ini bersumber pada masalah belum
adanya keterbukaan informasi dan belum ditemukannya saluran dan frekuensi
komunikasi yang tepat. Oleh karena ketidaktahuan dan tidak adanya media
komunikasi yang sesuai maka kolaborasi sulit untuk diwujudkan. Pada faktor
ketiga ini pencarian model kolaborasi yang tepat menjadi faktor kunci.