Jakarta, 14 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) – Kepulauan Indonesia terbentuk dari 13.466 pulau (BIG,
2010) yang bergelimang sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Kekayaan yang
melimpah ruah itu berperan sebagai bekal pembangunan ekonomi Indonesia.
Kendati tren pembangunan agaknya masih berkinerja lumayan baik, sayangnya pertumbuhan ekonomi diiringi dengan merosotnya sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Indonesia menghadapi tantangan tak ringan: kelangkaan dan kualitas lingkungan menyusut.
Kendati tren pembangunan agaknya masih berkinerja lumayan baik, sayangnya pertumbuhan ekonomi diiringi dengan merosotnya sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Indonesia menghadapi tantangan tak ringan: kelangkaan dan kualitas lingkungan menyusut.
Lingkungan telah menjadi salah satu isu utama
yang banyak didiskusikan selama satu dekade belakangan ini. Melalui otonomi,
setiap pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya sendiri, termasuk
pengelolaan lingkungan sebagai salah satu sektor yang berpengaruh pada
pembangunan.
12 tahun berjalan, otonomi daerah kembali
digugat karena dengan adanya otonomi daerah degradasi lingkungan justru semakin
tinggi. Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara penyerap gas CO2
namun sebaliknya sebagai negara penyumbang CO2 terbesar karena kebakaran hutan
di daerah-daerah, misalnya untuk membuka kebun kelapa sawit.
Lain itu, kondisi sebagian besar sungai di
Indonesia semakin memburuk. Namun, pemerintah tidak memberi perhatian untuk
melakukan perbaikan. Sudah seharusnya limbah yang dibuang ke sungai sama jernih
seperti ketika pertama kali digunakan. Konsep nol pembuangan sudah seharusnya
diterapkan pada sungai-sungai di Indonesia.
Fakta-fakta
di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan berkelanjutan ini belum
mendapatkan perhatian yang cukup. Walaupun dalam retorika, pelestarian
lingkungan hidup cukup mendapat tempat yang baik, tetapi pada tingkat
pengambilan keputusan, prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup tidak
mendapatkan tempat yang layak. Pelestarian lingkungan hidup tetap menjadi “isu
pinggiran” dalam proses pengambilan keputusan.
Memang
kerusakan lingkungan telah lama terjadi di Indonesia, tetapi kerusakan
lingkungan di era otonomi daerah sekarang ini dinilai banyak kalangan semakin
menjadi-jadi. Eksploitasi lingkungan makin dominan dan tidak menunjukkan
perubahan paradigma kearah pembangunan berkelanjutan. Pemahaman terhadap
otonomi daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan
masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera.
Ganti pemimpin, berubah sistem, dan
dikeluarkannya kebijakan baru, tetap tidak akan menjamin kondisi lingkungan dan
Sumber Daya Alam (SDA) kita masih terpelihara dengan baik. Seperti diketahui,
bahwa kondisi lingkungan dan SDA kita sudah mengalami pencemaran dan perusakan
dari tingkatan ringan sampai berat. Dengan demikian implementasi Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia baru di tataran konsep dan peraturan. (UR)