Langsung ke konten utama

Pembangunan Berkelanjutan; Jangan Lupakan Sejarah

Tangerang, 5 Maret 2016 - Ketika kita membincang Pembangunan Berkelanjutan (Sutsainable Development), konsep yang kiranya paling popular adalah yang dikemukakan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau WCED (World Commission on Environment and Development) yang diketuai Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia masa itu, dan menerbitkan laporan yang dikenal dengan Brundtland Report yang berjudul “Our Common Future” atau “Masa Depan Kita Bersama” pada tahun 1987.
Dalam publikasinya, WCED (1987 : 43) memberikan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai berikut : “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within it two key concepts: the concept of needs, in particular the essential needs of the world's poor, to which overriding priority should be given; and the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on the environment's ability to meet present and future needs.” 
Namun sebelum laporan itu terbit, ada banyak buah pemikiran para tokoh, yang kadang terlewatkan begitu saja, sering dilupakan - atau memang sengaja "dibungkam", ntahlah. Benang merah dari semua pemikiran itu, Pembangunan Berkelanjutan timbul karena adanya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan hidup. 
Sebelum Brudland Report itu terbit, sebenarnya perhatian terhadap keberlanjutan ini sudah dimulai sejak Malthus yang kala itu, mengkhawatirkan ketersedian lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat pada tahun 1798. 
Pembangunan Berkelanjutan kian berkembang sejak Rachel Louise Carson menerbitkan bukunya yang berjudul “The Silent Spring” tahun 1962. Carson lahir tahun 1907 dan meninggal di tahun 1964 karena kanker. Beberapa pesan utama Carson dalam publikasinya itu terkait dengan pembangunan berkelanjutan adalah; Pertama, Penggunaan Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT) sebagai pestisida di bidang pertanian mengakibatkan malapetaka yang mengancam kehidupan, yang diungkapkan melalui cerita tentang – “Musim Semi yang Hening”, tanpa kehidupan. Pemikiran pokok yang penulis temukan dalam buku itu; Alam terbatas kemampuannya meresap polusi yang dihasilkan pembangunan yang tak terkendali.
Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT sendiri merupakan pestisida pertama yang digunakan secara luas selama dan sesudah perang dunia II untuk memerangi malaria, tifus, dan berbagai serangga penyebar penyakit, baik dikalangan militer maupun sipil. Keberhasilan penggunaannya menyebabkan penemunya, Paul Herman dari Swiss, memperoleh penghargaan Nobel 1948 “for his discovery of the high efficiency of DDT as a contact poison againtas several arthopods”.
Namun menurut Carson, DDT menyebabkan kanker dan menghambat reproduksi burung karena menipisnya kulit telur. Pemikiran Carson diterima luas dan DDT pun mulai dikendalikan Pemerintah AS di era John F Kennedy, dan akhirnya DDT dilarang sama sekali.  
Perhatian pada Pembangunan keberlanjutan semakin fenomenal setelah Meadow dan kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul “The Limit to Growth.” Meski publikasi Meadow, dkk ini mendapatkan kritikan yang tajam dari para ekonom. Ini karena lemahnya fundamental ekonomi yang digunakan dalam model The Limit to Growth tersebut. 
Bisa penulis simpulkan, dari publikasi tersebut pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Perhatian terhadap aspek keberlanjutan mencuat kembali dan di tahun 1987, bahkan pembangunan berkelanjutan kemudian dimasukkan ke dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak saat itu beberapa definisi dari Pembangunan Berkelanjutan disepakati dan penerapan teori dan prinsipnya ditetapkan, seperti yang ramai dibicarakan dan bersumber pada WCED.
Pembangunan berkelanjutan kian membumi, dan banyak pihak telah memberikan definisinya. Namun makna yang jelas, tetap, dan abadi dari definisi-definisi tersebut kadang sukar ditangkap, atau bisa jadi konsep Pembangunan Berkelanjutan sebenarnya sebagai suatu oxymoron, yaitu secara fundamental bertentangan dan tidak dapat didamaikan. 
Jika kemudian ada yang bisa mendefinisikan dan mengaplikasikan kembali istilah Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan tujuan mereka, itu menjadi berarti dalam praktek, atau lebih buruk lagi, dapat digunakan untuk menyamarkan kegiatan greenwash yang secara sosial atau lingkungan merusak. 

Postingan populer dari blog ini

Pemberdayaan Masyarakat dan Bias Program Pembangunan

Jakarta, 1 Juli 2014 (Ujang Rusdianto) - Bukan pembahasan baru, jika pemberdayaan masyarakat harus pula melibatkan masyarakat di dalamnya. Sudah seharusnya pula, bahwa pembangunan di berbagai bidang sekarang ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Harus kita akui, keberhasilan suatu program pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran serta masyarakat, sebab peran serta masyarakat yang diabaikan dalam pembangunan, rentan dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan dari pembangunan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan diberbagai sektor, diharapkan akan kembali memberikan manfaat kepada masyarakat, dimana masyarakat berkesempatan memberikan pengawasan terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. Selain itu, motivasi untuk menjaga dan memelihara hasil-hasil pemban...

Stakeholder Relations (2) : Mengkategorikan Stakeholder Organisasi

Jakarta, 25 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Siapa saja yang dapat dianggap sebagai stakeholder yang sah terhadap operasi perusahaan? Untuk menentukan siapa stakeholders perusahaan Anda, maka sebuah organisasi harus melakukan stakeholders mapping atau analisa stakeholders , atau sebagian menyebutnya pemetaan stakeholders.   Menurut Stakeholder Saliance Model , pengelompokan stakeholder dapat dilakukan berdasarkan tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi dan urgensi yang dimilikinya (Cornelison, 2009 : 50). Model ini sekaligus menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu isu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Legitimasi berkaitan dengan individu/kelompok yang dianggap sah dan berhubungan dengan organisasi. Power terkait kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu/kelompok tersebut. Sedangkan urgency terkait i...

Lebih Dekat dengan Cinematography

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Membincang istilahnya, cinematography (sinematografi) terdiri dua frasa, yaitu “Cinema” berarti Gerak dan “Graphy” berarti menulis, dengan kata lain menulis dalam gerak (written in motion). Maka sinematografi dapat diartikan sebagai proses pengambilan ide, kata-kata, aksi, emosi, nada dan segala aspek non-verbal yang ditampilkan dalam bentuk visual. Didalam sinematografi terdapat tool of cinematografi. Apa saja? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada enam tools, yaitu : Frame, Lens, Lights and Colour, Texture, Movement dan Point of View (POV). Pertama, frame. Framing merupakan pembagian adegan berdasarkan sudut pandang, posisi kamera, persepsi cerita yang ditampilkan dalam sebuah shoot. Kedua. Lens, merupakan bagaimana sebuah gambar mewakili sudut pandang mata. Ketiga, Lights and Colour. Merupakan penggunaan warna dan pencahayaan dalam sebuah pengambilan gambar. Keempat, Texture. Menampilkan detil dari sebuah shoot. Kelima, Mo...