Langsung ke konten utama

Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil

Keberlanjutan organisasi masyarakat sipil tidak dapat hanya dibangun dengan memupuk sebanyak-banyaknya kapital seperti layaknya sektor korporasi. Tidak sesederhana itu. 
Tangerang Salatan, 10 April 2016 - Arah dan ukuran keberhasilan pembangunan berkelanjutan di negeri demokrasi ini, akan sangat ditentukan seberapa besar irisan sinergi dapat dibangun secara kolektif oleh tiga aktor pelaku pembangunan, yaitu pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat sipil.
Membincang sektor bisnis, berarti secara naluriah akan membawa kepentingan pertumbuhan modal dan kapital, dibawah panji umbul-umbul teori dasar ekonomi yang dijamak anut korporasi, yaitu : dalam kelangkaan sumber daya, modal sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kedua, pemerintah yang diharapkan menjadi penjaga kebijakan, sayangnya seringkali cenderung memilih jalan mudah berpapan petunjuk: ‘pembangunan ekonomi lebih penting’. Maka, jadilah masyarakat sipil sebagai pilar keseimbangan terakhir yang tersisa.
Model pembangunan yang kini dikembangkan, tidak juga dapat memangkas derasnya pertambahan laju kemiskinan masyarakat secara signifikan. Turbulensi yang kini melanda: krisis sistem keuangan, krisis iklim, krisis energi, air bersih dan pangan dan krisis lainnya (krisis kultural, integrasi, integritas, kepemimpinan) semakin menambah kerentanan masyarakat luas. Jurang kesenjangan sosial makin lama makin lebar dan dalam. Inikah visi kemakmuran bersama yang nampak makin menjauh?

Ironi tetap Milik Masyarakat
Kemitraan pembangunan dengan sektor masyarakat sipil akan menjadi salah satu kemungkinan utama terciptanya ruang kesetaraan dialog bagi begitu kompleksnya permasalahan dan kondisi yang sesungguhnya kini dihadapi masyarakat.
Ketika kesadaran atas peran masyarakat sipil dalam pembangunan berkelanjutan mulai berkembang menjadi sebuah kebutuhan mutlak, ternyata keberadaan organisasi masyarakat sipil sendiri menyisakan berbagai masalah mendasar: adanya kesenjangan pendanaan kerja jangka panjang, tidak adanya kapasitas yang memadai untuk menjadi pelaku pembangunan secara komprehensif, lemahnya struktur dan kelembagaan pendukung yang mampu menempatkan masyarakat sipil sebagai mitra pembangunan yang setara, minimnya konsolidasi upaya advokasi kebijakan bersama di tingkat lokal maupun nasional dan gagapnya masyarakat sipil memaknai dan menyiapkan ‘keberlanjutan organisasi’.
Rumusan kunci keberlanjutan organisasi masyarakat sipil di Indonesia harus diletakkan pada minimal dua langkah strategis, yaitu: pertama, sejauh mana organisasi mampu menempatkan diri pada dinamika perubahan lingkungan yang deras terjadi, terus menerus mendorong dirinya berubah dan menemukan ruang-ruang relevansi baru. Untuk itu, organisasi masyarakat sipil harus menjadi organisasi yang dinamis, pembangun kader, pembelajar dan pembaharu. Seharusnya, tidak akan ada kestabilan dan kenyamanan di sana.
Yang kedua adalah sejauh mana organisasi masyarakat sipil mampu mengelola dan memobilisasi sumber dayanya. Mobilisasi sumber daya harus dimulai dari upaya mengelola sebaik-baiknya sumber daya yang sudah dimiliki saat ini, bukan hanya berfokus bagaimana mencari sumber daya baru. Sumber ‘daya’ juga harus dipandang jauh lebih luas daripada hanya sekedar sumber ‘dana’. Begitu banyak sumber daya selain dana, yang hampir-hampir tidak pernah dikelola dan dimobilisasi oleh organisasi masyarakat sipil modern: sumber daya manusia (yang sesungguhnya sampai kapanpun akan menjadi aset terbesar organisasi masyarakat sipil), data-informasi-pengetahuan, teknologi, relawan, komunitas, jaringan serta partisipasi dan keterlibatan publik.
Pemenangan sebuah tujuan jelas membutuhkan sumber daya. Kesetiaan organisasi masyarakat sipil dalam menjaga posisi dan peran penyeimbang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan jelas-jelas akan tergantung seberapa besar sumber daya yang dimiliki. Sesungguhnya, kreasi ‘produk’ pengetahuan dan layanan, pengembangan kemitraan kolaboratif dan pelibatan publik secara luas, yang nantinya akan menjadi kunci upaya mobilisasi sumber daya organisasi dalam jangka panjang.

Postingan populer dari blog ini

Pemberdayaan Masyarakat dan Bias Program Pembangunan

Jakarta, 1 Juli 2014 (Ujang Rusdianto) - Bukan pembahasan baru, jika pemberdayaan masyarakat harus pula melibatkan masyarakat di dalamnya. Sudah seharusnya pula, bahwa pembangunan di berbagai bidang sekarang ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Harus kita akui, keberhasilan suatu program pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran serta masyarakat, sebab peran serta masyarakat yang diabaikan dalam pembangunan, rentan dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan dari pembangunan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan diberbagai sektor, diharapkan akan kembali memberikan manfaat kepada masyarakat, dimana masyarakat berkesempatan memberikan pengawasan terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. Selain itu, motivasi untuk menjaga dan memelihara hasil-hasil pemban...

Stakeholder Relations (2) : Mengkategorikan Stakeholder Organisasi

Jakarta, 25 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Siapa saja yang dapat dianggap sebagai stakeholder yang sah terhadap operasi perusahaan? Untuk menentukan siapa stakeholders perusahaan Anda, maka sebuah organisasi harus melakukan stakeholders mapping atau analisa stakeholders , atau sebagian menyebutnya pemetaan stakeholders.   Menurut Stakeholder Saliance Model , pengelompokan stakeholder dapat dilakukan berdasarkan tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi dan urgensi yang dimilikinya (Cornelison, 2009 : 50). Model ini sekaligus menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu isu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Legitimasi berkaitan dengan individu/kelompok yang dianggap sah dan berhubungan dengan organisasi. Power terkait kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu/kelompok tersebut. Sedangkan urgency terkait i...

Lebih Dekat dengan Cinematography

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Membincang istilahnya, cinematography (sinematografi) terdiri dua frasa, yaitu “Cinema” berarti Gerak dan “Graphy” berarti menulis, dengan kata lain menulis dalam gerak (written in motion). Maka sinematografi dapat diartikan sebagai proses pengambilan ide, kata-kata, aksi, emosi, nada dan segala aspek non-verbal yang ditampilkan dalam bentuk visual. Didalam sinematografi terdapat tool of cinematografi. Apa saja? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada enam tools, yaitu : Frame, Lens, Lights and Colour, Texture, Movement dan Point of View (POV). Pertama, frame. Framing merupakan pembagian adegan berdasarkan sudut pandang, posisi kamera, persepsi cerita yang ditampilkan dalam sebuah shoot. Kedua. Lens, merupakan bagaimana sebuah gambar mewakili sudut pandang mata. Ketiga, Lights and Colour. Merupakan penggunaan warna dan pencahayaan dalam sebuah pengambilan gambar. Keempat, Texture. Menampilkan detil dari sebuah shoot. Kelima, Mo...