Jakarta, 25 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Fungsi hubungan
pemerintah, atau biasa disebut Public
Affairs (urusan publik), atau juga Government
Relations (Hubungan Pemerintah), adalah hal penting bagi setiap perusahaan.
Dapat dikatakan, perusahaan yang memiliki hubungan pemerintah umumnya
mendapatkan banyak manfaat, baik tingkat lokal maupun nasional.
Dengan kompleksitas
globalisasi dan aliran-aliran informasi yang semakin cepat – difasilitasi
internet, bisnis harus mendedikasikan perhatian dan sumber daya untuk secara
aktif mengelola hubungan-hubungan mereka dengan pemerintah dan para pembuat
kebijakannya.
Metode Hubungan
Pemerintah
Pertanyaan yang kerap
muncul, mengapa perusahaan harus berhubungan dengan pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan
ini, setidaknya ada beberapa alasan. Pertama,
bisnis pada padasarnya diatur oleh seperangkat regulasi, ada kewajiban setiap
perusahaan untuk mematuhinya. Kedua,
bisnis memiliki cost, seperti pajak
atau beban keuangan lain yang diwajibkan pemerintah pada perusahaan. Ketiga,
setiap perusahaan tentunya memiliki kompetitor.
Pemerintah memengaruhi
aktivitas bisnis terutama melalui regulasi, adanya regulasi tersebut pada
awalnya ditujukan untuk mengelola kompetisi pasar. Dalam beberapa kasus, regulasi
menggantikan “tangan ghaib (invisible hand)” Adam Smith untuk melindungi warga
dari harga-harga tinggi, layanan buruk dan bentuk-bentuk diskriminasi.
Sayangnya, regulasi pemerintah kadang tidak bisa membatasi praktik monopoli
yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar.
Upaya yang kerap
dilakukan perusahaan adalah dengan melakukan lobi. Dalam hal ini, lobi dimaknai
sebagai upaya mengadvokasi satu sisi kebijakan terhadap pegawai pemerintah.
Bentuk lobi dapat lakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung,
lobi dilakukan dengan 1) Bertemu dengan dewan, staf ahli, atau pejabat
pemerintah lainnya, 2) Mengirim surat, email atau fax pada pejabat pemerintah.
Sedangkan secara tidak langsung, melalui kampanye atau bahkan demo.
Perusahaan dapat maju
sendiri di dalam usaha lobi, melobi pada basis individu atau bergabung ke dalam
asosiasi-asosiasi Industri untuk berurusan dengan isu-isu penting sebagai suatu
kelompok, di Indonesia upaya ini pernah ditunjukkan oleh pengusaha-pengusaha
tembakau yang menolak kebijakan pemerintah, atau dua industri pertambangan – PT
Freeport dan PT Newmont terkait pembangungan Smelter. Metode lainnya, adalah
dengan membentuk komite aksi politik. Ide untuk pergerakan ini datang dari
buruh terorganisir, yang menciptakan komite resmi yang bertanggung jawab dalam
menggalang dan menyebarkan uang untuk mendukung kampanye-kampanye politik.
Ketika Bisnis mengelola
Pemerintah
Dalam kondisi
keterlibatan pemerintah dalam urusan bisnis, bisnis pun akhirnya menyadari
bahwa daripada melawan regulasi, sebuah pendekatan efektif adalah membela
posisi-posisi mereka sendiri pada para pembuat keputusan politik utama.
Perkembangannya sekarang
ini, perusahaan-perusahaan mulai melindungi kepentingan mereka sendiri dengan
taktik-taktik lobi dan negosiasi yang dikemas dengan baik, terutama ketika
bisnis menghadapi oposisi yang substansial dari kelompok konsumen atau
komunitas, sementara politisi ingin menyelesaikannya dengan damai.
Philip Morris – sebuah
perusahaan rokok, merupakan kontributor komite aksi politik terbesar di dalam
siklus pemilihan umum di Amerika tahun 1987-1988, mendistribusikan dana sekitar
623.380 Dollar. Di dalam pemilihan umum tahun 2002, PAC dari perusahaan induk Philips
Morris, yaitu Altripac, menggelontorkan 1.072.467 dollar (Argenti, 2010 : 271).
Bisnis mulai atau sedang
menggunakan taktik untuk melancarkan agenda mereka sendiri pada pemerintah.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi banyak bisnis untuk membentuk departemen
yang secara khusus bertanggung jawab dan menjalin hubungan dengan pemerintah.
Fungsi ini khususnya berkonsentrasi pada efek-efek positif dan negatif dari
kebijakan dan perubahan kebijakan, serta tak sedikit memonitori pergeseran
perubahan ideologi dan agenda pemerintah.