Jakarta, 1 Februari 2013 - Akhir Januari 2013, publik dikejutkan
dengan masalah yang menimpa salah satu perusahaan pesawat terbang di Indonesia.
Masalah tersebut bukan dialami PT Merpati Nusantara Airlines yang menunggak
hutang pada negara, melainkan menimpa Batavia Air yang bernaung dalam PT Metro
Batavia. Melalui putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Batavia Air dinyatakan
pailit menyusul permohonan yang diajukan International Lease Finance
Corporation (ILFC).
Putusan yang menyatakan Batavia Air tidak boleh
beroperasi di Indonesia, menimbulkan efek domino yang luar biasa. Setidaknya
terdapat tiga masalah yang harus segera diselesaikan pihak manajemen Batavia
Air. Pertama, Batavia Air harus membayar hutang US$ 4.7juta
pada ILFC. Kedua, Pembayaran pesangon dan tunjangan para
karyawan. Ketiga,pembayaran ganti rugi pada konsumen dan agen tiket
Batavia Air.
Mencermati krisis yang dialami Batavia Air ini, tidak
hanya menunjukkan kegagalan pihak manajemen Batavia Air dalam menjalankan
praktik bisnisnya di Indonesia. Dalam konteks komunikasi, manajemen pesawat
dengan stratregi price floorini telah lalai dalam menjalankan
fungsinya. Pasca putusan pailit, banyak penumpang yang sudah melakukan
pembelian tiket kemudian terlantar di bandara. Pihak manajemen seolah menghilang
tanpa memberikan penjelasan dan tanggung jawab pada para penumpang. Bahkan
situs resmi Batavia Air (www.batavia-air.com) yang sebelumnya masih dapat
diakses, resmi ditutup.
Dalam kondisi dirugikan, baik konsumen maupun agen
tentu mengharapkan informasi langsung dari manajemen, adanya dialog kemudian
menjadi kata kuncinya. Dalam konteks ini, dialog dipahami sebagai sebuah proses
transaksional yang dinamis dengan fokus khusus pada kualitas hubungan antara
pihak manajemen Batavia Air dengan konsumennya. Ketidaksiapan yang ditunjukkan
manajemen Batavia Air dalam mengatasi krisis, melakukan pengambilan keputusan
yang urgensi namun berakhir ironi. Upaya ini jelas semakin menjauhkan publik
dengan perusahaan. Tentu bukan dukungan publik yang datang, melainkan hujatan
yang silih berganti dan semakin menenggelamkan pihak manajemen.
Kondisi ini semakin memprihatinkan, bahwa dampak kepailitan Batavia Air ini
tidak ditangani langsung oleh manajemen Batavia Air, melainkan oleh empat
kurator yang ditunjuk langsung oleh Pengadilan Niaga. Seperti yang diberitakan
Tribunenes.com (31/01/2013), keempat kurator tersebut, yaitu; Andra Rainhat
Sirait (Law Firm Duma and Co), Turman Panggabean (advocat Turman Panggabean),
Permata M Daulai (Daulai Law Firm and Partner), dan Albas Sukmahadi (Sukma and
Partner).
Beranjak dari masalah Batavia Air di atas, informasi
pada publik disaat terjadi krisis menjadi poin penting. Konsumen yang merasa
dirugikan misalnya, selain menginginkan haknya kembali juga mengharapkan
adanya sikap simpatik yang ditunjukan oleh pihak manajemen Batavia Air.
Terlebih bila konsumen tersebut merupakan member atau para
agen tiket dan karyawan yang selama ini telah setia mendukung perkembangan
Batavia Air. Dampak luasnya, kepercayaan publik terhadap jasa penerbangan di
Indonesia yang perlahan sudah menunjukkan geliat positifnya, terancam bisa
kembali menurun.
Akhirnya, perencanaan dan persiapan menghadapi krisis
menjadi hal penting. Hal ini akan menghindarkan perusahaan melakukan
pengambilan keputusan yang kurang tepat. Manajemen perlu mempersiapkan skenario
dan merancangcontingensy plan untuk mengatasi krisis dan mengatasi
kerugian yang menimpa perusahaan. Mengingat krisis dapat terjadi pada
perusahaan apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dengan demikian, akan menjadi
tugas manajemen krisis untuk merencanakannya, jika krisis tersebut sulit
teratasi seperti yang menimpa Batavia Air ini, adalah tugasnya pula untuk
segera menyelesaikannya.
Ujang Rusdianto,
S.I.Kom, M.IKom
Praktisi
Komunikasi/Konsultan CSR