Jakarta, 12 Juni 2012 - Komunikasi pemasaran (marketing communication)
menuntut para pemasar melakukan konsep yang beretika, dengan
memperhatikan kepentingan target sasarannya. Namun, hal ini nampaknya
belum sepenuhnya disadari oleh para pemasar (meski tidak dapat dikatakan
semuanya). Orientasi jangka pendek, dalam skala bisnis, menjadi
perhatian banyak para pemasar untuk mendatangkan profit bagi perusahaan
atau lembaga dan organisasi.
Menarik
perhatian saya - mencermati upaya para pemasar Dompet Dhuafa dalam
melakukan komunikasi pemasaran. Tahun 2012 lalu, saya tergelitik dengan
iklan Dompet Dhuafa versi “saya zakat di Dompet Dhuafa”. Dengan durasi kurang lebih 30 detik, iklan ini menampilkan beberapa endorser
dalam iklan yang berbeda. Pembaca mungkin masih ingat, bagaimana
Bambang Pamungkas, Ippo Santosa, dan Inneke Koesherawati dengan lantang
mengungkapkan “Saya……, saya bangga zakat di Dompet Dhuafa.”
Secara subjektif, iklan ini menyadarkan dan mengajak masyarakat luas untuk berzakat. Namun, secara instrumentalis, bila melihat ideologi, target market, dan pengemasan pesan iklan milik lembaga nirlaba ini jelas kurang tepat – iklan ini justru dianggap mengesankan “riyya”.
Seperti diketahui, Dompet Dhuafa merupakan lembaga nirlaba yang
berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana
ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, serta dana lainnya). Dengan
demikian, iklan yang mengandung testimonial sebaiknya dibatasi untuk
pihak-pihak yang kompeten yang dapat merefleksikan kenyataan serta opini
atau pengalaman yang jujur.
Sementara itu, komunikasi pemasaran lembaga nirlaba lainnya dapat kita cermati melalui iklan Bellow The Line (BTL)
dari Mizan Amanah. Bila pembaca bertempat di Jakarta Selatan, mungkin
pembaca pernah melihat iklan Baliho versi “Orang Tua Asuh” di Simpang
Gedung Sophie Paris atau ke arah ITC Fatmawati. Iklan ini menampilkan
gambar seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun – dengan pesan
iklan “Siapa Orang Tua Saya?” – sementara itu, teks pada bagian bawah baliho, pembaca dapat menemukan tulisan “hanya dengan 600ribu/bln, Anda dapat menjadi orang tua asuh.”
Sepintas dapat kita maknai iklan ini mengajak khalayak menjadi orang tua
asuh, seperti dilakukan di masa orde baru melalui program GN-OTA
(Gerakan Nasional Orang Tua Asuh). Tentu bukan itu persoalannya,
membincang etika komunikasi dalam pemasaran ini jelas kurang beretika.
Secara normatif iklan
memiliki fungsi untuk menginformasikan produk kepada khalayak, dan
membentuk pendapat umum tentang suatu produk. Hal ini jelas apa yang
ditampilkan pada kedua lembaga ini, akan membentuk pemahaman dari
realita apa yang tampak atau terlihat. Pada iklan yang ditampilkan Mizan
Amanah misalnya, secara kasat mata gambar “anak” tak ubahnya sebuah
produk yang ditawarkan, dan untuk memilikinya - khalayak dapat membayar
angsuran 600ribu/bulan. Penilaian ini mungkin sangat subjektif, bagi
mereka yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi - bisa jadi menolak
keras argumen saya ini.
Namun dapat saya katakan di sini, upaya para pemasar lembaga nirlaba dalam
melakukan konsep komunikasi pemasaran dapat dipahami lebih berdasarkan
pandangan emosional - dimana emosi dan perasaan yang disukai menjadi
sangat tinggi keterlibatannya. Namun, pemasar ini lupa bahwa media
(semisal baliho, red) yang digunakan – membuat konsumen atau khalayak memiliki
waktu yang banyak untuk menilai dan memahami produk atau layanan yang mereka tawarkan.
Akhirnya,
etis atau tidaknya suatu komunikasi pemasaran akan tergantung ditangan
setiap orang yang berada dalam berbagai peran komunikasi pemasaran.
Integritas mungkin merupakan konsep vital dalam sifat manusia. Walaupun
sulit untuk mencari definisi yang tepat, integritas menghindarkan kita
melakukan penipuan terhadap orang lain atau mempunyai perilaku tak
bermoral. Karenanya, komunikasi pemasaran tersendiri terlepas dari
permasalahan etis atau tidak etis, tingkat integritas yang ditunjukkan
oleh praktisi komunikasilah yang menentukan apakah perilaku mereka
bersifat etis atau tidak etis.
Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom
Praktisi Komunikasi/Konsultan Komunikasi CSR