Cyber Spin



Citibank tampaknya tengah menghadapi godaan dari aktivitas dunia maya (cyber space). Kartu kredit yang konsumennya dikenal paling loyal ini tengah menghadapi sebuah gerakan maya untuk mengembalikan biaya materai yang selama ini ditagihkan ke konsumen setiap bulannya. Ironisnya, gerakan itu dipelopori oleh konsumennya sendiri. Gerakan ini begitu sistematis (inilah dampak buruk kalau memiliki target kelas menengah ke atas) dan berkembang sangat cepat dengan memanfaatkan  teknologi internet.

Sedangkan Unilever sempat sibuk menghadapi beberapa milis yang memposting kandungan beberapa produknya, termasuk Sunsilk dan Pepsodent, yang mengandung formalin. Sementara itu, sepanjang September kemarin, berseliweran kasus-kasus miring beberapa merek seperti Panadol, Bank Mandiri, serta Starbucks. Dan semuanya bermuara pada satu aktivitas masyarakat modern, yaitu internet (lihat boks). Internet menjadi “mesin pembunuh merek” yang baru, menggantikan peran media massa konvensional.

Shadow Boxing
Menghadapi serangan-serangan di dunia maya memang tidak mudah. Salah seorang praktisi pemasaran dengan tegas tidak akan pernah meladeni suara-suara miring dari internet, mengingat tidak tahu secara pasti siapa yang akan menjadi lawan. Jadi memang mirip dengan shadow boxing, bertinju dengan bayang-bayang. Beberapa praktisi Brand Public Relations berpikir sebaliknya, kalau kita diajak tinju oleh bayangan, kenapa kita tidak menjadi bayangan juga? Dan bukankah bayangan selalu memiliki wujud asal; sekalipun tidak mudah untuk menebaknya.

Dengan 18 juta pengguna internet tahun 2006, dan diperkirakan bertambah menjadi 23 juta pada tahun ini, maka rasanya bukan waktunya lagi memperdebatkan apakah kampanye-kampanye negatif yang terjadi di dunia maya berpengaruh atau tidak. Ini yang mesti menjadi perhatian praktisi merek.

 Berbeda dengan serangan dari media massa konvensional, di mana kita bisa mudah membuat pemetaan arah dan sumber berita-berita negatif, serangan media internet—terutama yang beredar di milis (mailing list)—hampir pasti sulit untuk mencegahnya. Seberapa pun besarnya pemberitaan negatif di media konvensional, sumbernya tetap saja satu, yaitu redaktur dari media yang bersangkutan.

Sementara itu, di dunia maya, setiap individu bisa berperan sebagai redaktur. Mereka memposting semua informasi yang berkaitan dengan berita negatif sebuah merek. Dan yang paling fatal adalah jika yang diposting adalah pengalaman pribadi. Efek testimoni lebih dahsyat ketimbang opini.
Jadi, mau tidak mau, kita harus dengan intens terlibat dalam dunia maya, baik ada atau tidak ada postingan yang negatif. Dan itu banyak manfaatnya. Karena kalaupun tidak ada black campaign, kita bisa membangun kampanye positif. Mencitrakan merek secara sistematis di banyak milis. Dengan begitu, kalaupun terjadi kampanye negatif, setidaknya merek kita sudah memiliki bantalan pencitraan. Ini akan memperlambat proses penyebaran isu ke tataran yang lebih luas.

Seperti yang dilakukan oleh Unilever, dengan satu jawaban simpel tentang fungsi dan kuantitas formalin yang terkandung di dalam produk mereka, maka suara-suara sumbang di milis pun bisa diredam. Untungnya, ini murni suara konsumen iseng, tidak ditunggangi oleh kompetitor. Jadi relatif mudah meng-handle-nya.

Kamuflase Knowledge
Hal yang paling mencemaskan sebetulnya kalau dalam milis terdapat penjelasan “ilmiah populer” terhadap sebuah kasus, dan dilakukan oleh kompetitor. Sengaja saya buat dua tanda petik dalam tulisan ilmiah populer, karena seringkali dalam sebuah kasus banyak sekali penjelasan ilmiah yang menerangkan ini dan itu terhadap sebuah yang produk bermasalah. Seolah ilmiah, sebetulnya hanya informasi yang dipelintir sehingga seperti ilmiah betulan. Sialnya, ini memunculkan opini negatif baru.

Maka, tugas kedua kita adalah menyiapkan karakter di dunia maya yang memiliki basis product knowledge kuat, tapi juga jago menyederhanakan bahasannya dan ahli spinning. Dengan begitu, dia akan muncul sebagai tokoh bijak yang mengklarifikasi setiap masalah. Seperti misalnya kalau kita lihat kasus Coca-Cola, akan sulit meyakinkan jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang enzim, pencernaan dan suhu optimum tubuh. Kalau dibiarkan, ini akan menjadi bola salju yang tumbuh di bawah sadar; sehingga banyak orang yang percaya bahwa Coca-Cola memang seperti yang dikabarkan di milis. Itulah sebabnya, Coca-Cola tengah melakukan riset ilmiah dengan IPB untuk memberikan bukti sekaligus menjawab suara-suara miring mengenai produknya.

Bisa juga sih kita menjawab sama ngawurnya, atau asal membela merek yang diserang, tapi bukan itu rasanya point yang dibutuhkan publik dalam “cyber spin”. Mereka butuh klarifikasi cerdas yang bukan bahasa resmi tanpa arti. Apalagi sekadar kata-kata bersayap yang sering kita baca dari praktisi PR saat menjawab surat pembaca.

Jadi, kita harus membuat bayang-bayang tandingan pula untuk berhadapan dengan cyber spin. Sesekali harus muncul ke depan tampil secara jantan. Namanya juga diajak bertinju melawan bayangan.

Memang, energinya mesti dilebihkan sedikit. Kontrol terhadap isu di dunia maya praktis mesti dipantau 24 jam. Konten informasi mesti disiapkan dengan sistematis, karakter-karakter pelaku juga mesti dibangun, plus kemampuan spinning yang kuat. Tapi yakinlah, tidak akan sia-sia. Toyota selamat dari isu soft recall (yang dipelintir jadi silent recall) karena ketangguhan tim Cyber Toyota menjaga gawang isu. Penyusup tanpa nama bisa segera diminimalkan kredibilitasnya, sehingga tidak ada lagi yang mau membaca postingannya.

Seru, kan? Selamat datang di dunia cyber dengan PR. (www.marketing.co.id)

Dengungan Suara Lebah

Dengungan lebah adalah suara yang punya banyak makna. Tentu saja buat sang lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi lebah, setiap dengung memiliki banyak arti—sekalipun kita menandainya sama. 

Sebetulnya bukan hanya pada lebah, manusia pun memiliki dengungan yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota sebuah kelompok yang tidak sama. Kata “bonyok” berbeda buat kelompok yang berusia 20-an dan 30-an. Untuk usia 30-an, kata  ini diartikan sebagai “akibat sebuah benturan/pukulan”; sedangkan bagi kelompok usia 20-an, “bonyok” berarti “bokap nyokap” alias “bapak ibu”. Mungkin karena itu jugalah, suara dengungan pada sebuah komunitas—kita sebut sebagai buzzing—menjadi semacam dengungan lebah yang hanya bisa dipahami oleh komunitas itu sendiri.

Menariknya, dengungan suara komunitas jauh lebih didengar oleh komunitas itu sendiri dibandingkan dengan iklan segencar apa pun, semahal apa pun, dan sekolosal apa pun. Sekalipun kecil dan tidak beraturan, dengungan suara komunitas memiliki makna yang semakin dalam bagi komunitasnya itu sendiri. 

Bagi pemilik merek, dengungan itu menjadi sebuah tanda seru besar untuk dipahami. Sebab, begitu suara dengungan komunitas itu bisa teruraikan kodenya, itu berarti penghematan miliaran rupiah untuk anggaran iklan. Bagaimana tidak, saat anggaran iklan menjadi berbanding terbalik dengan efektivitasnya (hingga berubah menjadi pertanyaan besar), maka diperlukan tanda seru besar untuk mengatasi hal itu. Sayangnya, tanda seru besar ini belum sepenuhnya dipahami. Buzzing, alias dengungan suara lebah, masih belum utuh terbaca sebagai sebuah anatomi yang bisa dibedah dan dimanfaatkan untuk keperluan pencitraan merek, dan tentunya pemasaran.

Memang, beberapa bukti menunjukkan bahwa kasus dengungan komunitas begitu efektif untuk mendongkrak penjualan. Kita lihat saja, misalnya, fenomena buzzing dalam dunia otomotif di Indonesia. Mendadak saja mobil warna putih menjadi tren di kelas menengah-atas. Putih dipersepsikan sebagai warna VVIP. Padahal, setahun yang lalu, mobil warna putih masih identik dengan ambulans. Merek-merek otomotif pun bersorak, karena dengan cat warna putih itu, mereka bisa menjual produk dengan biaya produksi yang lebih “murah”.

Pertanyaannya, apakah merek-merek otomotif merekayasa proses buzzing itu, sehingga menjadi dengungan di kalangan kelas menengah bahwa warna putih adalah warna VVIP? Rasanya saya harus menjawab tidak, karena para ekspatriat-lah yang menciptakan buzzing tersebut. Tentu saja, tidak dengan disengaja. Dan kemudian produsen otomotif mengambil kesempatan tersebut.

Reengineering Buzzing
Sebetulnya, banyak sekali kasus di mana sebuah merek menjadi buah bibir di sebuah komunitas hingga citranya menguat dan jualan semakin bagus. Sayang, begitu akan mengulang kisah sukses, seringkali kita tidak tahu bagaimana jalannya. Singkatnya, buzzing seringkali teridentifikasi justru pada saat sudah terjadi, tapi tidak terdeteksi asal muasalnya, apalagi bentuk anatomi detilnya.

Padahal, sebenarnya upaya untuk membangun sensasi melalui suara lebah ini sudah sering diciptakan oleh beberapa pengusaha yang justru tidak pernah menyebut dirinya sebagai praktisi pemasaran. Karena mereka mengenal komunitasnya, mereka bisa membangun sensasi suara lebah secara akurat. Dan yang terpenting, mereka bisa mengulanginya untuk produk mereka yang lain.

Mari kita tengok apa yang dilakukan oleh kelompok Florikultura Indonesia memperlakukan tanaman hias menjadi bernilai miliaran rupiah. Saat mereka memutuskan untuk membangun citra sebuah jenis tanaman anturium. Sebelum membangun buzzing tentang sebuah tanaman, mereka mematangkan dulu jenis tanaman tersebut di kalangan penyilang ataupun pemilik tanaman indukan. Kemudian mereka mengecek reaksi publik dengan melakukan “test the water”, di mana mereka melemparkan informasi tanaman (calon) unggulan tersebut di kontes ataupun pameran tanaman. Begitu reaksi bagus, maka tanaman tersebut dipublikasikan di Trubus ataupun Flona, dan (yang tidak kalah penting) pemilik tanaman indukan serta kalangan penyilang diminta untuk membatasi jumlah tanaman tersebut.

Tampaknya sederhana, tapi sebetulnya kekuatan dari kelompok Florikultura Indonesia ini adalah mereka paham betul anatomi buzzing tanaman yang akan mereka unggulkan. Mereka paham betul tentang Triple C di dalam anatomi buzzing, yaitu Character (komunitas tanaman), Consideration (masyarakat untuk membeli tanaman), dan Communication (di antara komunitas utama, kelompok pendukung, dan publik sebagai konsumen).

Jadi, sekalipun kerja mereka hanya “berhenti” hingga mempublikasikan tanaman tersebut di Trubus ataupun Flona, mereka tahu persis bahwa buzzing-nya akan bergulir melalui 3C tadi. Setelah di Trubus, masyarakat akan berburu (padahal jumlahnya sengaja dibatasi). Kemudian investor menanamkan modal, lantas ada isu pembelian dengan harga fantastis, dan terciptalah tren tanaman yang diunggulkan dengan harga fantastis pula.

Triple C, Dual Effect
Memahami Triple C memang tidak mudah, kecuali mereka yang secara langsung bergelut di dalam komunitas itu, dan paham betul “hot button” yang ada di komunitas tersebut saat menerima sebuah isu. Itulah sebabnya, semisal ada pemain-pemain tanaman global akan mengikuti gaya kelompok Florikultura Indonesia, mereka tidak akan bisa, karena mereka tidak paham langgam komunitas tanaman di Tanah Air.

Itulah sebabnya, kenapa kita sering gagal melakukan buzzing marketing, karena kita hanya menebak-nebak komunitas yang akan kita sasar. Sialnya pula, komunitas ini tidak bisa dideteksi dengan riset kuantitatif. Kurva normal tidak berlaku untuk buzzing, karena memang keunikan komunitas yang menjadi inti dasar komunikasinya. Mau tidak mau, kita harus tongkrongin untuk memahami anatomi sebuah komunitas. Secara detil, harus kita gambarkan model stimulus-respon yang muncul dari karakter komunitasnya, kemudian bagaimana kata-kata kunci yang bisa menyentuh “hot button” masyarakat untuk merespon buzzing, dan efek domino yang terjadi dalam proses komunikasi di antara komunitas inti, komunitas pendukung dan masyarakat itu sendiri.

Sebaiknya memang, kita mesti menyempatkan diri untuk nongkrong di komunitas-komunitas tersebut. Karena kalau kita sudah mendapatkan anatominya, kita bisa memanfaatkan hasil anatomi tersebut secara ganda untuk (sekadar) mengedukasi pasar, atau (sekaligus) merangsang terjadinya penjualan. Melalui edukasi pasar, kita bisa membentuk kebutuhan produk baru tanpa bisa diintip oleh kompetitor; karena kita melakukannya langsung di komunitas, tidak melalui perantaraan media.
Selain itu, kita juga jadi cepat mendapatkan kata-kata kunci dari masyarakat mengenai ketidaksukaan mereka terhadap kelemahan produk kita dan produk kompetitor. Kita jadi paham ketika mendengar plesetan-plesetan (negatif) yang berkaitan dengan merek kita. Dan yang terpenting adalah: kita bisa menghemat miliaran rupiah anggaran iklan di media massa. Asal, ya itu tadi, mau menyempatkan diri untuk nongkrong. (www.marketing.co.id)

Media Bukan Ancaman Public Relations Dalam Komunikasi Krisi

Jakarta, 12 Maret 2013 - Media massa memiliki peran dalam komunikasi krisis. Media massa merupakan pihak yang mampu mengangkat hitam putihnya fakta suatu krisis. Media pula yang menyajikan berbagai feedback dan reaksi atas krisis yang terjadi serta penanganannya. Namun sayangnya, peran media justru sering dianggap biang kerok dari berkembangnya suatu krisis yang dialami perusahaan atau organisasi.
Mencermati kegagalan dalam mengelola komunikasi krisis di Indonesia, memang tak lepas dari peran Public Relation suatu perusahaan dalam menjalankan fungsinya. Berbagai kegiatan, peristiwa, bahkan kasus yang melibatkan kepentingan publik semakin menuntut hadirnya pengelolaan public relations yang excellence. Accountability perusahaan pun selalu menjadi permasalahan utama dalam menampilkan citra dan menjaga reputasi perusahaan - terlebih dalam situasi krisis.
Pembaca tentu masih ingat bagaimana Public Relations OMNI International yang berkonflik dengan Prita, justru membawa perusahaan dalam situasi krisis. Upaya AJINOMOTO yang dulu sempat ditinggalkan konsumen akibat kandungan minyak babi pada produknya, hingga kini eksistensinya masih seakan terseok-seok. Fakta lebih ekstrem, Adam Air dipaksa gulung tikar dari Indonesia akibat krisis berkepanjangan yang melanda perusahaan ini.
Penghapusan link oleh pihak Nestle pada situs Youtube yang diunggah Green Peace, sebagai bentuk protes terkait pembabatan orang utan dan alih fungsi lahan juga sempat menimbulkan tanda tanya besar di benak publik. Ya, krisis memang dapat menerpa siapa saja. Bahkan tidak hanya dialami perusahaan, melainkan juga personal. Manajemen Peterpan bahkan tidak mampu membendung opini negatif publik melalui akun twitter, #arielpeterpon yang sempat menjadi trending topics. Namun, penanganan krisis yang baik, justru semakin membesarkan brand OREO. Dalam industri penerbangan, meski sering didera krisis – Lion Air masih terus eksis melintasi cakrawala Indonesia.  
Komunikasi krisis mengharuskan perusahaan dan organisasi belajar bahwa dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang efektif dan efisien. Krisis dalam kaca mata public relations, harus dipandang lebih luas. Krisis tidak selalu diidentikkan dengan ancaman. Krisis, apakah itu disebabkan oleh faktor internal (konflik karyawan, konflik manajemen, kegagalan produk) ataupun faktor eksternal (tuntutan komsumen, perubahan kebijakan pemerintah ataupun konflik elit polotis) tidak dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk membangun citra secara lebih cepat. Terdapat proses dan fase untuk memulihkannya.
Dengan demikian, sebagai bagian dari kegiatan Public Relation, komunikasi krisis perlu dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan reputasi korporat. Untuk mengelolanya dibutuhkan perencanaan yang baik. Gonzales-Harero dan Patt memperkenalkan konsep stretetegi manajemen krisis dengan mengacu kepada tahapan kisis yang terjadi. Model penanganan krisis oleh Gonzales-Harrero & Patt meliputi manajemen isu, perencanaan pencegahan, krisis terjadi dan pasca krisis.
Dalam kaitannya dengan media, perusahaan besar yang mampu membayar PR profesional mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi opini publik melalui media yang seringkali merupakan bagian dari korporasi perusahaan itu sendiri. Sehingga sering terjadi ketegangan antara kepentingan publik dan swasta seperti masalah: korupsi, polusi lingkungan, mempengaruhi kebijakan yang tidak pantas, atau pengendalian perdagangan, dan juga kritik sosial.
Mengantisipasi timbulnya krisis, dapat dilakukan riset dan evaluasi untuk menilai dampak dan efektivitas usaha-usaha yang dilakukan oleh PR secara optimal. Meski dalam praktisnya, harus tetap diakui bahwa keputusan manajemen terkait besarnya biaya yang diperlukan, masih menjadi hambatan bagi Public Relation untuk mengelola krisis.
Namun, menjalin hubungan dengan media adalah sebuah kesempatan bagi Public Relation - hubungan yang baik tentunya. Hal yang harus dingat, jurnalis akan menulis dengan kata hati, dengan demikian PR perlu berbicara hati-hati. Berkomunikasi dengan media bukanlah ancaman. PR harus memahami di saat krisis terjadi, jurnalis akan semakin “lapar” informasi.  Mereka akan mencari kemana saja untuk mendapatkan informasi. Karenanya, jangan biarkan mereka mendapat informasi dari sumber yang salah. Jadi, lebih baik menyiapkan diri untuk dealing dengan media, sebaik mungkin dan sesegera mungkin.
Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom

Praktisi Komunikasi/Konsultan CSR

Ketidaksiapan Batavia Air Menangani Krisis

Jakarta, 1 Februari 2013 - Akhir Januari 2013, publik dikejutkan dengan masalah yang menimpa salah satu perusahaan pesawat terbang di Indonesia. Masalah tersebut bukan dialami PT Merpati Nusantara Airlines yang menunggak hutang pada negara, melainkan menimpa Batavia Air yang bernaung dalam PT Metro Batavia. Melalui putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Batavia Air dinyatakan pailit menyusul permohonan yang diajukan International Lease Finance Corporation (ILFC).
Putusan yang menyatakan Batavia Air tidak boleh beroperasi di Indonesia, menimbulkan efek domino yang luar biasa. Setidaknya terdapat tiga masalah yang harus segera diselesaikan pihak manajemen Batavia Air. Pertama, Batavia Air harus membayar hutang US$ 4.7juta pada ILFC. Kedua, Pembayaran pesangon dan tunjangan para karyawan. Ketiga,pembayaran ganti rugi pada konsumen dan agen tiket Batavia Air.
Mencermati krisis yang dialami Batavia Air ini, tidak hanya menunjukkan kegagalan pihak manajemen Batavia Air dalam menjalankan praktik bisnisnya di Indonesia. Dalam konteks komunikasi, manajemen pesawat dengan stratregi price floorini telah lalai dalam menjalankan fungsinya. Pasca putusan pailit, banyak penumpang yang sudah melakukan pembelian tiket kemudian terlantar di bandara. Pihak manajemen seolah menghilang tanpa memberikan penjelasan dan tanggung jawab pada para penumpang. Bahkan situs resmi Batavia Air (www.batavia-air.com) yang sebelumnya masih dapat diakses, resmi ditutup.
Dalam kondisi dirugikan, baik konsumen maupun agen tentu mengharapkan informasi langsung dari manajemen, adanya dialog kemudian menjadi kata kuncinya. Dalam konteks ini, dialog dipahami sebagai sebuah proses transaksional yang dinamis dengan fokus khusus pada kualitas hubungan antara pihak manajemen Batavia Air dengan konsumennya. Ketidaksiapan yang ditunjukkan manajemen Batavia Air dalam mengatasi krisis, melakukan pengambilan keputusan yang urgensi namun berakhir ironi. Upaya ini jelas semakin menjauhkan publik dengan perusahaan. Tentu bukan dukungan publik yang datang, melainkan hujatan yang silih berganti dan semakin menenggelamkan pihak manajemen.
Kondisi ini semakin memprihatinkan, bahwa dampak kepailitan Batavia Air ini tidak ditangani langsung oleh manajemen Batavia Air, melainkan oleh empat kurator yang ditunjuk langsung oleh Pengadilan Niaga. Seperti yang diberitakan Tribunenes.com (31/01/2013), keempat kurator tersebut, yaitu; Andra Rainhat Sirait (Law Firm Duma and Co), Turman Panggabean (advocat Turman Panggabean), Permata M Daulai (Daulai Law Firm and Partner), dan Albas Sukmahadi (Sukma and Partner).
Beranjak dari masalah Batavia Air di atas, informasi pada publik disaat terjadi krisis menjadi poin penting. Konsumen yang merasa dirugikan misalnya, selain menginginkan haknya kembali juga mengharapkan  adanya sikap simpatik yang ditunjukan oleh pihak manajemen Batavia Air. Terlebih bila konsumen tersebut merupakan member atau para agen tiket dan karyawan yang selama ini telah setia mendukung perkembangan Batavia Air. Dampak luasnya, kepercayaan publik terhadap jasa penerbangan di Indonesia yang perlahan sudah menunjukkan geliat positifnya, terancam bisa kembali menurun.
Akhirnya, perencanaan dan persiapan menghadapi krisis menjadi hal penting. Hal ini akan menghindarkan perusahaan melakukan pengambilan keputusan yang kurang tepat. Manajemen perlu mempersiapkan skenario dan merancangcontingensy plan untuk mengatasi krisis dan mengatasi kerugian yang menimpa perusahaan. Mengingat krisis dapat terjadi pada perusahaan apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dengan demikian, akan menjadi tugas manajemen krisis untuk merencanakannya, jika krisis tersebut sulit teratasi seperti yang menimpa Batavia Air ini, adalah tugasnya pula untuk segera menyelesaikannya.

Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom
Praktisi Komunikasi/Konsultan CSR


Implementasi Komunikasi Terintegrasi PT Adaro Energy, Tbk

Jakarta, 12 Juli 2013 - Komunikasi terintegasi semakin banyak dilakukan perusahaan sebagai strategi komunikasi perusahaan untuk menciptakan reputasi, dan memperoleh citra baik (good image) dari para pemangku kepentingan (stakeholder). Perusahaan dengan segenap potensi yang dimiliki-nya, terus mengoptimalkan seluruh komponen yang berhubungan langsung maupun melalui media untuk dapat berkomunikasi dengan stakeholder.
Mengintegrasikan strategi komunikasi perusahaan memang membutuhkan biaya yang mahal – meski tidak selalu. Namun, penulis juga meyakini, bila komunikasi perusahaan dilakukan dengan baik dan berkesinambungan, hal ini akan sangat menguntungkan bagi perusahaan. Akhirnya biaya besar yang dikeluarkan itu pun akan menjadi investasi jangka panjang bagi perusahaan.
Mencermati komunikasi terintegrasi yang dilakukan PT Adaro Energy Tbk menjadi suatu hal yang menarik. Pasalnya, perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan batu bara dan perusahaan yang menjalankan B-to-B (business to business). Dalam hal ini, menjual batu bara tentu berbeda dengan menjual sabun mandi. Namun, Adaro telah sukses mengimplementasikan komunikasi integrasi mereka tanpa melakukan hard selling.
Evirocoral, merek dagang batu bara Adaro, memang memiliki beberapa keunggulan. Batu bara ini memiliki kandungan abu 1-2,5%, nitrogen 0,9%, dan sulfur 0,1%. Bahan baku energi dengan emisi gas dan partikel udara yang rendah ini juga ramah lingkungan. Keunggulan lainnya, dapat menghasilkan pengapian yang stabil dan sempurna dengan efisiensi pembakaran pembakaran melebihi 99,7% sehingga menurunkan biaya operasional.
Tahun 2010, tema “Creating Maximum Sustainable Value” merupakan strategi dan alat Adaro yang ditunjukkan pada calon pembeli maupun para investor saham Adaro. Dalam praktis komunikasinya, Adaro melakukan promosi yang sifatnya lunak (iklan media) dan lebih mengarah pada para pemangku kepentingan, seperti ucapan selamat hari raya, tahun baru, dan ucapan lainnya.
Selain melakukan personal selling dan direct selling untuk produk batu bara, Adaro juga melakukan Corporate Social Responsibility (CSR). Untuk mendukung pelaksanaan CSR, Adaro juga mendirikan Yayasan Adaro Energi. Ketika CSR perusahaan tidak banyak menyoroti masalah HIV/AIDS, yayasan ini justru sukses dengan kampanye-nya. Strategi usaha dan program CSR yang dilakukan pun banyak memperoleh apresiasi dan penghargaan dari para pemangku kepentingan, seperti Adaro Platts Award yang juga dikomunikasikan pada stakeholder melalui iklan.
Dalam pendekatan strategik, fungsi komunikasi PT Adaro Energy dapat dilihat meliputi banyak subfungsi – dari komunikasi citra dan identitas, iklan dan advokasi, hingga komunikasi pemasaran dengan melakukan soft selling. Fungsi komunikasi ditujukan sebagai penghubung antara perusahaan dan stakeholders untuk menciptakan dan memelihara  image  perusahaan, memantau, mengkaji dan tanggap terhadap sikap dan persepsi terhadap pendapat khalayak, serta menjalin hubungan baik dengan lembaga-lembaga terkait termasuk media.
Analisis lebih lanjut, kesuksesan komunikasi Adaro telah ditentukan oleh pemilihan isu yang tepat. Dalam hal ini produk batu bara yang ramah lingkungan. Pemilihan isu yang relevan akan memperkuat reputasi, sebaliknya pemilihan isu yang tidak relevan akan membuang-buang dana. Faktor lainnya, adanya pertimbangan perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan konsumennya, seperti menawarkan produk yang memiliki nilai lebih. Pengetahuan perusahaan akan kebutuhan para pembeli  telah menjadi dasar dalam penyusunan dan pemilihan isu. 

Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom
Praktisi Komunikasi/Konsultan CSR

Rapor Merah Etika Komunikasi Pemasaran Organisasi Non Profit

Jakarta, 12 Juni 2012 - Komunikasi pemasaran (marketing communication) menuntut para pemasar melakukan konsep yang beretika, dengan memperhatikan kepentingan target sasarannya. Namun, hal ini nampaknya belum sepenuhnya disadari oleh para pemasar (meski tidak dapat dikatakan semuanya). Orientasi jangka pendek, dalam skala bisnis, menjadi perhatian banyak para pemasar untuk mendatangkan profit bagi perusahaan atau lembaga dan organisasi.
Menarik perhatian saya - mencermati upaya para pemasar Dompet Dhuafa dalam melakukan komunikasi pemasaran. Tahun 2012 lalu, saya tergelitik dengan iklan Dompet Dhuafa versi “saya zakat di Dompet Dhuafa”. Dengan durasi kurang lebih 30 detik, iklan ini menampilkan beberapa endorser dalam iklan yang berbeda. Pembaca mungkin masih ingat, bagaimana Bambang Pamungkas, Ippo Santosa, dan Inneke Koesherawati dengan lantang mengungkapkan “Saya……, saya bangga zakat di Dompet Dhuafa.”
Secara subjektif, iklan ini menyadarkan dan mengajak masyarakat luas untuk berzakat. Namun, secara instrumentalis, bila melihat ideologi, target market, dan pengemasan pesan iklan milik lembaga nirlaba ini  jelas kurang tepat  – iklan ini justru dianggap mengesankan “riyya”. Seperti diketahui, Dompet Dhuafa merupakan lembaga nirlaba yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, serta dana lainnya). Dengan demikian, iklan yang mengandung testimonial sebaiknya dibatasi untuk pihak-pihak yang kompeten yang dapat merefleksikan kenyataan serta opini atau pengalaman yang jujur.
Sementara itu, komunikasi pemasaran lembaga nirlaba lainnya dapat kita cermati melalui iklan Bellow The Line (BTL) dari Mizan Amanah. Bila pembaca bertempat di Jakarta Selatan, mungkin pembaca pernah melihat iklan Baliho versi “Orang Tua Asuh” di Simpang Gedung Sophie Paris atau ke arah ITC Fatmawati. Iklan ini menampilkan gambar seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun – dengan pesan iklan “Siapa Orang Tua Saya?” – sementara itu, teks pada bagian bawah baliho, pembaca dapat menemukan tulisan “hanya dengan 600ribu/bln, Anda dapat menjadi orang tua asuh.” Sepintas dapat kita maknai iklan ini mengajak khalayak menjadi orang tua asuh, seperti dilakukan di masa orde baru melalui program GN-OTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh). Tentu bukan itu persoalannya, membincang etika komunikasi dalam pemasaran ini jelas kurang beretika.
Secara normatif  iklan memiliki fungsi untuk menginformasikan produk kepada khalayak, dan membentuk pendapat umum tentang suatu produk. Hal ini jelas apa yang ditampilkan pada kedua lembaga ini, akan membentuk pemahaman dari realita apa yang tampak atau terlihat. Pada iklan yang ditampilkan Mizan Amanah misalnya, secara kasat mata gambar “anak” tak ubahnya sebuah produk yang ditawarkan, dan untuk memilikinya - khalayak dapat membayar angsuran 600ribu/bulan. Penilaian ini mungkin sangat subjektif, bagi mereka yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi - bisa jadi menolak keras argumen saya ini.
Namun dapat saya katakan di sini, upaya para pemasar lembaga nirlaba dalam melakukan konsep komunikasi pemasaran dapat dipahami lebih berdasarkan pandangan emosional - dimana emosi dan perasaan yang disukai menjadi sangat tinggi keterlibatannya. Namun, pemasar ini lupa bahwa media (semisal baliho, red) yang digunakan – membuat konsumen atau khalayak memiliki waktu yang banyak untuk menilai dan memahami produk atau layanan yang mereka tawarkan.
Akhirnya, etis atau tidaknya suatu komunikasi pemasaran akan tergantung ditangan setiap orang yang berada dalam berbagai peran komunikasi pemasaran. Integritas mungkin merupakan konsep vital dalam sifat manusia. Walaupun sulit untuk mencari definisi yang tepat, integritas menghindarkan kita melakukan penipuan terhadap orang lain atau mempunyai perilaku tak bermoral. Karenanya, komunikasi pemasaran tersendiri terlepas dari permasalahan etis atau tidak etis, tingkat integritas yang ditunjukkan oleh praktisi komunikasilah yang menentukan apakah perilaku mereka bersifat etis atau tidak etis.

Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom
Praktisi Komunikasi/Konsultan Komunikasi CSR

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538