Jakarta, 24 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Hari ini, tanggal 24 Juni 2014 adalah Hari
Bidan Nasional. Rasanya tahun 2014, moment ini masih kalah jauh dari moment
Piala Dunia, dan kampanye Calon Presiden RI.
Sebelum mengesampingkan moment hari ini, penduduk dunia diingatkan, bahwa tidak hanya kaum wanita yang patut menghargai jasa para bidan, tetapi juga kaum pria. Karena ketika bayi lahir, bidan tidak memilah-milah, apakah bayi yang dilahirkan laki laki atau perempuan. Semuanya dibantu, agar selamat lahir kedunia ini.
Meskipun tingkat fertilitas sudah menurun,
kalau jumlah ibunya besar, sebagai akibat tingkat kelahiran yang tinggi dimasa
lalu serta perbaikan kesehatan, maka jumlah bayi yang lahir setelah tahun 2000
masih tetap banyak jumlahnya. Tiap tiap tahun jumlah kelahiran bayi di
Indonesia mencapai sekitar 4,5 juta bayi. Bagi Indonesia kelahiran sebanyak ini
berarti tambahan penduduk sebesar 4,4 juta jiwa (www.datastatistik-indonesia.com,
diakses 24 Juni 2014).
Pada saat saat kelahiran bayi inilah peran
seorang bidan diperlukan. Tidak menjadi masalah, istilah apa yang diberikan: bidan
kampung, bidan berijazah atau bahkan dukun beranak, itu hanya masalah predikat
secara tehnis saja. Namun yang jelas, mereka semua berjasa untuk membantu
kelahiran bayi. Hal inilah yang mungkin selama ini kurang mendapat perhatian, karena
telah terbentuk paradigma yang keliru, bahwa hanya wanita yang patut berterima
kasih kepada para Bidan. Kita bersyukur dan bergembira, bahwa Indonesia ikut
memperingati hari bidan ini.
Kondisi Bidan di Indonesia
Lebih dari 250 ribu bidan ada di Indonesia.
Sebagai tenaga kesehatan profesional, bidan memegang peranan yang sangat
penting karena sekitar 63 persen dari 4,6 juta kelahiran per tahun yang ada di
Indonesia ditangani oleh bidan. Tapi ternyata, sebaran bidan di seluruh wilayah
Indonesia belumlah merata.
Keberadaan bidan di wilayah Indonesia bagian
timur misalnya, masih sangat jarang sehingga kebutuhan akan bidan pun belum
terpenuhi dengan maksimal. Padahal Pemerintah telah menetapkan desa sebagai
target program pemerintah. Sayangnya, untuk setiap desa ada satu bidan, hal ini
belum bisa terwujud.
Harus diakui, salah satu ujung tombak
pelayanan kesehatan primer di Indonesia adalah bidan. Peran bidan tidak
terbatas pada membantu upaya kelahiran, tapi juga menjaga kesehatan secara umum
dan reproduksi. Peran bidan sangat penting di daerah perbatasan maupun
terpencil dengan keterbatasan akses.
Menanti Dukungan
CSR Perusahaan
Penurunan kualitas bidan, terbukti
dari sedikitnya jumlah bidan yang lulus uji kompetensi oleh Kementerian
Kesehatan RI. Lain itu, penurunan
kualitas bidan ini juga merupakan akibat dari lemahnya pengawasan akademi
kebidanan. Sementara akademi kebidanan jumlahnya terus meningkat. Dampaknya,
peningkatan jumlah lulusan tidak sebanding dengan mutu yang diberikan.
Saat ini
terdapat 769 sekolah akademi kebidanan setingkat D3 di seluruh Indonesia.
Sayangnya, tidak semua sekolah kebidanan memperoleh akreditasi. Lemahnya
pengawasan juga mengakibatkan tiap sekolah kebidanan tidak memperhatikan jumlah
siswa. Padahal akreditasi yang merupakan nilai kemampuan sekolah, menentukan
jumlah siswa yang bisa memperoleh pendidikan di akademi tersebut.
Mewujudkan
bidan yang berkualitas dan ketersediaan tenaga kesehatan di setiap desa, tentu
bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kepedulian pihak BUMN maupun sektor
swasta dalam hal kesehatan juga sangat dibutuhkan. Tidak hanya melibatkan para
bidan dalam kegiatan CSR (corporate social responsibility) atau program
kesehatan saja, melainkan juga ikut mendukung kualitas dan kesejahteraan para
bidan di Indonesia. Penguatan bagi tenaga kesehatan
seperti ini, dirasa dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi kedua belah
pihak.