Tangerang, 5 Januari 2016 (Ujang Rusdianto) - Selama beberapa tahun ini,
ketertarikan saya dengan Corporate Communication secara umum, dan CSR (Corporate
Social Responsibility) Communication secara khusus, tumbuh tidak hanya sebatas
bagaimana perusahaan-perusahaan di Indonesia berurusan dengan media, tetapi
sampai bagaimana mereka berurusan dengan masalah komunikasi.
Seiring dengan banyak studi kasus yang saya tulis dalam buku
atau artikel media massa atas subjek tersebut, dan berdiskusi di kelas
pelatihan (training), saya melihat adanya kebutuhan atas sebuah fungsi yang
lebih terintegrasi. Alasannya adalah bahwa kebanyakan perusahaan melakukan
aktivitas-aktivitas komunikasi dalam cara yang sangat terdesentralisasi.
Sebagai contoh, yang umum fungsi komunikasi berada
pada departemen marketing atau lebih “gila” lagi di bawah departemen Sumber
Daya Manusia (SDM). Dalam kasus perusahaan yang lain menempatkannya di bawah Corporate
Secretary. Masih sedikit perusahaan yang membentuk departemen komunikasi
sebagai pemegang kendali komunikasi perusahaan mereka.
Langkah lebih maju, sub fungsi dalam Corporate Communication
– investor relations (hubungan investor), justru menjadi perhatian tersendiri
dan diberikan tempat khusus oleh banyak perusahaan dengan membentuknya menjadi
departemen terpisah. Meski dalam aplikasinya, komunikasi terlihat hanya sebagai
kendaraan untuk mendapatkan informasi tertentu daripada sebagai fungsi itu
sendiri.
Sedikit pengalaman ini membuat saya percaya bahwa setiap
perusahaan seharusnya bisa melakukan pekerjaan corporate communication yang
lebih baik lagi, jika mereka mengintegrasikan seluruh aktivitas komunikasi di
bawah satu payung. Setidaknya, itulah teorinya. Tetapi saya bisa menemukan
bukti kecil yang berharga dalam praktiknya.