Jakarta, 24
Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Istilah partisipasi sekarang ini telah menjadi
kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seperti
menjadi “lebel baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan
proposal proyek. Faktanya, dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan
ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga partisipasi
cenderung kehilangan makna.
Melalui
partisipasi, pemangku kepentingan diharapkan mampu memformulasikan dan
sekaligus mengimplementasikan aksi bersama dalam pembangunan. Menurut Bank
Dunia (2001), partisipasi adalah dimana pemangku kepentingan (stakeholder) mempengaruhi dan berbagi
kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumber daya yang
mempengaruinya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa suatu proses tidak
dapat diberi label “partisipatif”, bila masalah “mempengaruhi” dan “berbagi”
tentang “inisiatif”, keputusan dan sumber daya” ini tidak muncul.
Di banyak negara
berkembang, peran serta masyarakat dalam proses kebijakan pemerintah seringkali hanya
bersifat pasif atau reaktif saja. Dengan kata lain, keikutsertaan masyarakat
hanya sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat seringkali
hanya difungsikan sebagai target dan mereka berpartisipasi berdasarkan
informasi yang mereka dapatkan mengenai apa yang terjadi di lingkungan mereka.
Dalam
menyelenggarakan program pembangunan, partisipasi para pemangku kepentingan
merupakan hal penting. Alasannya, partisipasi diperlukan untuk meningkatkan
rencana pengembangan program secara umum dan kegiatan prioritas secara khusus.
Partisipasi dikehendaki agar implementasi kegiatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Partisipasi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan program dan
dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi program.
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa partisipasi berkaitan dengan kualitas capaian
sebuah program pembangunan, dan belakangan juga ditemukan kaitan antara
partisipasi dengan tingkat efisiensi dan praktek pemerintahan yang baik (good
governance). Tingkat partisipasi yang lebih baik akan membantu pengambil
keputusaan memperoleh informasi yang lebih baik, meningkatkan efisiensi
kelembagaan dan menciptakan good governance.
Selain itu,
adanya mekanisme partisipatif juga bermanfaat untuk mengefisienkan biaya
implementasi, dan mengurangi risiko kegagalan. Untuk menghasilkan proses
partisipatif yang bermakna maka pengambil keputusan dituntut untuk menempatkan
dirinya sebagai bagian dari keseluruhan stakeholder pengambilan keputusan.
Meningkatkan
Partisipasi
Partisipasi
merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan kewenangan yang
lebih luas kepada stakeholder pembangunan
untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan.
Dalam proses
tersebut, setiap stakeholder memerlukan derajat dan mekanisme
partisipasi yang bervariasi. Berbagai derajat dan mekanisme partisipasi ini,
yaitu diseminasi informasi, konsultasi, kolaborasi, delegasi.
Masing-masing mekanisme tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, diseminasi informasi
adalah aliran informasi satu arah kepada publik. Mekanisme formal dapat
dilakukan melalui siaran radio, siaran pers, penyebaran brosur, diskusi
radio/televisi pembagian poster, dan lainnya. Sedangkan mekanisme non formal
dapat dilakukan melalui pengajian, arisan, dan lainnya.
Kedua, konsultasi
merupakan pertukaran informasi dua arah antara kordinator pelaksana proses
konsultasi dan publik atau sebaliknya. Mekanisme formal yang dapat dlakukan
yaitu melalui debat publik, forum kota, temu wicara, seminar, pertemuan
konsultasi, tinjauan, dan wawancara lapangan. Sedangkan mekanisme non formal
dapat dilakukan melalui rembug desa, dan
temu informal lainnya.
Ketiga, kolaborasi
merupakan pembagian hak dan kerjasama di dalam penetapan keputusan. Mekanisme
formal yang dapat dlakukan yaitu dengar pendapat umum, pokja, pansus, komite
bersama, satuan tugas, komisi nasional, dan lainnya. Sedangkan mekanisme non
formal dapat dilakukan melalui upacara adat, dan lainnya.
Keempat, delegasi adalah
pemberian kewenangan bagi pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya pada
stakeholder. Mekanisme formal yang dapat dlakukan yaitu melalui
sertifikasi, mediasi, akreditasi, ombudsman, dan lainnya. Sedangkan mekanisme
non formal dapat dilakukan melalui forum adat, dan lainnya.
Melalui
proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat,
terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga masyarakat bukan
lagi sebagai obyek melainkan sebagai subyek pembangunan.