The Real Business of Business



The guiding principle of business value creation is a refreshingly simple construct: companies that grow and earn a return on capital that exceeds their cost of capital create value. The financial crisis of 2007–2008 and the Great Recession that followed are only the most recent reminders that when managers, boards of directors, and investors forget this guiding principle, the consequences are disastrous—so much so, in fact, that some economists now call into question the very foundations of shareholder-oriented capitalism. Confidence in business has tumbled.
Politicians and commentators are pushing for more regulation and fundamental changes in corporate governance. Academics and even some business leaders have called for companies to change their focus from increasing shareholder value to a broader focus on all stakeholders, including customers, employees, suppliers, and local communities.
No question, the complexity of managing the interests of myriad owners and stakeholders in a modern corporation demands that any reform discussion begin with a large dose of humility and tolerance for ambiguity in defining the purpose of business.
But, I believe the current debate has muddied a fundamental truth: creating shareholder value is not the same as maximizing short-term profits—and companies that confuse the two often put both shareholder value and stakeholder interests at risk. Indeed, a system focused on creating shareholder value from business isn’t the problem; short - termism is. Great managers don’t skimp on safety, don’t make value-destroying investments just because their peers are doing it, and don’t use accounting or financial gimmicks to boost short-term profits, because ultimately such moves undermine intrinsic value.

What’s needed at this time of reflection on the virtues and vices of capitalism is a clearer definition of shareholder value creation that can guide managers and board directors, rather than blurring their focus with a vague stakeholder agenda. I do believe that companies are better able to deliver long-term value to shareholders when they consider stakeholder concerns; the key is for managers to examine those concerns systematically for opportunities to do both.

Menolak di-Drive Praktik Komunikasi PR Nakal



https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/

Pernahkah anda menyaksikan iklan perusahaan di media massa yang mengusung tema ramah lingkungan, peka sosial atau bahkan CSR/tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih luas? Bagaimana pendapat anda tentang iklan tersebut?
Sekilas ada nuansa positif memang bila kita menyaksikan iklan korporat yang ditampilkan Public Relations atau praktisi Corporate Communication melalui media massa. Strategi gaya lama yang umum digunakan adalah dengan mengklaim diri sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, peka sosial dan lainnya melalui iklan korporat mereka.
Namun bagi penulis, meski cara komunikasi itu menginspirasi untuk kebaikan - namun sayangnya, masih banyak kalangan bisnis yang belum menunjukkan perubahan fundamental dalam memperhatikan lingkungan sekitar. Boleh jadi karena terbatasnya pemahaman, atau mungkin menafikan kebutuhan perubahan paradigmatik dalam kebijakan bisnis mereka sendiri.

Polesan pesan di tangan para ahli komunikasi, diakui melahirkan dampak citra perusahaan yang super mengagumkan. Di sisi lain, realitas kinerja dalam aspek sosial dan lingkungan yang dikebiri merupakan sisi yang tidak bisa telan mentah-mentah begitu saja. Kepentingan komersil telah mengalahkan sisi kemanusiaan. Jika demikian, bisa jadi iklan greenwashing-lah yang sebenarnya sedang diperagakan oleh "oknum" korporat melalui media massa.

Di tengah hiruk pikuknya iklan Korporat, utamanya yang memuat CSR sebagai pesan iklan misalnya, ada kemungkinan iklaniklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra belaka. Seperti diketahui, Citra perusahaan kerap dinyatakan sebagai variabel antara dalam hubungan antara kinerja CSR dengan kinerja finansial perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Chahal dan Sharma (2006). 
Publikasi Siahaan dan Jalal misalnya, telah memberikan contoh yang baik terkait penelitianpenelitian mutakhir yang membicarakan kaitan di antara keduanya memang menemukan hubungan yang semakin erat (tight coupling). Lee (2008) juga menegaskan bahwa popularitas CSR semakin meningkat sebagai strategi berbisnis. 
Kembali pada greenwash - konsep ini secara sederhana merupakan istilah marketing yang digunakan untuk mempromosikan atau memberikan persepsi jika sebuah produk dari perusahaan dalam proses produksi dan kebijakannya bersahabat dengan alam (ramah lingkungan). Dimana hal ini hanya sebuah cara untuk mencari keuntungan, tetapi dalam praktiknya jauh dari kata ramah lingkungan.

Lebih Dekat dengan Greenwash

Greenwashing pertama kali dikenalkan oleh Jay Westerveld, seorang penggiat lingkungan di New York pada tahun 1986 tentang praktik industri hotel yang menempatkan plakat di setiap kamar untuk mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai tindakan pura-pura untuk menyelamatkan lingkungan.

Westerveld mencatat bahwa usaha mengurangi limbah yang  dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut terbukti dengan tidak adanya pengurangan biaya praktek yang dilakukan. Dan Westerveld berpendapat bahwa tujuan sebenarnya dari ‘kampanye hijau’ pelaku bisnis perhotelan itu pada kenyataannya adalah untuk peningkatan laba.
Contoh kasusnya, pada tahun 1988, Dewan Industri Kehutanan Kolombia, menghadapi tekanan yang luar biasa dari gerakan lingkungan yang berkembang (www.adbuster.org, diakses 14 April 2015). Industri penebangan melawan balik - melawan dengan kampanye iklan televisi berjudul “Forest Forever” (Hutan Selamanya). Adegan anak-anak, para pekerja dan binatang-binatang ditampilkan bahagia, dengan narator yang terkesan bisa dipercaya, meyakinkan publik bahwa industri penebangan melindungi hutan.
Lasn dan Schmalz marah dengan penggunaan terang-terangan gelombang miliki publik ini untuk menyajikan propaganda menipu, anti – lingkungan. Dan mereka melawan kembali dengan memproduksi “Talking Rainforest” (Hutan Hujan Tropis Berbicara), sebuah anti iklan dimana sebatang pohon tua menjelaskan pada sebatang pohon muda bahwa “Pertanian pohon bukan hutan”. Namun ketika sang duo ini hendak membeli air time di stasiun yang sama dengan di mana iklan ini ditayangkan – mereka ditolak.
Kampanye ini adalah contoh dari awal dari greenwashing. Perkembangannya sekarang ini, kita dikelilingi oleh berbagai iklan dan ajakan yang diberi warna hijau. Di pasar swalayan kita sering ditawari ‘green bag‘. Saat di mal, ada agen yang aktif mempromosikan apartemen ‘green building‘. Kemudian saat di jalan, ada spanduk besar kontraktor yang katanya juga green‘. Dalam kampanye-kampanye, ada pidato tokoh politik yang juga menyinggung-nyinggung ‘green‘, seperti era yang patut dilabeli All About Green.
Tapi alangkah lebih baik, jika kita tidak langsung menyimpulkan bahwa iklan-iklan tersebut sebagai greenwashing. Untuk mengetahuinya, berdasarkan situs yang berkaitan langsung dengan greenwashing yaitu sinofgreenwashing.org (28/02/2010), ada tujuh dosa yang berhubungan dengan tindakan greenwashing, yaitu sebagai berikut :
1)    Sin of the Hidden Trade-off; Sebuah pernyataan hijau dengan hanya melihat dari satu atribut sempit tanpa memperhatikan isu-isu lingkungan penting lainnya. Kertas misalnya, disebut hijau karena berasal dari sumber daya pohon yang bisa tumbuh kembali padahal isu lingkungan lainnya menyatakan bahwa dalam proses pembuatannya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar, ditambah lagi penggunaan pemutih klorin yang menjadi zat pencemar.
2)    Sin of No Proof (Tanpa Bukti); Sebuah pernyataan hijau yang tidak dapat dibuktikan dengan mudah dan didukung oleh informasi yang tepat atau telah melalui sertifikasi pihak ketiga yang terpercaya. Misal, sampo menggunakan bahan organik tapi tak ada sertifikisinya.
3)    Sin of Vagueness (Ketidakjelasan); Sebuah pernyataan hijau yang penuh ketidakjelasan, sehingga besar kemungkinan konsumen akan salah paham atau salah menanggapi. Misal, “Terbuat dari bahan Alami” padahal tidak semua yang yang alami itu hijau. Malah beberapa di antaranya adalah sangat beracun. Merkuri dan Uranium juga berasal dari alam dan sangat tidak disarankan untuk digunakan lagi.
4)    Sin of Worshiping False Labels (Label Palsu); Sebuah pernyataan hijau suatu produk melalui kata-kata atau gambar yang memberikan kesan telah disertifikasi oleh pihak ketiga padahal tidak ada dukungan seperti itu; label palsu.
5)    Sin of Irrelevance (Relevan); Pernyataan hijau yang mungkin benar tetapi tidak penting atau tidak berguna bagi konsumen yang mencari produk lebih lingkungan. ‘CFC-free’ adalah contoh umum, karena ini adalah klaim yang sering terlepas dari kenyataan bahwa CFC memang dilarang oleh hukum.
6)    Sin of Lesser of Two Evils (Dua Kejahatan); Sebuah penyataan hijau yang mungkin benar pada suatu kategori produk, tapi mengalihkan risiko konsumen dari dampak lingkungan yang lebih besar dari kategori secara keseluruhan. Rokok organik bisa menjadi contoh Dosa ini, seperti juga kendaraan sport utility vehicle yang hemat bahan bakar.
7)    Sin of Fibbing (Berbohong); Pernyataan hijau yang sungguh-sungguh palsu. Contoh yang paling umum adalah produk palsu yang mengaku telah disertifikasi atau terdaftar oleh Energy Star.

Sumber : Nuanasa Periklanan Korporat, Ujang Rusdianto (Calpulis, 2016)
------------
#publicrelations #kehumasan #jurnalistik #mediamassa #iklan #corporateadvertising #advertising #periklananmedia #jurnalisme 

Benarkah dunia PR dunia Basa-basi?

https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/

Kebutuhan akan Public Relations dalam mendukung keberhasilan suatu perusahaan sudah lama dirasakan. Kini, tak sedikit perusahaan makin menyadari fungsi Public Relations semakin strategis, tidak hanya untuk mengkomunikasikan pesan manajemen, melainkan untuk menjaga reputasi perusahaan.

Sejak diperkenalkan awal abad ke-20, Public Relations terus mengalami perkembangan yang luar biasa. Publikasi Argenti (2010 : 52) bahkan mencatat, para tokoh dari bidang Public Relations – seperti Ivy Lee dan Edward Bernays, dan kemudian Horward Rubenstein dan Daniel Edelman – telah membantu fungsi hubungan masyarakat berkembang dari akar jurnalistiknya pada sebuah profesi yang lebih dipoles dan dihargai. Selain Public Relations internal, agensi Public Relations juga turut mendominasi bidang sistem komunikasi.

Kiranya sudah jamak disebut, perkembangan Public Relations secara akademis dan praktisi sedikit berbeda. Dalam dunia bisnis, Public Relations sudah lama dikenal sejak tahun 1950-an, tetapi dalam dunia akademis baru dikenal sejak tahun 2000-an. Meski sudah cukup lama dikenal, peranan Public Relations di Indonesia masih belum dapat diimplikasikan sebagaimana mesti-nya dalam struktur manajemen, seperti yang telah dilakukan di negara-negara barat.

Yang menarik, tahun 2012 seolah menjadi tonggak bagi dunia Public Relations sesungguhnya - bukan dunia basa-basiPada fase ini, profesi ini bukan hanya dilihat sebagai media relations, pengganti iklan dan menghasilkan penjualan. Public Relations kini adalah komponen penting dalam komunikasi. Bagaimanapun awareness saja tidak cukup. Stakeholder sekarang memerlukan pemahaman, katerikatan (engagement) dan keterwakilan (association) dengan mereka.

Public Relations telah memasukan konsep dan strategi digital dalam lingkup kerjanya, yang kemudian memunculkan istilah Cyber PR, Online PR atau PR 2.0. Kondisi ini sejalan dengan makin banyak pemilik merk yang sadar akan hal ini dan mendapatkan keuntungan sebagai early adopter, walaupun masih banyak pula yang masih belum mampu secara tepat beradaptasi dan akhirnya tertinggal. Namun perubahan ini setidaknya telah mengubah definisi Public Relations yang selama ini telah menjadi konsensus.
Public Relations Society of America (PRSA) bahkan telah menawarkan kepada para praktisi dan akademisi Public Relations terkait definisi Public Relations yang baru, yaitu : “Public Relations adalah sebuah proses komunikasi strategis yang membangun hubungan saling menguntungkan antara organisasi dan publik mereka” (www.marketing.com, dipublikasikan 8 Maret 2012).

Beragam Sudut Pandang
Pendapat para ahli terkait definisi baru ini cukup beragam. Gerry Corbett, Chairman sekaligus CEO PRSA misalnya, berpendapat definisi baru di atas bisa memberikan kejelasan kepada masyarakat luas tentang fungsi Public Relations  saat ini. 
Pandangan positif terkait definisi baru ini juga datang dari Larry Parnell, Direktur Program Strategic public Relations di Graduate School of Political Management, Universitas George Washington. Ia menyambut baik adanya definisi baru yang dipublikasikan PRSA di atas. Meski demikian, Parnell pun tetap mengusulkan perubahan kata publik menjadi stakeholder dalam definisi baru tersebut. Menurutnya, stakeholder lebih deskriptif dan jauh lebih jelas serta dapat dipahami oleh semua orang.
Sementara itu, pendapat berbeda terkait definisi baru tersebut datang dari Mike McDougall, Managing Partner McDougall Travers Collins. Menurutnya definisi baru yang terpilih dan dipublikasikan PRSA sedikit kabur, terlalu teoritis dan tidak sesuai jika diterapkan dalam di dunia bisnis. Apa yang diungkapkan Mike ini merupakan sesuatu yang wajar ketika kita berusaha merangkum sesuatu yang terlalu besar.


Sumber : Nuanasa Periklanan Korporat, Ujang Rusdianto (Calpulis, 2016)

---------------
#publicrelations #corporatecommunication #periklanan #marketingcommunications

Mengkomunikasikan CSR atau Pengelabuan Citra?

https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/

Minggu, 15 Mei 2016 - Sebelum menulis buku ini, penulis tertarik dengan pertanyaan dalam diskusi akademis, pertanyaanya; Berapa banyak perusahaan di Indonesia mengiklankan produk atau jasa mereka? Jawabannya bisa tak terhingga, karena faktanya memang banyak perusahaan yang telah mengiklankan produk atau jasa mereka pada konsumen, bentuk dan strategi iklan yang dipilih pun juga beragam. 
Namun, jika pertanyaan yang diajukan berubah menjadi berapa banyak perusahaan di Indonesia yang mengkomunikasikan perusahaan mereka sendiri? Berapa banyak pula perusahaan yang “berani” mengkomunikasikan kinerja CSR yang sesungguhnya? Mungkin jawabannya bisa dihitung dengan jari.
Pemicu lainnya terbitnya buku ini, membaca artikel Jannus Siahaan (Koran Tempo, 14 Mei 2008). Di tengah hiruk pikuknya iklan-iklan bertema lingkungan dan CSR (Corporate Social Responsibility), ia mengingatkan bahwa banyak sekali kemungkinan iklan-iklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra belaka.
Secara khusus, Jalal dari Lingkar Studi CSR juga me-review tulisan Jannus dengan judul “Menelanjangi Perusahaan yang Berintensi Buruk.” Dalam tulisannya, Jalal mengungkapkan bahwa banyak perusahaan yang ”sadar” kalau mereka melakukan intervensi dalam citra belaka— bukan kinerja CSR sebenarnya—maka mereka juga bisa mendapatkan keuntungan yang sama, bahkan dengan biaya jauh yang lebih sedikit.
Perusahaan seperti inilah yang kemudian gencar melakukan pengelabuan citra. Mereka berharap bahwa dengan memperbesar anggaran untuk tampil di muka publik dengan citra ramah sosial dan ramah lingkungan, mereka akan segera dikenal sebagai perusahaan ”berkinerja CSR tinggi”, tanpa terlebih dahulu bersungguh-sungguh meningkatkan kinerja dalam aspek sosial dan lingkungan.
Apa yang diungkapkan Jalal, bisa jadi benar. Karena hanya mencurahkan sumberdaya untuk meningkatkan citra saja, maka perusahaan merasa untung, tak perlu mengeluarkan sumberdaya yang lebih besar bagi peningkatan kinerja yang sebenarnya.
Ada banyak contoh pengelabuan citra dalam sejarah korporasi, Jalal mencontohkan kasus Enron. Secara pencitraan, Enron dikenal sebagai perusahaan yang royal dalam aktivitas filantropis, selain ”dengan transparan” mengungkapkan ”komitmen-komitmen”-nya atas sosial dan lingkungan. Kehancurannya kemudian karena masalah korupsi dan unsur tata kelola perusahaan lainnya menunjukkan bahwa fundamen CSR yang selama itu digembar-gemborkan ternyata tidaklah kokoh.
Membincang CSR seolah tak ada habisnya. Dalam kajian komunikasi, membincang bagaimana CSR ditampilkan dalam iklan, seperti ulasan dalam buku ini, bisa saja menimbulkan perdebatan. Sebagian bahkan mengkritik cara Public Relations yang menggunakan iklan dan bukan publisitas, sebagai media komunikasi CSR pada publik.
Yang umum diungkapkan, pembeda utama dan jelas antara iklan dari publisitas adalah bahwa iklan – untuk penempatannya – harus bayar, sedangkan publisitas gratis. Disini persoalannya bukan apakah suatu perusahaan mampu atau tidak mampu membayar space atau waktu, melainkan menyangkut persoalan kredibilitas. Karena berbayar, sudah tentu pemasang iklan boleh menyampaikan informasi saja dan tidak akan di edit oleh media. Sementara itu, publisitas gratis sehingga apa yang disampaikan ke publik, sepenuhnya bergantung pada media.
Iklan bernuansa CSR, bisa menjadi peristiwa kontroversial manakala modus kapitalisasi krisis kemanusiaan digunakan dan bercampur baur dengan motif pendidikan publik serta kepentingan komersial. Yang pasti, memang ini adalah hak mutlak pembuat iklan CSR. Kritik atas pendekatan iklan ini biasanya berlatar ketidakpuasan atas praktek “image-laundry” – yakni sebuah upaya membangun citra positif, populis (pro-kemiskinan) serta kadar pendidikan publik tertentu dengan tujuan komersial yang sah dan dapat dipahami.
Iklan dapat menjadi bumerang bagi si pemilik iklan, termasuk juga iklan CSR. Bahwa dengan konektifitas media sosial, maka gerakan counter iklan CSR dapat menciptakan image negatif bagi pemilik iklan. Masalahnya bertambah bila stakeholder perusahaan - yang masih memiliki ‘harga diri’ ini dirugikan oleh iklan tersebut.
Jika fenomena ini kita kembalikan pada prosesi komunikasi, idealnya memang kesenjangan komunikasi sebaiknya dihindari. Ketika ada kesenjangan komunikasi atau pun sekadar gejala adanya jurang komunikasi, maka hal itu sudah merupakan suatu tanda bahwa - iklan meleset dari sasaran bidiknya. Mengingat fitrahnya kembali, keberadaan iklan diabdikan untuk masyarakat luas. Artinya maksud dan tujuan diluncurkannya iklan adalah untuk menggerakkan masyarakat luas agar bereaksi positif terhadap pesan yang dikomunikasikan melalui iklan, bukan sebaliknya.

Dianita Tiurida, Direktur PT Cinggarindo Galba
"Buku ini bisa menyosor maraknya iklan korporat  di berbagai media plus sosial media sebagai bukti bahwa para praktisi pemasaran berpacu tidak pernah mau ketinggalan sedikit pun kesempatan untuk menjual produk atau jasanya.  Semakin sulit bagi mereka untuk bisa menyajikan materi iklan yang  benar-benar berbeda.  Sesuatu yang  menjual tapi juga tidak bikin “boring”,  gimana beberapa kali klik masih enak ditonton. Penulis mampu mengajak kita mengupasnya secara sistematis dan kemudian mengembalikannya kepada semua pihak yang punya andil  atas perkembangan iklan korporat."

Dr. Prima Mulyasari, M.Si, Direktur CESRI
"Iklan korporasi idealnya tidak hanya menyodorkan hal baik tentang tanggung jawab sosial perusahaan, namun memiliki nilai sebagai iklan layanan masyarakat.  Iklan korporat tidak sekedar mengkonstruksi “kebaikan”, namun juga mengedukasi masyarakat tentang “kebaikan” juga memberikan nilai tambah bagi stakeholder internal perusahaan. Buku ini memberikan nuansa iklan korporasi dalam negeri dengan konsep Corporate Communication terkini, bagaimana  social branding, CSR dan iklan korporat bersinergi. Kupasan Iklan Hijau yang menarik, mengakhiri ulasan dalam buku ini. Tentu sayang, jika terlewatkan membacanya."

Yani Hendrayani, Vice of Chariman Malaysia Indonesia CSR Centre
"Jika melihat kondisinya, iklan-iklan yang tayang di media massa mengindikasikan semakin lemahnya komitmen terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang. Buku ini dapat memberikan inspirasi tidak saja pada para produsen sebagai pengiklan melainkan konsumen yang cerdas memilih produk atau layanan yang ramah lingkungan. Hal ini tentu berkenaan dengan keberlanjutan masa depan Bangsa Indonesia yang lebih baik terutama keberlanjutan demi generasi mendatang."

Fitri Anggraini, Community Relations Bank Muamalat
"Dengan tema aktual yang diangkat dan kasus-kasus yang disajikan oleh penulis, buku ini dapat menjadi salah satu referensi untuk memperkaya wawasan tentang keragaman strategi dan teknik-teknik penerapan CSR. Pokok pemikiran yang didapat setelah membaca buku ini, mampu memberikan rangsangan bagaimana seharusnya korporasi membuat iklan CSR yang sesuai regulasi dan tanpa mengabaikan norma masyarakat, namun tetap menjunjung tinggi relasi eksistensi keintiman antara  perusahaan dan stakeholder-nya. Buku ini dapat membantu menjawab tantangan tersebut."
------------
#komunikasiperusahaan #corporatecommunication #komunikasi #periklanan #iklankorporat #corporatesocialresponsibility #brand #csr #tanggungjawabsosial #mediamassa #socialbrand #konstruksisosial #communication #communityrelations #cybercsr #csrcommunication #stakeholder #iklantelevisi #iklanmediacetak #iklanradio #iklanhijau #greenadvertising

Ini dia, rahasia dibalik Nama Jalan Raya

https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/

Jika Anda berkunjung ke Kabupaten Siak di Riau, Anda akan menjumpai nama jalan raya berupa nama orang dengan gelar datuk. Misalnya, ada nama Jl Datuk Lima Puluh, Jl Datuk Kampar dan Jl Datuk Pesisir. Mereka bukan orang sembarangan lho, melainkan orang super penting dalam sejarah Kesultanan Siak.
Sejarahnya, Kesultanan Siak didirikan pada 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (berkuasa 1723-1746), putra Raja Johor Sultan Mahmud Syah. Pada 1750, Raja Buang Asmara yang jadi Sultan Siak II (berkuasa 1746-1765) memindahkan ibukota kerajaan dari Buantan ke hulu Sungai Siak. Saat itulah Kerajaan Siak bernama Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Siak Sri Indrapura masa kini adalah nama Ibu Kota Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kota ini dapat dicapai lewat jalur darat atau menghiliri Sungai Siak dari Pekanbaru menggunakan kapal cepat dengan waktu 2-3 jam.
Selidik punya selidik dari berbagai informasi yang dihimpun, rupanya itu adalah nama para pembesar Kesultanan Siak pada zaman dahulu yang tergabung dalam Dewan Kerajaan yang diangkat oleh Raja Kecil. Dewan Kerajaan berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan dan penasihat utama sultan.
Dewan Kerajaan terdiri dari empat orang dari Pagaruyung, yakni Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir, dan Datuk Kampar, ditambah dengan Datuk Laksamana. Nama datuk-datuk tersebut sekarang diabadikan menjadi nama-nama jalan di dekat Istana.
Dewan Kerajaan merupakan lembaga tertinggi dalam kerajaan. Dewan inilah yang berwenang dalam menentukan pengganti sultan. Sistem tersebut berlangsung hingga tahun 1784, ketika Sultan Yahya yang jadi Sultan Siak VII mengakhiri masa jabatannya.
Selain itu, ada juga pembesar-pembesar kerajaan yang bertugas membantu Sultan, terdiri dari Panglima Perang, Datuk Hamba Raja, Datuk Bintara Kiri, Datuk Bintara Kanan, dan Datuk Bendahara. Sedangkan pemerintahan di daerah-daerah dipegang Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin.

Jalan-jalan ke Kabupaten Siak, wisatawan bisa melihat berbagai peninggalan sejarah kesultanan yang menarik. Dengan kisah semenarik ini, kita jadi tidak penasaran dari mana nama-nama jalan raya di Kabupaten Siak berasal. 

Saat Makam, Berpadu Indah dengan Taman Kota Cantik

Sebuah taman kota biasanya hanya diisi pepohonan dan danau. Tapi di Siak, Riau, ada taman kota yang juga terdapat makam di dalamnya. Wah, luar biasa!
Makam adalah istilah lain dari kuburan. Eits, jangan bayangkan seramnya dulu. Sebuah taman di Kabupaten Siak, Riau menyimpan makam raja yang cantik. Tak hanya itu, ada pula anak sungai yang jernih dan indah. Makam Kototinggi berada tak jauh dari Istana Siak di Kabupaten Siak, Riau.
Bagi Anda yang berkunjung ke Kabupaten ini, Anda cukup berjalan kaki 5 menit dari Istana Siak ke arah barat. Di hadapan Makam Kototinggi mengalir anak Sungai Siak. Di sana juga ada taman kota nan indah, yang diberi nama Taman Tengku Mahratu, mengambil nama Permaisuri II.
Makam utama dengan satu-satunya cungkup adalah makam Tengku Syarif Hasyim yang jadi Sultan Siak XI. Istrinya, yang juga ibunda Sultan Syarif Kasim II, Tengku Yuk Syarifah Arsah, dimakamkan di komplek ini juga. Makam Sultan Syarif Hasyim berada tepat di samping makam ayahnya, Sayid Syarif Kasim I yang jadi Sultan Siak X bergelar Sultan as-Sayid asy-Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (berkuasa 1864-1889). Selain itu, dimakamkan pula kerabat istana.

Makam perempuan dapat dikenali dari nisannya yang berukir indah. Sedangkan, makam laki-laki dibuat polos. Kesultanan Siak banyak meninggalkan destinasi wisata sejarah di Kabupaten Siak. Kalau berwisata ke Siak, pastikan mampir ke tempat ini ya!

Menakar Komitmen Pengelolaan Pasar di Kabupaten Siak

https://www.youtube.com/channel/UCpMCoOBh-V2x9grUce_AEIg/

Minggu, 1 Mei 2016 - Keberadaan pasar Tuah Sekato yang terletak di Kampung Benteng Hulu Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, sejak diresmikan pada tahun 2015 lalu, hingga kini masih belum berjalan secara maksimal, bahkan pasar tersebut seolah terlihat kurang diminati oleh para pedagang dan pembeli.

Akibatnya, aktivitas di pasar itu kian hari kian sepi dan lengang, para pedagang yang semula berbondong-bondong membangun kios-kios kecil dan mengisi sejumlah lapak yang tersedia, kini telah banyak yang angkat kaki. Dan lebih memilih untuk berjualan di pasar-pasar lama dan pasar kaget, yang dibuka setiap satu minggu sekali.

Publikasi perawangapokesah.com(1/05/2016) misalnya menyebut, saat ini hanya ada sekitar 4 kios saja yang masih tetap bertahan di pasar Tuah Sekato itu. Sedangkan kios-kios dan lapak yang lain sudah ditinggalkan oleh para penghuninya.

Dengan kondisi tersebut, masyarakat sekitar tentu sangat berharap, Pemkab Siak bisa mencarikan solusi agar para pedagang bisa tertarik kembali untuk berdagang di pasar yang telah disediakan itu. Sehingga keberadaan pasar nantinya benar-benar berjalan sesuai yang diharapkan.

Pembangunan Tak Berdampak

Diakui, sejak Kecamatan Mempura dimekarkan dari Kecamatan Induk yakni Kecamatan Siak beberapa tahun yang lalu, berbagai pembangunan sarana dan prasarana dan infrastruktur baik berupa jalan, jembatan, air bersih, listrik, pendidikan, olahraga dan lain-lain berkembang pesat dari kondisi sebelumnya.
Dengan diresmikannya penggunaan fasilitas pasar ini, tentu diharapkan pelayanan pada masyarakat berupa kebutuhan bahan pokok dapat terpenuhi secara bertahap. Sehingga memperlancar arus barang/produk sebagai salah satu bentuk pelayanan tak langsung kepada masyarakat, sebagaimana arah kebijakan pembangunan Kabupaten Siak, yang tertuang dalam visi jangka menengah tahun 2011-2016.
Sayangnya, Pasar di Mempura yang telah dibangun dengan uang rakyat itu, memang selayaknya dipikirkan bersama, bagaimana agar pasar itu benar-benar bisa berdampak positif bagi masyarakat, khususnya dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, dan jangan sampai pasar yang telah dibangun dengan dana milyaran, justru keberadaannya tidak memberi dampak apa-apa.
Bagaimanapun, pasar seperti di Mempura, seharusnya memiliki kontribusi yang besar bagi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga di bidang sosial dan budaya.
Lebih lanjut, pasar bisa diartikan sebagai pintu gerbang yang menghubungkan masyarakat tersebut dengan dunia luar. Hal ini menunjukkan bahwa pasar mempunyai peranan dalam perubahan-perubahan kebudayaan yang berlangsung dalam suatu masyarakat.

Bukan rahasia umum, jika keberadaan suatu pasar yang mampu dikelola secara maksimal, akan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Negeri ini. Semestinya Pemkab Siak melalui Dinas Pasar, Kebersihan dan Pertamanan bisa segera mencarikan solusi, bagaimana agar pasar itu bisa ramai dan diminati oleh para pedagang. Ini hanya masalah komitmen dan waktu kapan langkah-langkah itu akan dilakukan, bagaimana hal ini akan dilakukan akan menjadi pertanyaan lain, publik menunggu jawabannya. 

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538