Ujang Rusdianto, Jakarta (06/3/2014). Dewasa ini bila kita mendengar istilah CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan mungkin sudah tidak asing lagi. Penerapan
CSR di Indonesia diakui banyak pihak semakin meningkat, baik dalam kuantitas
maupun kualitas. Di
negeri ini CSR mengalami perkembangan yang sangat signifikan, mulai dari
pembuatan regulasi CSR, inovasi program hingga upaya menjalankan CSR melalui
kemitraan. Tapi apa sebenarnya CSR itu?
Memaknai CSR
Sumber : Ujang rusdianto, 2013, dalam CSR di Era Otonomi, Jakarta.
Memaknai CSR
Gagasan CSR mulai dikenal sejak Howard R. Bowen menerbitkan
bukunya berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” yang terbit tahun 1953. Dalam tulisannya, Bowen memberikan definisi awal dari SR (social responsibility) sebagai “…obligation of businessman to pursue those policies, to make
those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of
the objectives and values of our society” (Bowen, 1953, hal. 6).
CSR adalah konsep yang sangat
cair, berkembang mengikuti dinamika hubungan perusahaan dan pemangku kepentingannya.
Namun masih ada yang berpendirian bahwa tidak ada definisi CSR yang diterima
secara universal, sehingga bukan merupakan konsep yang matang. Tentunya pendirian ini tidak sepenuhnya benar. Sejarah dan definisi
CSR telah dikumpulkan oleh Archie Carroll dan diikuti oleh penulis lainnya.
Menurut Carroll (1991 : 39 - 48), agar definisi tanggung jawab sosial
sepenuhnya menggambarkan jangkauan kewajiban bisnis terhadap masyarakat,
definisi tersebut harus mengandung kategori kinerja ekonomi, hukum, etika, dan
diskresioner.
Pemikiran Carrol di atas mengandung makna bahwa tanggung jawab
ekonomi menempati urutan teratas karena pada dasarnya bisnis memiliki kewajiban
untuk menjadi produktif dan menghasilkan profit serta dapat memenuhi kebutuhan
konsumen. Namun, tanggung jawab ekonomi harus dilakukan dalam batasan hukum
tertulis. Tanggung jawab etika berjalan sesuai norma dan nilai yang berjalan di
masyarakat, berada diluar batas-batas hukum. Sementara itu tanggung jawab diskresioner bersifat filantropi,
dilakukan dengan sukarela.
Mengenal Dimensi CSR
Alexander Dahlsrud dalam sebuah
artikelnya berjudul “How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37
Definitions”, mengemukakan bahwa
muara dari berbagai debat CSR sebenarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi
perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut Dahlsrud mengidentifikasi lima komponen pokok dari berbagai definisi CSR
yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan sifat voluntari. Kini perbedaan yang ada hanyalah soal
cara mengungkapkan, bukan substansi (JCSREM
15, 2008).
Setidaknya terdapat tiga dimensi penting
dalam uraian di atas, yaitu : Pertama,
ekonomi, sosial, lingkungan: perusahaan dalam menjalankan CSR harus
memperhitungkan keseimbangan ketiganya, tak boleh ada trade off dalam jangka panjang di antara ketiganya, dan ketiganya
harus mengalami kemajuan. Kedua,
pemangku kepentingan: perusahaan dalam menjalankan CSR harus memperhatikan
seluruh pemangku kepentingan internal dan eksternalnya, dan mencari keseimbangan
terbaik bagi pemuasan seluruh kepentingan mereka. Ketiga, voluntari: perusahaan dalam menjalankan CSR harus mematuhi
seluruh regulasi yang berlaku kemudian berusaha melampauinya sejauh mungkin.