November dua tahun lalu, produsen sereal Kellogg meminta maaf
setelah mengirim tweet yang menyiratkan niat mereka memberikan hadiah berupa
satu sarapan yang diberikan kepada satu anak yang rentan untuk setiap re-tweet
yang mereka terima.
Pesan yang berbunyi “1 RT = 1 breakfast for a vulnerable
child ” dikirim dari akun @KelloggsUK itu memancing kemarahan dan balasan marah
di situs media sosial. Tweet tersebut dicap “bodoh” dan “sinis”. Linda Sandvik
misalnya mengatakan, “Kellogg, jika Anda memiliki kemampuan untuk memberi makan
anak-anak yang membutuhkan maka lakukan!” Pengguna Twitter lainnya, David
Ingram menambahkan, “Mempromosikan merek atau membiarkan anak-anak tetap lapar…
tetap saja Kellogg berkelas..”
Sehari setelah itu, perusahaan langsung menghapus pesan yang
membuat banyak orang tersiinggung itu dengan menyampaikan permintaan maaf
mereka. “Kami ingin meminta maaf atas tweet baru-baru ini, salah dalam
menggunakan kata-kata. Pesan itu telah dihapus. Kami memberikan dana untuk klub
sarapan sekolah di daerah rawan..”
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah konsep bisnis
di mana perusahaan berusaha untuk berperilaku bertanggung jawab terhada masalah
sosial dan lingkungan sehingga bisnis memberikan kontribusi yang bermakna dan
langgeng kepada masyarakat (Hopkins, 2007).
Perusahaan terdorong untuk terlibat dalam program-program
tanggung jawab sosial karena manfaat potensialnya terhadap bisnis, yang
meliputi peningkatan merek, diferensiasi pasar, dan kepuasan karyawan
(www.dowelldogood.net). Namun, perusahaan sering gagal mengkomunikasikannya
secara efektif kegiatan CSR mereka kepada khalayak sasaran sehingga menghambat
perusahaan merealisasikan manfaat bisnis itu.
Dalam konteks dengan komunikasi CSR ini, ada dua tantangan
yang harus diatasi pengelola kegiatan CSR. Tantangan pertama, stakeholder
awareness. Keberhasilan kegiatan CSR sangat bergantung pada awareness para
pemangku kepentingan dari kegiatan CSR perusahaan.
Persoalannya, studi empiris baru-baru ini mengungkapkan bahwa
awareness kegiatan CSR perusahaan para pemangku kepentingan eksternal
(misalnya, konsumen) atau bahkan stakeholder internal (misalnya, karyawan)
biasanya rendah (Sen et al., 2006). Fenomena ini merupakan sandungan utama
upaya perusahaan menuai keuntungan strategis dari kegiatan CSR.
Tantangan kedua, skeptisisme stakeholder. Di luar kesadaran,
tantangan utama lainnya adalah skeptisisme stakeholder. Di satu sisi
stakeholder mengklaim bahwa mereka ingin tahu tentang perbuatan baik dari
perusahaan yang memproduksi barang yang mereka beli atau berinvestasi, di sisi
lain, mereka curiga motif perusahaan ketika perusahaan agresif mempromosikan
upaya CSR mereka. Tidak seperti informasi pemasaran lain seperti kualitas
produk dan inovasi baru, informasi CSR perusahaan mencerminkan “karakter,” atau
“jiwa” sebuah perusahaan.
Karakter perusahaan dan kegiatan CSR yang dilakukannya
membuat memunculkan pertanyaan di kalangan pemangku kepentingan seputar motif
yang mendasari penilaian bahwa kegiatan itu penting. Bisa saja ada reaksi jika
pemangku kepentingan memahami kegiatan tersebut lebih didominasi oleh
kepentingan diri sendiri atau motif keuntungan, daripada perhatian yang tulus
perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penelitian terbaru tentang atribusi CSR menunjukkan bahwa
stakeholder sering melihat dua hal, yakni intrinsic yang berkaitan dengan motif
asli kepedulian sosial dan lingkungan, dan ekstrinsik yang berkaitan dengan
motif keuntungan. Yang menarik, para pemangku kepentingan sering toleran
terhadap motif ekstrinsik selama inisiatif CSR dikaitkan dengan motif
intrinsic. Sikap toleran terhadap motif ekstrinsik ini menunjukkan bahwa
stakeholder telah belajar lebih banyak tentang CSR dan motivasi perusahaan.
Mereka semakin bersedia untuk mengadopsi perspektif win-win, percaya bahwa inisiatif
CSR dapat dan harus melayani baik kebutuhan masyarakat dan bisnis.
Karena itulah menciptakan kesadaran pemangku kepentingan dan
mengelola atribusi pemangku kepentingan merupakan prasyarat utama untuk menuai
manfaat strategis dari setiap inisiatif bisnis. Para anggota dewan dan
eksekutif senior harus melembagakan program CSR sehingga memiliki pemahaman
yang lebih dalam isu-isu kunci yang berkaitan dengan komunikasi CSR.
Ini termasuk pertanyaan seputar apa yang dikomunikasikan (isi
pesan), di mana komunikasi dilakukan (saluran pesan), sumber informasi,
motivasi perusahaan, industri perusahaan, reputasi merek, dan sifat bisnis
perusahaan, serta pemahaman tentang faktor-faktor (internal dan eksternal
organisasi). Faktor-faktor tadi sangat mempengaruhi para pemangku kepentingan
perusahaan dan publik lainnya dalam menafsirkan serta menanggapi informasi
tentang kegiatan CSR.
Beberapa studi akademis juga menekankan tentang kecocokan
antara jenis kegiatan CSR dan karater perusahaan yang mengacu pada hubungan
logis antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR atau organisasi yang
mendukungnya (Simmons & Becker-Olson, 2006). Hal ini dianggap penting
karena ketika kecocokan antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR
rendah, individu-individu yang terlibat dalam kegiatan akan mengalami kesulitan
dalam menjelaskan motivasi perusahaan untuk mendapatkan dukungan atas kegiatan
yang dilakukannya.
Ketika tidak ada informasi lain yang ditawarkan yang bisa
menjelaskan secara logis, individu-individu dalam masyarakat menjadi skeptis
terhadap motif sebenarnya perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR. Ini dapat
menyebabkan munculnya perasaan negatif atau sinisme terhadap perusahaan. Di
sisi lain, perusahaan tidak memiliki kontrol secara keseluruhan atas faktor-faktor
ini, strategi komunikasi yang efektif dapat membantu perusahaan dalam membuat
dan menyampaikan pesan paling menguntungkan bagi perusahaan.
Tahun lalu, KFC sebagai sebuah merek melakukan gerakan
Kesadaran Kanker Payudara dengan kampanye “Buckets
for the Cure.” KFC mendorong orang membeli ayam goreng dan
menyisihkan pendapatan dari penjualan itu untuk kegiatan penelitian kanker
payudara. Sayangnya, sebagai rantai makanan cepat saji, banyak penelitian yang
dikutip mengatakan bahwa makanan yang digoreng sebagai agen penyebab kanker.
Kamapnye itu tidak hanya menarik perhatian pada risiko kesehatan yang
berhubungan dengan makanan KFC, tetapi juga membuat KFC tampak otentik dan
lebih tertarik pada keuntungan dari pada sekadar memberikan kembali untuk
tujuan yang baik.
Kecocokan CSR merupakan hasil dari asosiasi yang dishare oleh
brand dan kegiatan CSRnya, misalnya menyangkut dimensi produk (merek produk
herbal mensponsori kegiatan perlindungan hutan), afinitas dengan segmen target
tertentu (misalnya, Avon memerangi kanker payudara), atau asosiasi citra
perusahaan yang diciptakan oleh perilaku masa lalu merek dalam domain sosial
tertentu (misalnya, Ben & Jerry dan kegiatan Body Shop aktif dalam
perlindungan lingkungan).
Kecocokan CSR ini penting karena mempengaruhi
keingin-jelasan stakeholder CSR. Kecocokan CSR rendah, misalnya karena
kurangnya koneksi logis antara masalah sosial dan bisnis perusahaan, bisa
memicu skeptisisme stakeholder dan atribusi ekstrinsik, sehingga mengurangi
reaksi positif mereka terhadap kegiatan CSR perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan harus memperhatikan kecocokan CSR dengan mensinkronkan antara
inisiatif sosial dan masalah sosial dan manfaat yang diinginkan perusahaan.
Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kecocokan sifat CSR
yang tinggi, perusahaan harus menjelaskan agar kecocokan meningkat. Misalnya,
DenTek Oral Care, sponsor kegiatan American Diabetes Association,
mengkomunikasikannya bahwa diabetes dapat menyebabkan kerusakan gigi, bau
mulut, mulut kering, dan penyakit gusi. Bila banyak orang tidak mengetahui
tentang kaitan masalah gigi dan diabetes, maka sponsorship terlihat sebaliknya,
kegiatannya dinilai memilki kecocokan yang buruk. Dengan menjelaskan ke publik
tentang keterkaitan itu dan itu mendasari sponsorship dan bisnis inti,
perusahaan mampu menciptakan kecocokan yang dirasakan tinggi sehingga menuai
keuntungan bisnis yang lebih besar dari kegiatan CSR.
Pada tahun 2010, H & M menerima publisitas negatif di
Twitter setelah salah seorang warga New York melaporkan kepada koran The New
York Times tentang adanya toko lokal H&M yang sengaja menghancurkan dan
membuang barang tanpa mengikuti prosedur toko yang baik. Cynthia Magnus,
seorang mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi di New York melihat
sebuah toko H & M di 34th Street membenamkan kantong sampah penuh pakaian
yang sengaja dihancurkan.
Prihatin bahwa sebenarnya limbah pakaian itu masih baik dan
bisa disumbangkan untuk amal, Magnus menghubungi kantor pusat H&M. Ketika
dia tidak mendapat respon yang baik dari kantor pusat H&M, dia menulis
surat kepada New York Times. The Times menulis itu sebagai cerita kecil di
bagian berita regional mereka.
Meski demikian, cerita ini kemudian di-tweet oleh tweeter dan
diunduh lebih dari 12.000 kali (Forstater 2014). Karena insiden itu dikenal
dikenal secara luas dan persoalan menjadi melebar karena kemudian muncul
tuduhan H & M tidak menyumbangkan pakaian-pakaian itu kepada orang-orang
yang membutuhkannya. Sebagai salah satu contoh tambahan dari publikasi CSR
negatif, ActionAid mengkritik H & M tidak membayar cukup banyak pajak ke
Bangladesh, tempat barang dagangan mereka diproduksi (Actionaid 2014).
Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa resonansi
pesan-pesan positif maupun negatif terkait dengan isu CSR sangat dipengaruhi
oleh seberapa besar publik bersimpati terhadap korban. Dalam kaitan ini,
audiense telah memiliki persepsi bahwa korban tidak bersalah sehingga ketika
mereka mendengar informasi tentang ketidakselarasan hubungan antara perusahaan
dan publik, publik selalu dipersepsikan sebagai korban dan perusahaan selalu
dipersepsikan sebagai pihak yang salah.
Kadang-kadang perusahaan tidak memahami cara
mengkomunikasikan CSR. Ketika berbicara soal lingkungan sebagai dari salah
aspek dalam CSR misalnya, seringkali dikatakan bahwa perusahaan memerlukan
lebih banyak produk berlabel ‘ekologi’. Label tersebut bagus, namun perusahaan
harus menjelaskan manfaat produk ekologi bagi lingkungan, kesehatan, dan
sebagainya. Namun bagaimanapun, perusahaan terus tertantang untuk berkomunikasi
dengan masyarakat dan seringkali tidak mengkomunikasikan manfaat lingkungan
sebanyak seperti seharusnya mereka lakukan.
Baca selengkapnya;