Jakarta, 13 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Hasil review
pelaksanaan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan Hidup yang dilakukan
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Jakarta pada 17 Juni 2013, menunjukkan
bahwa masih terdapat permasalahan yang dialami selama pelaksanaan otonomi
daerah dibidang lingkungan hidup.
Pertama, Kebijakan/Peraturan PPLH daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi Kepala Daerah yang kurang terhadap lingkungan. Kedua, Sarana dan prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memadai. Ketiga, ketersediaan SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai. Keempat, pengalokasian anggaran yang sangat terbatas; dan Terkahir atau kelima, Iklim politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.
Pertama, Kebijakan/Peraturan PPLH daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi Kepala Daerah yang kurang terhadap lingkungan. Kedua, Sarana dan prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memadai. Ketiga, ketersediaan SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai. Keempat, pengalokasian anggaran yang sangat terbatas; dan Terkahir atau kelima, Iklim politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.
Yang
harus kita perhatikan, perubahan dari sentralisasi
menjadi desentralisasi diharapkan menjadi momentum yang dapat menumbuh
kembangkan proses reformasi pada tingkat lokal dan memberikan ruang gerak pada
bidang politik dan pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal,
sehingga tercipta corak pembangunan baru di daerah terutama dalam Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Kegagalan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup, setidaknya karena adanya tiga kegagalan dasar dari komponen
perangkat dan pelaku pengelola.
Pertama, adanya kegagalan kebijakan lag of policy sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang
tidak menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Misalnya kebijakan
penambangan pasir, di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk menciptakan
peluang investasti karena pasarnya sudah jelas. Namun disisi lain telah
menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung oleh
nelayan dan pembudidaya ikan disekitar kegiatan.
Kedua, adanya kegagalan masyarakat lag of community sebagai bagian dari
pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi
keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat ini terjadi akibat kurangnya
kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan akibat kurangnya
kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan, disamping
juga kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure pada pihak yang berkepentingan
dan berkewajiban dan mengelola dan melindungi lingkungan.
Ketiga, kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian pelaku pengelolaan regional yang
diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan
lingkungan. Kegagalan ini diakibatkan kurangnya kepedulian pemerintah dalam
mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara
menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait (stakeholder), yang selama ini pemerintah melakukannya secara
parsial dan kurang terkordinasi. (UR)