https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/
Pernahkah anda menyaksikan iklan perusahaan di media massa yang mengusung tema ramah lingkungan, peka sosial atau bahkan CSR/tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih luas? Bagaimana pendapat anda tentang iklan tersebut?
Pernahkah anda menyaksikan iklan perusahaan di media massa yang mengusung tema ramah lingkungan, peka sosial atau bahkan CSR/tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih luas? Bagaimana pendapat anda tentang iklan tersebut?
Sekilas
ada nuansa positif memang bila kita menyaksikan iklan korporat yang ditampilkan Public Relations atau praktisi Corporate Communication
melalui media massa. Strategi gaya lama yang umum digunakan adalah dengan mengklaim
diri sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, peka sosial dan lainnya melalui iklan korporat mereka.
Namun bagi penulis, meski cara komunikasi
itu menginspirasi untuk kebaikan - namun sayangnya, masih banyak kalangan
bisnis yang belum menunjukkan perubahan fundamental dalam memperhatikan
lingkungan sekitar. Boleh jadi karena terbatasnya pemahaman, atau mungkin
menafikan kebutuhan perubahan paradigmatik dalam kebijakan bisnis mereka
sendiri.
Polesan pesan di tangan para ahli komunikasi, diakui melahirkan dampak citra perusahaan yang super mengagumkan. Di sisi lain, realitas kinerja dalam aspek sosial dan lingkungan yang dikebiri merupakan sisi yang tidak bisa telan mentah-mentah begitu saja. Kepentingan komersil telah mengalahkan sisi kemanusiaan. Jika demikian, bisa jadi iklan greenwashing-lah yang sebenarnya sedang diperagakan oleh "oknum" korporat melalui media massa.
Di
tengah hiruk pikuknya iklan Korporat, utamanya yang memuat CSR sebagai pesan
iklan misalnya, ada kemungkinan iklan‐iklan
itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra belaka. Seperti diketahui, Citra perusahaan kerap dinyatakan
sebagai variabel antara dalam hubungan antara kinerja CSR dengan kinerja
finansial perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Chahal dan Sharma
(2006).
Publikasi
Siahaan dan Jalal misalnya, telah memberikan contoh yang baik terkait penelitian‐penelitian mutakhir yang
membicarakan kaitan di antara keduanya memang menemukan hubungan yang semakin
erat (tight coupling). Lee (2008) juga menegaskan bahwa popularitas
CSR semakin meningkat sebagai strategi berbisnis.
Kembali
pada greenwash - konsep ini secara sederhana merupakan istilah marketing yang digunakan untuk mempromosikan
atau memberikan persepsi jika sebuah produk dari perusahaan dalam proses
produksi dan kebijakannya bersahabat dengan alam (ramah lingkungan). Dimana hal
ini hanya sebuah cara untuk mencari keuntungan, tetapi dalam praktiknya jauh
dari kata ramah lingkungan.
Lebih
Dekat dengan Greenwash
Greenwashing pertama kali dikenalkan oleh Jay Westerveld, seorang penggiat lingkungan di New York pada tahun 1986 tentang praktik industri hotel yang menempatkan plakat di setiap kamar untuk mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai tindakan pura-pura untuk menyelamatkan lingkungan.
Westerveld
mencatat bahwa usaha mengurangi limbah yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut terbukti dengan tidak adanya pengurangan biaya praktek
yang dilakukan. Dan Westerveld berpendapat bahwa tujuan sebenarnya dari
‘kampanye hijau’ pelaku bisnis perhotelan itu pada kenyataannya adalah untuk
peningkatan laba.
Contoh
kasusnya, pada tahun 1988, Dewan Industri Kehutanan Kolombia, menghadapi
tekanan yang luar biasa dari gerakan lingkungan yang berkembang
(www.adbuster.org, diakses 14 April 2015). Industri
penebangan melawan balik - melawan dengan kampanye iklan televisi berjudul “Forest Forever” (Hutan Selamanya). Adegan anak-anak,
para pekerja dan binatang-binatang ditampilkan bahagia, dengan narator yang
terkesan bisa dipercaya, meyakinkan publik bahwa
industri penebangan melindungi hutan.
Lasn
dan Schmalz marah dengan penggunaan terang-terangan gelombang miliki publik ini untuk menyajikan propaganda
menipu, anti – lingkungan. Dan mereka melawan kembali dengan memproduksi “Talking Rainforest” (Hutan Hujan Tropis Berbicara), sebuah
anti iklan dimana sebatang pohon tua menjelaskan pada sebatang pohon muda bahwa
“Pertanian pohon bukan hutan”. Namun ketika sang duo ini hendak membeli air time di stasiun yang sama dengan di mana
iklan ini ditayangkan – mereka ditolak.
Kampanye
ini adalah contoh dari awal dari greenwashing. Perkembangannya sekarang ini, kita
dikelilingi oleh berbagai iklan dan ajakan yang diberi warna hijau. Di pasar swalayan kita sering ditawari
‘green bag‘. Saat di mal, ada agen yang aktif mempromosikan apartemen ‘green building‘. Kemudian saat di jalan, ada spanduk
besar kontraktor yang katanya juga ‘green‘. Dalam
kampanye-kampanye, ada pidato tokoh politik yang juga menyinggung-nyinggung ‘green‘,
seperti era yang patut dilabeli All
About Green.
Tapi
alangkah lebih baik, jika kita tidak langsung menyimpulkan bahwa iklan-iklan
tersebut sebagai greenwashing.
Untuk mengetahuinya, berdasarkan situs yang berkaitan langsung dengan greenwashing yaitu sinofgreenwashing.org (28/02/2010), ada tujuh dosa
yang berhubungan dengan tindakan greenwashing,
yaitu sebagai berikut :
1) Sin of the Hidden Trade-off ;
Sebuah pernyataan hijau dengan hanya melihat dari satu atribut
sempit tanpa memperhatikan isu-isu lingkungan penting lainnya. Kertas misalnya,
disebut hijau karena berasal dari sumber daya pohon yang bisa tumbuh kembali
padahal isu lingkungan lainnya menyatakan bahwa dalam proses pembuatannya
menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar, ditambah lagi penggunaan
pemutih klorin yang menjadi zat pencemar.
2) Sin of No Proof (Tanpa
Bukti) ; Sebuah
pernyataan hijau yang tidak dapat dibuktikan dengan mudah dan didukung oleh
informasi yang tepat atau telah melalui sertifikasi pihak ketiga yang
terpercaya. Misal, sampo menggunakan bahan organik tapi tak ada sertifikisinya.
3) Sin of Vagueness (Ketidakjelasan) ;
Sebuah pernyataan hijau yang penuh ketidakjelasan, sehingga besar
kemungkinan konsumen akan salah paham atau salah menanggapi. Misal, “Terbuat
dari bahan Alami” padahal tidak semua yang yang alami itu hijau. Malah beberapa
di antaranya adalah sangat beracun. Merkuri dan Uranium juga berasal dari alam
dan sangat tidak disarankan untuk digunakan lagi.
4) Sin of Worshiping False Labels (Label Palsu) ;
Sebuah pernyataan hijau suatu produk melalui kata-kata atau gambar yang
memberikan kesan telah disertifikasi oleh pihak ketiga padahal tidak ada
dukungan seperti itu; label palsu.
5) Sin of Irrelevance (Relevan) ;
Pernyataan hijau yang mungkin benar tetapi tidak penting atau tidak berguna
bagi konsumen yang mencari produk lebih lingkungan. ‘CFC-free’ adalah contoh
umum, karena ini adalah klaim yang sering terlepas dari kenyataan bahwa CFC
memang dilarang oleh hukum.
6) Sin of Lesser of Two Evils (Dua Kejahatan) ;
Sebuah penyataan hijau yang mungkin benar pada suatu kategori produk, tapi
mengalihkan risiko konsumen dari dampak lingkungan yang lebih besar dari
kategori secara keseluruhan. Rokok organik bisa menjadi contoh Dosa ini,
seperti juga kendaraan sport utility vehicle yang hemat bahan bakar.
7) Sin of Fibbing (Berbohong) ;
Pernyataan hijau yang sungguh-sungguh palsu. Contoh yang paling umum adalah
produk palsu yang mengaku telah disertifikasi atau terdaftar oleh Energy Star.
Sumber
: Nuanasa Periklanan Korporat, Ujang Rusdianto (Calpulis, 2016)
------------
#publicrelations
#kehumasan #jurnalistik #mediamassa #iklan #corporateadvertising #advertising
#periklananmedia #jurnalisme