Jakarta, 27 April 2014
(Ujang Rusdianto) - Informasi
mengenai CSR (Corporate Social
Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan kini dapat dengan
mudah kita temui melalui berbagai saluran. Salah satu saluran yang banyak digunakan
perusahaan untuk mengomunikasikan CSR adalah media massa.
Melalui media massa, program-program CSR dibentuk dan dikomunikasikan.
Tujuannya antara lain, agar perusahaan mampu bersaing dengan yang lainnya, dan
juga untuk menciptakan citra yang positif. Media massa sebagai saluran
komunikasi bagi perusahaan, memang memiliki sejumlah fungsi strategis,
diantaranya untuk memberikan informasi dan mempengaruhi pihak lain.
Sebagai salah satu eksternal stakeholder perusahaan, media massa
dapat mempengaruhi reputasi perusahaan. Media menggambarkan perusahaan dengan
pemberitaan di media, pemberitaan mengenai perusahaan tersebut dapat membentuk
opini publik di masyarakat. Opini publik kemudian dapat mempengaruhi stakeholder-stakeholder
perusahaan lainnya.
Dengan demikian media massa dapat menjadi salah satu indikator apakah
reputasi organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk. Perusahaan sangat
berkepentingan memiliki reputasi yang baik dari stakeholder. Melalui
reputasi maka akan muncul kepercayaan, dengan kepercayaan ini maka perusahaan
akan memperoleh dukungan dan bahkan kesetiaan dari para stakeholder.
Seperti sebuah siklus yang pada akhirnya akan memberikan manfaat kepada
perusahaan.
Dua Sisi Media Massa
Namun, ketika media masa mengekspos aktivitas CSR perusahaan secara
berlebihan, hal ini dapat menguntungkan sekaligus merugikan perusahaan.
Mengapa? Keuntungannya jelas seperti telah diuraikan sebelumnya. Di sisi lain,
pada saat terjadi hal yang merugikan akibat dari berlebihannya informasi, maka
organisasi akan menuai bencana. Tak jarang pemberitaan mengenai CSR yang ditampilkan
media massa juga menuai kritikan. Kritikan itu datang pada perusahaan yang
memanfaatkan komunikasi CSR untuk memoles kinerja yang sebenarnya biasa saja.
Bertolak dari kondisi di atas, media massa juga sering tampil kritis
terhadap perusahaan. Hanya saja di balik sikap kritis itu ada beberapa media
yang mengharapkan advertorial CSR.
Meski media tersebut tidak memiliki rubrikasi atau halaman yang secara khusus
untuk pembahasan CSR. Meski, ada pula media yang memang secara mendalam dan
berkelanjutan membahas CSR.
Persoalan lainnya, kurangnya pemahaman media akan makna CSR itu sendiri
menjadi salah satu tantangan pelaksanaan CSR kedepan. Dengan kondisi ini,
pemberitaan mengenai CSR hanya ada kala isu mengenai sebuah perusahaan
berembus. Oleh karena itu, media dalam hal ini juga perlu memahami CSR sebelum
memberitakannya.
Pemahaman yang tidak utuh atas eksistensi media massa dapat menyebabkan
hubungan perusahaan dengan pelaku media memburuk, terutama ketika terjadi
konflik. Represi dan eksploitasi–meminjam istilah Svetlana Tsalik (2005) yang dilakukan media terhadap
perusahaan, faktanya lebih banyak disebabkan oleh miskomunikasi dan minimnya
wawasan keduabelah pihak (pelaku media dan PR) dalam memahami tugas
masing-masing atas sebuah peristiwa atau isu-isu krusial.