Tangerang, 24 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Meski konsep pembangunan
berkelanjutan sudah didengungkan sejak Brundtlandt-Report 1980 dan Rio-Conference
1992, namun perbincangan terkait Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan
belumlah banyak didiskusikan, baik dalam diskusi akademis maupun diskusi
publik.
Kondisi ini berbeda
dengan komunikasi lingkungan, sudah ramai dibicarakan sejak diperkenalkan pada
pada tahun 1960-an dan dipopulerkan pada Konferensi Tingkat Tinggi ( KTT ) Bumi
pada tahun 1992 di Rio Janiero Brasil yang mengkaitkan konsep pembangunan
berkelanjutan dengan komunikasi.
Terkait Komunikasi
Lingkungan, Robert Cox (2010) menjelaskan Komunikasi Lingkungan sebagai media
pragmatis dan konstruktif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai
lingkungan. Dalam lingkup praktis, hal ini menyangkut srategi pengemasan pesan dalam media
untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan.
Sejatinya, komunikasi
lingkungan adalah bagian dari Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan yang
merupakan proses komunikasi antara pemerintah dan warga negara atau antara
perusahaan dan stakeholder-nya dalam usaha mengembangkan dan
mempertahankan hubungan mutualisme secara berkesinambungan yang didasari
atas konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal
ini pemerintah atau perusahaan mengkomunikasikan visi misi, norma budaya dan
tanggung jawab sosial (social responsibility, good governance) agar
terjadi dialog aktif dengan warga negara atau stakeholder-nya sehingga
transparansi dan akuntabilitas dapat tercapai (Sancassiani, 1996). Jelas pemerintah atau perusahaan haruslah mengetahui
informasi apa yang ingin diketahui dan dibutuhkan warga negara atau stakeholder.
Di Jerman, penelitian
yang dilakukan Michelsen, G. (2005) menunjukkan, suatu negara maju dimana
pemerintah dan warga negaranya sangat mempedulikan masalah lingkungan dan
sosial dalam praktek kehidupan sehari-hari – diketahui bahwa pengetahuan warga
negara Jerman mengenai terminus ‘Pembangunan Berkelanjutan’ tidak mengalami
peningkatan berarti sejak tahun 1998 (tahun 1998 hanya 15% masyarakat yang
mengerti istilah PB, 2004 hanya 22%).
Menurut
survei ini, pengetahuan masyarakat mengenai istilah PB berkorelasi positif
dengan tingkat pendidikan mereka; semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin
istilah PB dikenal. Michelsen kemudian menggungkapkan hal-hal yang paling
sering dikaitkan dengan istilah ‘Pembangunan Berkelanjutan’ adalah keadilan,
perdagangan yang fair antara negara miskin dan kaya, dan
penanganan/pengelolaan sumber daya alam.
Komunikasi Pembangunan
Berkelanjutan digunakan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam mengelola lingkungan bersifat dialogis yang lebih banyak terjadi pada
komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Pola komunikasi dibentuk
untuk mengidentikasi dan mengkategorikan unsur-unsur yang relevan dari suatu
proses komunikasi khususnya komunikasi interpersonal. Pola komunikasi adalah
representasi dari suatu peristiwa komunikasi yang dapat digunakan untuk melihat
unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi. Sedangkan sejauh mana
efektivitasnya tergantung bagaimana relevansi antara pola komunikasi yang
dipakai dengan kondisi sosial, budaya dan psikologis khalayak.
Dengan demikian,
komunikasi yang efektif dapat dilihat dari prosentase antara khalayak yang
dapat dipengaruhi dengan khalayak peserta komunikasi, disamping itu efektivitas
komunikasi juga dapat diukur dari efek pada khalayak yang berupa kognitif,
afektif, konatif dan efek sosial meliputi difusi inovasi, opini publik,
akulturasi serta perubahan sosial ekonomi. Komunikasi yang efektif jika terjadi
dalam suasana yang menguntungkan, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan
pesannya menggugah perhatian dan minat komunikan.