https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/
Minggu, 15 Mei 2016 - Sebelum menulis buku
ini, penulis tertarik dengan pertanyaan dalam diskusi
akademis, pertanyaanya; Berapa banyak perusahaan di Indonesia mengiklankan
produk atau jasa mereka? Jawabannya bisa tak terhingga, karena faktanya memang
banyak perusahaan yang telah mengiklankan produk atau jasa mereka pada
konsumen, bentuk dan strategi iklan yang dipilih pun juga beragam.
Namun,
jika pertanyaan yang diajukan berubah menjadi berapa banyak perusahaan di
Indonesia yang mengkomunikasikan perusahaan mereka sendiri? Berapa banyak
pula perusahaan yang “berani” mengkomunikasikan kinerja CSR yang
sesungguhnya? Mungkin jawabannya bisa dihitung dengan jari.
Pemicu lainnya terbitnya
buku ini, membaca artikel Jannus Siahaan (Koran Tempo, 14 Mei 2008). Di tengah
hiruk pikuknya iklan-iklan bertema lingkungan dan CSR (Corporate Social
Responsibility), ia mengingatkan bahwa banyak sekali kemungkinan
iklan-iklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra belaka.
Secara khusus, Jalal
dari Lingkar Studi CSR juga me-review tulisan Jannus dengan judul “Menelanjangi
Perusahaan yang Berintensi Buruk.” Dalam tulisannya, Jalal
mengungkapkan bahwa banyak perusahaan yang ”sadar” kalau mereka melakukan
intervensi dalam citra belaka— bukan kinerja CSR sebenarnya—maka mereka juga
bisa mendapatkan keuntungan yang sama, bahkan dengan biaya jauh yang lebih sedikit.
Perusahaan seperti
inilah yang kemudian gencar melakukan pengelabuan citra. Mereka berharap bahwa
dengan memperbesar anggaran untuk tampil di muka publik dengan citra ramah
sosial dan ramah lingkungan, mereka akan segera dikenal sebagai perusahaan
”berkinerja CSR tinggi”, tanpa terlebih dahulu bersungguh-sungguh meningkatkan
kinerja dalam aspek sosial dan lingkungan.
Apa yang diungkapkan
Jalal, bisa jadi benar. Karena hanya mencurahkan sumberdaya untuk meningkatkan
citra saja, maka perusahaan merasa untung, tak perlu mengeluarkan sumberdaya
yang lebih besar bagi peningkatan kinerja yang sebenarnya.
Ada banyak contoh
pengelabuan citra dalam sejarah korporasi, Jalal mencontohkan kasus Enron.
Secara pencitraan, Enron dikenal sebagai perusahaan yang royal dalam aktivitas
filantropis, selain ”dengan transparan” mengungkapkan ”komitmen-komitmen”-nya
atas sosial dan lingkungan. Kehancurannya kemudian karena masalah korupsi dan
unsur tata kelola perusahaan lainnya menunjukkan bahwa fundamen CSR yang selama
itu digembar-gemborkan ternyata tidaklah kokoh.
Membincang CSR seolah
tak ada habisnya. Dalam kajian komunikasi, membincang bagaimana CSR ditampilkan
dalam iklan, seperti ulasan dalam buku ini, bisa saja menimbulkan perdebatan.
Sebagian bahkan mengkritik cara Public Relations yang
menggunakan iklan dan bukan publisitas, sebagai media komunikasi CSR pada
publik.
Yang umum diungkapkan,
pembeda utama dan jelas antara iklan dari publisitas adalah bahwa iklan – untuk
penempatannya – harus bayar, sedangkan publisitas gratis. Disini persoalannya
bukan apakah suatu perusahaan mampu atau tidak mampu membayar space atau
waktu, melainkan menyangkut persoalan kredibilitas. Karena berbayar, sudah
tentu pemasang iklan boleh menyampaikan informasi saja dan tidak akan di edit
oleh media. Sementara itu, publisitas gratis sehingga apa yang disampaikan ke
publik, sepenuhnya bergantung pada media.
Iklan bernuansa CSR,
bisa menjadi peristiwa kontroversial manakala modus kapitalisasi krisis
kemanusiaan digunakan dan bercampur baur dengan motif pendidikan publik serta
kepentingan komersial. Yang pasti, memang ini adalah hak mutlak pembuat iklan
CSR. Kritik atas pendekatan iklan ini biasanya berlatar ketidakpuasan atas
praktek “image-laundry” – yakni sebuah upaya membangun citra
positif, populis (pro-kemiskinan) serta kadar pendidikan publik tertentu dengan
tujuan komersial yang sah dan dapat dipahami.
Iklan dapat menjadi
bumerang bagi si pemilik iklan, termasuk juga iklan CSR. Bahwa dengan
konektifitas media sosial, maka gerakan counter iklan CSR
dapat menciptakan image negatif bagi pemilik iklan. Masalahnya
bertambah bila stakeholder perusahaan - yang masih memiliki ‘harga diri’ ini
dirugikan oleh iklan tersebut.
Jika fenomena ini kita
kembalikan pada prosesi komunikasi, idealnya memang kesenjangan komunikasi
sebaiknya dihindari. Ketika ada kesenjangan komunikasi atau pun sekadar gejala
adanya jurang komunikasi, maka hal itu sudah merupakan suatu tanda bahwa -
iklan meleset dari sasaran bidiknya. Mengingat fitrahnya kembali, keberadaan
iklan diabdikan untuk masyarakat luas. Artinya maksud dan tujuan diluncurkannya
iklan adalah untuk menggerakkan masyarakat luas agar bereaksi positif terhadap
pesan yang dikomunikasikan melalui iklan, bukan sebaliknya.
Dianita Tiurida,
Direktur PT Cinggarindo Galba
"Buku ini bisa
menyosor maraknya iklan korporat di berbagai media plus sosial media
sebagai bukti bahwa para praktisi pemasaran berpacu tidak pernah mau
ketinggalan sedikit pun kesempatan untuk menjual produk atau jasanya. Semakin
sulit bagi mereka untuk bisa menyajikan materi iklan yang benar-benar
berbeda. Sesuatu yang menjual tapi juga tidak bikin
“boring”, gimana beberapa kali klik masih enak ditonton. Penulis
mampu mengajak kita mengupasnya secara sistematis dan kemudian mengembalikannya
kepada semua pihak yang punya andil atas perkembangan iklan
korporat."
Dr. Prima Mulyasari,
M.Si, Direktur CESRI
"Iklan korporasi
idealnya tidak hanya menyodorkan hal baik tentang tanggung jawab sosial
perusahaan, namun memiliki nilai sebagai iklan layanan masyarakat. Iklan
korporat tidak sekedar mengkonstruksi “kebaikan”, namun juga mengedukasi
masyarakat tentang “kebaikan” juga memberikan nilai tambah bagi stakeholder
internal perusahaan. Buku ini memberikan nuansa iklan korporasi dalam negeri
dengan konsep Corporate Communication terkini, bagaimana social
branding, CSR dan iklan korporat bersinergi. Kupasan Iklan Hijau yang menarik,
mengakhiri ulasan dalam buku ini. Tentu sayang, jika terlewatkan
membacanya."
Yani Hendrayani, Vice of
Chariman Malaysia Indonesia CSR Centre
"Jika melihat
kondisinya, iklan-iklan yang tayang di media massa mengindikasikan semakin
lemahnya komitmen terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan dalam jangka
panjang. Buku ini dapat memberikan inspirasi tidak saja pada para produsen
sebagai pengiklan melainkan konsumen yang cerdas memilih produk atau layanan
yang ramah lingkungan. Hal ini tentu berkenaan dengan keberlanjutan masa depan
Bangsa Indonesia yang lebih baik terutama keberlanjutan demi generasi
mendatang."
Fitri Anggraini,
Community Relations Bank Muamalat
"Dengan tema aktual
yang diangkat dan kasus-kasus yang disajikan oleh penulis, buku ini dapat
menjadi salah satu referensi untuk memperkaya wawasan tentang keragaman
strategi dan teknik-teknik penerapan CSR. Pokok pemikiran yang didapat setelah
membaca buku ini, mampu memberikan rangsangan bagaimana seharusnya korporasi
membuat iklan CSR yang sesuai regulasi dan tanpa mengabaikan norma masyarakat,
namun tetap menjunjung tinggi relasi eksistensi keintiman antara perusahaan
dan stakeholder-nya. Buku ini dapat membantu menjawab tantangan tersebut."
------------
#komunikasiperusahaan #corporatecommunication #komunikasi #periklanan #iklankorporat #corporatesocialresponsibility #brand #csr #tanggungjawabsosial #mediamassa #socialbrand #konstruksisosial #communication #communityrelations #cybercsr #csrcommunication #stakeholder #iklantelevisi #iklanmediacetak #iklanradio #iklanhijau #greenadvertising