Langsung ke konten utama

Transmigrasi dan Wacana Perubahan Kebijakan

Jakarta, 14 September 2014 (Ujang Rusdianto) - Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amanat konstitusi, hingga kini pemerintah masih berkepentingan untuk menempatkan transmigrasi sebagai satu model pembangunan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan pembangunan guna mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. 

Transmigrasi juga relevan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia (human rights), yaitu perlindungan negara atas hak-hak warga (negara) untuk berpindah dan menetap di dalam batas-batas wilayah negara-bangsanya. Oleh karena itu, Pemerintah harus tetap memberikan imperatif dan dukungan kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten-kota untuk menyelenggarakan transmigrasi, sepanjang tersedia sumber-sumber daya yang mendukungnya.
Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang selama bertahun-tahun berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan baru berupa penerapan asas desentralisasi dan otonomi, sehingga mengharuskan dilakukan perubahan baik pada tataran kebijakan maupun implementasi.
Sebagai implikasi dari sistem pemerintahan yang sentralistik, kebijakan transmigrasi berciri terpusat dengan pendekatan perencanaan top-down dan standar. Setelah reformasi bergulir, kebijakan yang berciri sentralistik dan top-down menjadi tidak relevan, dan karena itu diperlukan perubahan sesuai asas otonomi dan desentralisasi.
Namun demikian, dalam era reformasi pemikiran ke arah perubahan kebijakan masih berupa wacana, atau paradigma yang belum diikuti oleh perubahan perangkat legalnya. Implementasi UU No. 22/1999 yang telah berimplikasi pada perubahan tata pemerintahan dan struktur birokrasi, belum serta-merta diikuti oleh perubahan perangkat kebijakan makro dan berbagai instrumen legal pendukungnya.  
Pertama, transmigrasi harus menjadi bagian integral dari pembangunan daerah dan sepenuhnya dilaksanakan sesuai karakteristik dan kondisi spesifik daerah. Kedua, menguatnya artikulasi politis masyarakat lokal sebagai dampak langsung proses demokratisasi, mengharuskan implementasi transmigrasi berwawasan kultural.

Kebijakan Eksklusifisme, Sentralistik, dan Standar
Kebijakan pembinaan masyarakat transmigrasi yang sentralistik dan standar telah berimplikasi pada kuatnya budaya pendatang, sementara budaya lokal nyaris tidak berkembang. Akibatnya terjadi penegasian budaya setempat dan rusaknya perkembangan kultural masyarakat setempat. Pembinaan transmigrasi juga cenderung bias pendatang. Berbagai bantuan hanya diberikan kepada masyarakat di dalam UPT, sementara penduduk sekitar yang tidak kalah miskin kurang memperoleh perhatian. Hal ini mengakibatkan perkembangan UPT lebih cepat dibanding desa-desa sekitar sehingga menimbulkan kecemburuan yang rentan terhadap konflik.
Kebijakan perencanaan kawasan transmigrasi yang berciri sepihak, dengan kurang (tidak) melibatkan masyarakat sekitar telah berimplikasi pada sikap dan apatisme masyarakat lokal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh sikap dan pandangan jajaran birokrat yang memposisikan diri sebagai penentu segalanya. Kebijakan ini berimplikasi pada munculnya lokasi-lokasi yang tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan permukiman (desa) sekitar.
Kebijakan Berorientasi Target Penempatan Kebijakan pengerahan yang kurang memperhitungkan kualitas transmigran, telah berimplikasi pada ketidak-sesuaian kondisi transmigran. Transmigran yang didatangkan pada suatu lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah dan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, baik menyangkut kultur budaya dan tradisinya maupun kompetensi keahlian dan ketrampilannya. Hal ini bersumber dari orientasi target pemindahan, sistem rekruitmen yang tidak didasarkan kompetensi dan aspirasi masyarakat lokal, dan pendekatan supply dalam penempatan.

Postingan populer dari blog ini

Pemberdayaan Masyarakat dan Bias Program Pembangunan

Jakarta, 1 Juli 2014 (Ujang Rusdianto) - Bukan pembahasan baru, jika pemberdayaan masyarakat harus pula melibatkan masyarakat di dalamnya. Sudah seharusnya pula, bahwa pembangunan di berbagai bidang sekarang ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Harus kita akui, keberhasilan suatu program pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran serta masyarakat, sebab peran serta masyarakat yang diabaikan dalam pembangunan, rentan dengan penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan dari pembangunan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan diberbagai sektor, diharapkan akan kembali memberikan manfaat kepada masyarakat, dimana masyarakat berkesempatan memberikan pengawasan terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. Selain itu, motivasi untuk menjaga dan memelihara hasil-hasil pemban...

Stakeholder Relations (2) : Mengkategorikan Stakeholder Organisasi

Jakarta, 25 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Siapa saja yang dapat dianggap sebagai stakeholder yang sah terhadap operasi perusahaan? Untuk menentukan siapa stakeholders perusahaan Anda, maka sebuah organisasi harus melakukan stakeholders mapping atau analisa stakeholders , atau sebagian menyebutnya pemetaan stakeholders.   Menurut Stakeholder Saliance Model , pengelompokan stakeholder dapat dilakukan berdasarkan tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi dan urgensi yang dimilikinya (Cornelison, 2009 : 50). Model ini sekaligus menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu isu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Legitimasi berkaitan dengan individu/kelompok yang dianggap sah dan berhubungan dengan organisasi. Power terkait kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu/kelompok tersebut. Sedangkan urgency terkait i...

Lebih Dekat dengan Cinematography

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Membincang istilahnya, cinematography (sinematografi) terdiri dua frasa, yaitu “Cinema” berarti Gerak dan “Graphy” berarti menulis, dengan kata lain menulis dalam gerak (written in motion). Maka sinematografi dapat diartikan sebagai proses pengambilan ide, kata-kata, aksi, emosi, nada dan segala aspek non-verbal yang ditampilkan dalam bentuk visual. Didalam sinematografi terdapat tool of cinematografi. Apa saja? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada enam tools, yaitu : Frame, Lens, Lights and Colour, Texture, Movement dan Point of View (POV). Pertama, frame. Framing merupakan pembagian adegan berdasarkan sudut pandang, posisi kamera, persepsi cerita yang ditampilkan dalam sebuah shoot. Kedua. Lens, merupakan bagaimana sebuah gambar mewakili sudut pandang mata. Ketiga, Lights and Colour. Merupakan penggunaan warna dan pencahayaan dalam sebuah pengambilan gambar. Keempat, Texture. Menampilkan detil dari sebuah shoot. Kelima, Mo...