Langsung ke konten utama

CSR Industri Rokok : Dongeng Menakjubkan

Jakarta, 2 Mei 2014, Ujang Rusdianto - Siapapun orangnya, pasti tahu jika rokok adalah “pembunuh berdarah dingin” kelas dunia. Di Indonesia, gerakan membangun kesadaran tentang bahaya merokok pun semakin besar dalam lima tahun terakhir ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, awal tahun ini mengeluarkan fatwa yang me-labeli rokok sebagai barang haram bagi wanita hamil, anak-anak, ulama MUI, dan perokok di tempat-tempat umum.

Kampanye untuk menghapuskan iklan dan sponsor rokok kian menguat di kalangan masyarakat. Koalisi LSM Anti-Rokok, misalnya, pernah mendemo konser penyanyi Rossa karena disponsori perusahaan rokok. Koalisi ini juga terus menempuh jalur peradilan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 agar iklan rokok dilarang di seluruh media penyiaran. Salah satu tujuannya agar menghapuskan citra merokok sebagai bagian dari budaya atau sesuatu yang "wajar" untuk dilakukan.
Perusahaan rokok tak seperti kehilangan akal dalam mempromosikan produknya. Bahkan sejak lama, perusahaan melabeli diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab sosial dan lingkungan, apalagi jika bukan dengan melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

CSR Rokok sebuah Dongeng
Pertanyaan yang patut kita ajukan, apakah CSR yang dilakukan perusahaan rokok merupakan tanggung jawab sosial yang berkelanjutan atau seperti pandangan umum, sekedar membangun citra sebagai perusahaan yang peduli?
Meski aktivitas corporate social responsibility (CSR) bukan merupakan kegiatan pemasaran ataupun kehumasan, reputasi yang baik dari perusahaan yang melakukan tanggungjawab sosial tetap merupakan konsekuensi logis. Namun bagaimana dengan CSR perusahaan rokok? Di sinilah letak dilema yang terjadi. Ketika perusahaan rokok memiliki reputasi yang baik dan terus-menerus dipertahankan, apakah masyarakat bisa semakin sadar akan bahaya merokok?
Faktanya, sulit terbantahkan perusahaan rokok termasuk yang paling aktif dalam melaksanakan CSR di berbagai bidang dan termasuk yang memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. Bukan rahasia umum, telah banyak program yang mereka buat di berbagai bidang, sebut saja di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelestarian seni budaya, sampai penghargaan karya jurnalistik.
CSR rokok hadir bak seorang malaikat di dongeng-dongeng. CSR rokok menawarkan program-program sosial kepada masyarakat yang mampu meringankan beban yang sedang ditanggung oleh masyarakat. Alhasil, citra rokok yang sebenarnya negatif mampu tertutupi oleh keberadaan CSR tersebut.
CSR rokok sering dipisahkan dari perusahaan rokok itu sendiri dan dibentuk dalam sebuah yayasan. Hal inilah yang agak mengaburkan eksistensi dari yayasan itu sendiri sebagai CSR itu sendiri. Yang jelas brand dari suatu perusahaan rokok juga tercantum dalam nama yayasan tersebut. Sebut saja perusahaan rokok X dengan CSR-nya adalah X Foundation.
Sepintas, program-program mereka membantu meringankan beban pendidikan di Indonesia, akan tetapi mari melihat dari sisi yang lain. Berapa banyak anak yang tidak bersekolah karena ayahnya memilih menkonsumsi rokok. “Kebudayaan” yang buruk terus dipupuk oleh perusahaan rokok. Semakin rendah posisi dalam piramida ekonomi, semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi rokok. Karena itu semua tidak dikelola, maka perusahaan tidak bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Aktivitas sosial industri rokok terlampau kecil untuk mengkompensasi masalah yang ditimbulkannya.
Hal yang patut diapresiasi, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal Ahok mengaku akan menolak semua bantuan CSR dari perusahaan yang berbau rokok. Hal ini merupakan wujud dari kampanye Jakarta bebas asap rokok sehingga segala bantuan dari perusahaan rokok akan ditolak. Ketegasan sikap yang dinyatakan ini langsung direspon positif oleh seluruh anggota koalisi masyarakat anti asap rokok. Koalisi masyarakat anti asap rokok DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk mewujudkan Jakarta bebas asap rokok.

Postingan populer dari blog ini

Pemberdayaan Masyarakat dan Bias Program Pembangunan

Jakarta, 1 Juli 2014 (Ujang Rusdianto) - Bukan pembahasan baru, jika pemberdayaan masyarakat harus pula melibatkan masyarakat di dalamnya. Sudah seharusnya pula, bahwa pembangunan di berbagai bidang sekarang ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Harus kita akui, keberhasilan suatu program pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran serta masyarakat, sebab peran serta masyarakat yang diabaikan dalam pembangunan, rentan dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan dari pembangunan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan diberbagai sektor, diharapkan akan kembali memberikan manfaat kepada masyarakat, dimana masyarakat berkesempatan memberikan pengawasan terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. Selain itu, motivasi untuk menjaga dan memelihara hasil-hasil pemban...

Stakeholder Relations (2) : Mengkategorikan Stakeholder Organisasi

Jakarta, 25 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Siapa saja yang dapat dianggap sebagai stakeholder yang sah terhadap operasi perusahaan? Untuk menentukan siapa stakeholders perusahaan Anda, maka sebuah organisasi harus melakukan stakeholders mapping atau analisa stakeholders , atau sebagian menyebutnya pemetaan stakeholders.   Menurut Stakeholder Saliance Model , pengelompokan stakeholder dapat dilakukan berdasarkan tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi dan urgensi yang dimilikinya (Cornelison, 2009 : 50). Model ini sekaligus menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu isu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Legitimasi berkaitan dengan individu/kelompok yang dianggap sah dan berhubungan dengan organisasi. Power terkait kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu/kelompok tersebut. Sedangkan urgency terkait i...

Lebih Dekat dengan Cinematography

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Membincang istilahnya, cinematography (sinematografi) terdiri dua frasa, yaitu “Cinema” berarti Gerak dan “Graphy” berarti menulis, dengan kata lain menulis dalam gerak (written in motion). Maka sinematografi dapat diartikan sebagai proses pengambilan ide, kata-kata, aksi, emosi, nada dan segala aspek non-verbal yang ditampilkan dalam bentuk visual. Didalam sinematografi terdapat tool of cinematografi. Apa saja? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada enam tools, yaitu : Frame, Lens, Lights and Colour, Texture, Movement dan Point of View (POV). Pertama, frame. Framing merupakan pembagian adegan berdasarkan sudut pandang, posisi kamera, persepsi cerita yang ditampilkan dalam sebuah shoot. Kedua. Lens, merupakan bagaimana sebuah gambar mewakili sudut pandang mata. Ketiga, Lights and Colour. Merupakan penggunaan warna dan pencahayaan dalam sebuah pengambilan gambar. Keempat, Texture. Menampilkan detil dari sebuah shoot. Kelima, Mo...