Kemiskinan Menurun, Kekurangan Gizi Bertambah - Terasa Aneh?
Tangerang,
14 Juni 2015 - Banyak
sekali yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki berbagai persoalan dengan
cepat. Salah satunya ialah terkait dengan makanan. Karena, ada satu ukuran
penting MDGs tentang kemiskinan terkait gizi, yaitu apakah masyarakat
mengkonsumsi makanan berkecukupan. Jika tidak, mereka tergolong ”kekurangan
gizi”.
Sekilas,
tampaknya, kita baik-baik saja. Di Indonesia, biasanya tidak terlihat anak-anak
yang kelaparan. Untungnya tidak. Namun, tidak berarti bahwa semua anak
memperoleh asupan makanan yang layak. Dengan asupan makanan yang tepat dan
dalam jumlah mencukupi, anak anak akan mempunyai berat badan pada kisaran yang
sama. Jadi ketika menimbang anak, anda dapat memeriksa apakah “berat badannya
sesuai usia” atau tidak. Jika lebih rendah, berarti mereka “kekurangan gizi”.
Memang ada cara lain mengukur kekurangan gizi, namun ini merupakan cara paling
lazim.
Target kedua
MDGs adalah mengurangi jumlah anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuhnya.
Pada 1990, angka kekurangan gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi harus
ditekan menjadi sekitar 17,8%. Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya
tidak terlalu sulit mencapai target tersebut. Sayangnya, beberapa tahun
terakhir sejak 2000, angkanya naik kembali.
Tapi,
mengapa lebih banyak anak kekurangan gizi, padahal angka kemiskinan menurun?
Memang terasa aneh. Logikanya, ketika orang memiliki lebih banyak uang,
seharusnya mereka memiliki makanan yang cukup – apalagi anak-anak hanya makan
dalam porsi yang kecil Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan makanan
tepat dalam jumlah yang cukup.
Awalnya,
pilihan ideal adalah memberikan ASI eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan.
Sayangnya, di Indonesia, setelah sekitar empat bulan, jumlah bayi yang
memperoleh ASI eksklusif kurang dari seperempatnya. Masih banyak masalah lain,
seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu yang kekurangan gizi cenderung melahirkan
bayi yang juga kekurangan gizi. Pada dasarnya, persoalannya bukan karena
minimnya penghasilan.
Lalu apa
masalahnya? Penyebabnya, lebih karena kurangnya perhatian. Mungkin, juga
terkait kemiskinan. Bisa saja ibu yang miskin kurang memiliki informasi tentang
perawatan anak atau hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Namun,
yang membesarkan hati, dengan sedikit perubahan perilaku di rumah dapat dengan
cepat menurunkan angka kekurangan gizi. Bukan hanya pada anak.
Salah satu
indicator kemiskinan lain dalam MDGs, melihat apakah seluruh penduduk cukup
makan. Dengan menggunakan kriteria FAO1 dalam mengukur kebutuhan konsumsi
minimum, maka hanya 6% dari penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang
dari standar tersebut. Di masa lalu, standar yang digunakan untuk mengukur
kecukupan konsumsi ini sedikit terlalu tinggi untuk Indonesia, sehingga
terindikasi bahwa hampir 70% penduduk Indonesia tidak mengkonsumsi cukup
makanan. Proporsi penduduk tersebut juga relatif tidak berubah sejak 1990 (UR).