Cyber Spin



Citibank tampaknya tengah menghadapi godaan dari aktivitas dunia maya (cyber space). Kartu kredit yang konsumennya dikenal paling loyal ini tengah menghadapi sebuah gerakan maya untuk mengembalikan biaya materai yang selama ini ditagihkan ke konsumen setiap bulannya. Ironisnya, gerakan itu dipelopori oleh konsumennya sendiri. Gerakan ini begitu sistematis (inilah dampak buruk kalau memiliki target kelas menengah ke atas) dan berkembang sangat cepat dengan memanfaatkan  teknologi internet.

Sedangkan Unilever sempat sibuk menghadapi beberapa milis yang memposting kandungan beberapa produknya, termasuk Sunsilk dan Pepsodent, yang mengandung formalin. Sementara itu, sepanjang September kemarin, berseliweran kasus-kasus miring beberapa merek seperti Panadol, Bank Mandiri, serta Starbucks. Dan semuanya bermuara pada satu aktivitas masyarakat modern, yaitu internet (lihat boks). Internet menjadi “mesin pembunuh merek” yang baru, menggantikan peran media massa konvensional.

Shadow Boxing
Menghadapi serangan-serangan di dunia maya memang tidak mudah. Salah seorang praktisi pemasaran dengan tegas tidak akan pernah meladeni suara-suara miring dari internet, mengingat tidak tahu secara pasti siapa yang akan menjadi lawan. Jadi memang mirip dengan shadow boxing, bertinju dengan bayang-bayang. Beberapa praktisi Brand Public Relations berpikir sebaliknya, kalau kita diajak tinju oleh bayangan, kenapa kita tidak menjadi bayangan juga? Dan bukankah bayangan selalu memiliki wujud asal; sekalipun tidak mudah untuk menebaknya.

Dengan 18 juta pengguna internet tahun 2006, dan diperkirakan bertambah menjadi 23 juta pada tahun ini, maka rasanya bukan waktunya lagi memperdebatkan apakah kampanye-kampanye negatif yang terjadi di dunia maya berpengaruh atau tidak. Ini yang mesti menjadi perhatian praktisi merek.

 Berbeda dengan serangan dari media massa konvensional, di mana kita bisa mudah membuat pemetaan arah dan sumber berita-berita negatif, serangan media internet—terutama yang beredar di milis (mailing list)—hampir pasti sulit untuk mencegahnya. Seberapa pun besarnya pemberitaan negatif di media konvensional, sumbernya tetap saja satu, yaitu redaktur dari media yang bersangkutan.

Sementara itu, di dunia maya, setiap individu bisa berperan sebagai redaktur. Mereka memposting semua informasi yang berkaitan dengan berita negatif sebuah merek. Dan yang paling fatal adalah jika yang diposting adalah pengalaman pribadi. Efek testimoni lebih dahsyat ketimbang opini.
Jadi, mau tidak mau, kita harus dengan intens terlibat dalam dunia maya, baik ada atau tidak ada postingan yang negatif. Dan itu banyak manfaatnya. Karena kalaupun tidak ada black campaign, kita bisa membangun kampanye positif. Mencitrakan merek secara sistematis di banyak milis. Dengan begitu, kalaupun terjadi kampanye negatif, setidaknya merek kita sudah memiliki bantalan pencitraan. Ini akan memperlambat proses penyebaran isu ke tataran yang lebih luas.

Seperti yang dilakukan oleh Unilever, dengan satu jawaban simpel tentang fungsi dan kuantitas formalin yang terkandung di dalam produk mereka, maka suara-suara sumbang di milis pun bisa diredam. Untungnya, ini murni suara konsumen iseng, tidak ditunggangi oleh kompetitor. Jadi relatif mudah meng-handle-nya.

Kamuflase Knowledge
Hal yang paling mencemaskan sebetulnya kalau dalam milis terdapat penjelasan “ilmiah populer” terhadap sebuah kasus, dan dilakukan oleh kompetitor. Sengaja saya buat dua tanda petik dalam tulisan ilmiah populer, karena seringkali dalam sebuah kasus banyak sekali penjelasan ilmiah yang menerangkan ini dan itu terhadap sebuah yang produk bermasalah. Seolah ilmiah, sebetulnya hanya informasi yang dipelintir sehingga seperti ilmiah betulan. Sialnya, ini memunculkan opini negatif baru.

Maka, tugas kedua kita adalah menyiapkan karakter di dunia maya yang memiliki basis product knowledge kuat, tapi juga jago menyederhanakan bahasannya dan ahli spinning. Dengan begitu, dia akan muncul sebagai tokoh bijak yang mengklarifikasi setiap masalah. Seperti misalnya kalau kita lihat kasus Coca-Cola, akan sulit meyakinkan jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang enzim, pencernaan dan suhu optimum tubuh. Kalau dibiarkan, ini akan menjadi bola salju yang tumbuh di bawah sadar; sehingga banyak orang yang percaya bahwa Coca-Cola memang seperti yang dikabarkan di milis. Itulah sebabnya, Coca-Cola tengah melakukan riset ilmiah dengan IPB untuk memberikan bukti sekaligus menjawab suara-suara miring mengenai produknya.

Bisa juga sih kita menjawab sama ngawurnya, atau asal membela merek yang diserang, tapi bukan itu rasanya point yang dibutuhkan publik dalam “cyber spin”. Mereka butuh klarifikasi cerdas yang bukan bahasa resmi tanpa arti. Apalagi sekadar kata-kata bersayap yang sering kita baca dari praktisi PR saat menjawab surat pembaca.

Jadi, kita harus membuat bayang-bayang tandingan pula untuk berhadapan dengan cyber spin. Sesekali harus muncul ke depan tampil secara jantan. Namanya juga diajak bertinju melawan bayangan.

Memang, energinya mesti dilebihkan sedikit. Kontrol terhadap isu di dunia maya praktis mesti dipantau 24 jam. Konten informasi mesti disiapkan dengan sistematis, karakter-karakter pelaku juga mesti dibangun, plus kemampuan spinning yang kuat. Tapi yakinlah, tidak akan sia-sia. Toyota selamat dari isu soft recall (yang dipelintir jadi silent recall) karena ketangguhan tim Cyber Toyota menjaga gawang isu. Penyusup tanpa nama bisa segera diminimalkan kredibilitasnya, sehingga tidak ada lagi yang mau membaca postingannya.

Seru, kan? Selamat datang di dunia cyber dengan PR. (www.marketing.co.id)

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538