Jakarta, 16 Juni 2014
(Ujang Rusdianto) – Bagi Indonesia yang sedang giat melaksanakan
pembangunan, pemberdayaan masyarakat memang telah direspons secara positif dalam berbagai
paket pembangunan dan kebijakan publik secara umum.
Pemberdayaan
menjadi “trademark” atapun jargon
yang telah dilakukan pada agenda dan kegiatan apa saja. Sayangnya, kondisi ini masih dalam batas-batas tertentu, dan telah
menyebabkan reduksi makna pemberdayaan sekaligus membelokkan pemberdayaan dari
orientasi awalnya. Dengan kata lain, pemberdayaan telah semakin kehilangan
makna substantifnya bersamaan digunakannya konsep tersebut untuk berbagai
situasi dan kondisi.
Beberapa paket pembangunan berisi pemberdayaan
yang dijalankan selama ini, utamanya berasal dari pemerintah pusat. Sayangnya, betapa banyak program pemberdayaan yang dijalankan namun
berakhir dengan belum berjalannya program secara
maksimal – jika tidak ingin menyebutnya gagal.
Atau
pada kondisi lain, misi pemberdayaan yang diemban program-program tersebut
justru bermuara pada semakin tidak berdayanya kelompok masyarakat yang
seharusnya diberdayakan. Banyak kelompok target yang menjadi sasaran
pemberdayaan justru menjadi korban dari program pemberdayaan itu sendiri.
Program
Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan sejenisnya adalah contoh paling nyata yang
merefleksikan kegagalan dan misorientasi kebijakan pemberdayaan masyarakat.
Demikian halnya dengan beberapa program pemberdayaan lain yang dijalankan
selama ini.
Selain
itu, kegagalan kebijakan-kebijakan pemberdayaan juga disebabkan oleh tidak
adanya pendekatan yang baik dan integral yang mampu menjamin sustainabilitas.
Dalam konteks itu, banyak pengamat menyakini bahwa intervensi kelembagaan
merupakan salah satu jalan keluar yang menjanjikan. Dengan berbagai karakter
inherennya, pendekatan ini mampu menjamin sustainabilitas kebijakan apapun yang
sedang dijalankan sejauh diintroduksi secara konsisten. Tuntutan ini sekaligus
menjadi salah satu titik terlemah dalam berbagai program pemberdayaan yang
dijalankan selama ini. (UR)