Jakarta, 12 Maret 2013 - Media massa memiliki peran dalam komunikasi
krisis. Media massa merupakan pihak yang mampu mengangkat hitam putihnya fakta
suatu krisis. Media pula yang menyajikan berbagai feedback dan reaksi atas krisis yang terjadi
serta penanganannya. Namun sayangnya, peran media justru sering dianggap biang
kerok dari berkembangnya suatu krisis yang dialami perusahaan atau organisasi.
Mencermati kegagalan dalam mengelola komunikasi krisis di
Indonesia, memang tak lepas dari peran Public Relation suatu perusahaan dalam
menjalankan fungsinya. Berbagai kegiatan, peristiwa, bahkan kasus yang
melibatkan kepentingan publik semakin menuntut hadirnya pengelolaan public
relations yang excellence. Accountability perusahaan pun selalu menjadi
permasalahan utama dalam menampilkan citra dan menjaga reputasi perusahaan -
terlebih dalam situasi krisis.
Pembaca tentu masih ingat bagaimana Public
Relations OMNI
International yang berkonflik dengan Prita, justru membawa perusahaan dalam
situasi krisis. Upaya AJINOMOTO yang dulu sempat ditinggalkan konsumen akibat
kandungan minyak babi pada produknya, hingga kini eksistensinya masih seakan
terseok-seok. Fakta lebih ekstrem, Adam Air dipaksa gulung tikar dari Indonesia
akibat krisis berkepanjangan yang melanda perusahaan ini.
Penghapusan link oleh pihak Nestle pada situs Youtube
yang diunggah Green Peace, sebagai
bentuk protes terkait pembabatan orang utan dan alih fungsi lahan juga sempat
menimbulkan tanda tanya besar di benak publik. Ya, krisis memang dapat menerpa
siapa saja. Bahkan tidak hanya dialami perusahaan, melainkan juga personal.
Manajemen Peterpan bahkan tidak mampu membendung opini negatif publik melalui
akun twitter, #arielpeterpon yang sempat menjadi trending
topics. Namun, penanganan krisis yang baik, justru semakin
membesarkan brand OREO. Dalam industri penerbangan, meski sering didera krisis
– Lion Air masih terus eksis melintasi cakrawala Indonesia.
Komunikasi krisis mengharuskan perusahaan dan organisasi belajar
bahwa dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang efektif dan efisien. Krisis
dalam kaca mata public relations, harus dipandang lebih luas. Krisis tidak
selalu diidentikkan dengan ancaman. Krisis, apakah itu disebabkan oleh faktor
internal (konflik karyawan, konflik manajemen, kegagalan produk) ataupun faktor
eksternal (tuntutan komsumen, perubahan kebijakan pemerintah ataupun konflik
elit polotis) tidak dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk membangun citra
secara lebih cepat. Terdapat proses dan fase untuk memulihkannya.
Dengan demikian, sebagai bagian dari kegiatan Public
Relation, komunikasi krisis perlu dipahami sebagai upaya untuk
mempertahankan reputasi
korporat. Untuk mengelolanya dibutuhkan perencanaan yang baik. Gonzales-Harero
dan Patt memperkenalkan konsep stretetegi manajemen krisis dengan mengacu
kepada tahapan kisis yang terjadi. Model penanganan krisis oleh
Gonzales-Harrero & Patt meliputi manajemen isu, perencanaan pencegahan,
krisis terjadi dan pasca krisis.
Dalam kaitannya dengan media, perusahaan
besar yang mampu membayar PR profesional mempunyai kekuatan yang besar untuk
mempengaruhi opini publik melalui media yang seringkali merupakan bagian dari
korporasi perusahaan itu sendiri. Sehingga sering terjadi ketegangan antara
kepentingan publik dan swasta seperti masalah: korupsi, polusi lingkungan,
mempengaruhi kebijakan yang tidak pantas, atau pengendalian perdagangan, dan
juga kritik sosial.
Mengantisipasi timbulnya krisis, dapat dilakukan riset dan
evaluasi untuk menilai dampak dan efektivitas usaha-usaha yang dilakukan oleh
PR secara optimal. Meski dalam praktisnya, harus tetap diakui bahwa keputusan
manajemen terkait besarnya biaya yang diperlukan, masih menjadi hambatan bagi
Public Relation untuk mengelola krisis.
Namun, menjalin hubungan dengan media adalah sebuah kesempatan
bagi Public Relation - hubungan yang baik tentunya. Hal yang harus dingat, jurnalis akan menulis dengan kata
hati, dengan demikian PR perlu berbicara hati-hati. Berkomunikasi dengan media
bukanlah ancaman. PR harus memahami di saat krisis terjadi, jurnalis akan
semakin “lapar” informasi. Mereka akan mencari kemana saja untuk
mendapatkan informasi. Karenanya, jangan biarkan mereka mendapat informasi dari
sumber yang salah. Jadi, lebih baik menyiapkan diri untuk dealing dengan media, sebaik mungkin dan
sesegera mungkin.
Ujang Rusdianto,
S.I.Kom, M.IKom
Praktisi
Komunikasi/Konsultan CSR