Jakarta, 17 Juni 2014
(Ujang Rusdianto) - Pelaksanaan otonomi daerah (Otda) tidak selalu berdampak positif. Seperti
dua keeping mata uang, ada bentuk dan tampilan yang berbeda. Dampak negatif sebagai
sisi lainnya, juga turut mewarnai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Dalam mewujudkan pembangunan daerah misalnya, langkah praktis yang umum dilakukan adalah mengundang investor untuk menggelola potensi sumber daya yang dimilki daerah masing-masing, seperti lahan perkebunan, pertambangan, dan sumber daya lainnya. Bertolak belakang dengan itu, tidak semua daerah beranggapan dari kegiatan eksploitasi sumber daya ini diharapkan nantinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dengan potensi sumber daya
alam yang dimiliki daerah, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar
bagi pembangunan, di sisi lain keberlanjutan atas ketersediaannya seringkali
terabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati justru kurang dipatuhi.
Akibatnya, ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan
menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Tentu, pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya
dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi,
dampak lingkungan dan lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh
jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung
mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu.
Jika melihat komponen
Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak daerah dan retribusi daerah memang memiliki
kontribusi yang lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Yang
menjadi persoalan, melakukan optimalisasi penerimaan pendapatan daerah secara
eksesif melalui PAD dengan meningkatkan hasil pajak daerah dan hasil retribusi
daerah, dalam jangka panjang juga akan menjadi kontra produktif dengan dunia
usaha. (UR)