Menolak Tawaran Bank, Komitmen tumbuh bersama Koperasi

Sudah lama Koperasi ada di negeri ini. Sejarahnya dimulai dari hasil usaha kecil yang spontan dan dilakukan oleh rakyat kecil – dimulai pada abad ke-20. Kemampuan ekonomi yang rendah mendorong para usaha kecil untuk terlepas dari penderitaan. Secara spontan mereka ingin merubah hidupnya melalui koperasi. 
Di Indonesia, regulasi yang mengatur koperasi juga telah dibuat dengan adanya UU no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Sayang, meski sudah dikenal lama – Koperasi di Indonesia seolah tak bertaji dan Perbankan Asing kian merajalela, bahkan sudah menyentuh persoalan rakyat yang mendasar. Ironi lain, di tengah menjamurnya perguruan tinggi dan jumlah lulusan yang tak terbendung – justru hanya menambah daftar pengagguran di negeri ini. Lihatlah potensi koperasi di sekitarmu, ayo bangkit dan rubah lingkungan menuju kemandirian.

Koperasi Pilar Negara
Kabar baiknya, gerakan koperasi tengah memasuki lapangan baru yang sangat strategis bagi masa depan negeri ini, misalnya berkembangnya Koperasi Siswa atau Koperasi SMK. Ini adalah terobosan untuk mewujudkan Visi 2045: KOPERASI PILAR NEGARA; bahwa pada usia 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, Koperasi menjadi pilar NKRI dalam lima hal. 
Pertama: Koperasi membangun karakter bangsa berbasis nilai kekeluargaan dan kegotong-royongan, serta nilai-nilai demokratis.Kedua, koperasi mensejahterakan rakyat. Ketiga, koperasi merawat bumi dan sumber daya alam. Keempat, koperasi melestarikan budaya dan kearifan lokal sekaligus memperkuat Bhineka Tunggal Ika. Kelima, koperasi menjadi ‘sabuk pengaman’ bagi batas wilayah NKRI karena rakyat di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar hidup sejahtera.
Sudah sepantasnya, sebagai generasi muda, kita mempelajari dan mempraktikan koperasi. Upaya ini bisa sejalan dengan Revolusi Mental dalam Nawa Cita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebagai turunan nilai-nilai ideologis Pancasila dan Ajaran TRISAKSI Bung Karno, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang Budaya.
Koperasi harus dilihat sebagai alat yang efektif untuk membangun peradaban Indonesia baru. Generasi muda yang mengerti dan mempraktikan koperasi inilah yang sebenarnya diimpikan negeri ini. Sudah selayaknya, sebagai generasi muda, kita berprinsip ini: ‘Berorientasi Global, Berjiwa Indonesia, dan Bertindak Lokal. Berorientasi global, maksudnya: produk yang dihasilkan harus mampu bersaing di pasar global. Berjiwa Indonesia, karya-karya yang diciptakan harus bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Jadilah ‘tuan rumah’ di negeri sendiri. Bertindak lokal, menciptakan produk berbasis sumber daya alam maupun budaya lokal. 

Menakar Keberhasilan Koperasi Unit Desa (KUD)

Sejak awal berdirinya organisasi membutuhkan dukungan dari lingkungan yaitu ijin berdiri, rasa aman, keleluasaan bergerak, dan lain-lain. Sedangkan dari pihak organisasi sendiri berupaya agar bermanfaat bagi lingkungan tersebut, minimal keberadaannya tidak mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
Dalam organisasi diperlukan kerjasama baik di dalam maupun dengan lingkungan luar organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Kesadaran untuk bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa merasa terpaksa, kreativitas karyawan, semua ini merupakan energi organisasi untuk berkembang dan keberadaannya dapat diakui masyarakat.
Demikian halnya dengan Koperasi Unit Desa (KUD). KUD dapat diakui eksistensinya dalam masyarakat pedesaan bilamana manfaat pelayanannya dirasakan secara nyata oleh anggota/masyarakat secara cepat dan mudah dengan mutu baik. Pengurus dan karyawan melayani dengan baik, ramah dan penuh kepedulian dalam penyuluhan, penyampaian informasi, maupun dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang ada.
Hal ini menimbulkan simpati masyarakat terhadap KUD sehingga akan menjadikan KUD sebagai tempat pemenuhan kebutuhannya misalnya dalam bidang pertanian. Dukungan yang diberikan masyarakat pedesaan salah satunya adalah masuk menjadi anggota KUD dan berperan dalam setiap program yang ada. Dengan adanya peran dari masyarakat bersama pengurus dan aparatnya maka KUD dapat berkembang dengan baik.
Joseph W Eaton (1987) mengutip pemikiran Ducan dan Parker mengungkapkan; “Organization can be called institutions when they develop the capacity “to act the agents for the larger society by providing valued function and services. More than this, they serve as value patterns conserving and protecting them for the larger society.”
Organisasi dikatakan melembaga jika telah mengembangkan kemampuan “untuk bertindak sebagai wakil masyarakat yang lebih luas dan menyediakan fungsi-fungsi dan pelayanan-pelayanan berharga. Lebih dari itu lembaga-lembaga itu merupakan model untuk menentukan polapola normatif dan nilai-nilai yang sah, melestarikan dan melindungi bagi masyarakat yang lebih besar.
Mengenai indikator dari keberhasilan pelembagaan, Hanson (1987) berpendapat bahwa “Manfaat dari pelayanan yang diberikan, kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisasi serta inovasinya, otonomi atau kebebasan dari pihak lain terutama sifatnya yang menentukan, persebaran norma dan penerimaan masyarakat terhadap norma-norma yang diperkenalkan organisasi. Maka indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur Keberhasilan KUD antara lain; Pertama, Tingkat manfaat pelayanan yang diberikan KUD. Kedua, Tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan KUD. Ketiga, Tingkat pengambilan keputusan. Keempat, Tingkat inovasi. Terakhir atau kelima, Tingkat penerimaan masyarakat.

Geliat Koperasi Wanita di Indonesia

Gerakan koperasi dunia, yang diwadahi oleh Internasional Co-operative Alliance (ICA), memberi perhatian khusus pada peran serta wanita, sebagai kelompok strategis bagi pengembangan ekonomi masyarakat melalui koperasi. 
Kenyataanya, di negara berkembang seperti Indonesia, kaum wanita banyak memainkan peran penting dalam mengelola ekonomi keluarga. Karena upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dimulai dengan peningkatan kemampuan ekonomi keluarga, maka melibatkan kaum wanita dalam koperasi, menjadi sangat penting.
Diskusi penulis dengan Koperasi Wanita di Jawa Timur menunjukkan, peningkatan peran wanita koperasi dalam pengembangan usaha jasa keuangan dan industri kreatif-mandiri memang perlu didorong. Termasuk penguatan kapasitas kelembagaan koperasi di kalangan wanita, misalnya melalui penyelenggaraan temu-karya di tingkat nasional dan daerah serta pengembangan model komunikasi dalam rangka peningkatan kesadaran berkoperasi dan penumbuhan citra koperasi di kalangan wanita.
Membincang pengaruh Koperasi Wanita terhadap keluarga bisa bersifat langsung. Dalam bentuknya yang langsung, lingkungan dan sikap kerja dari suatu jenis pekerjaan tertentu akan mempengaruhi lingkungan dan sikap hidup dari suatu keluarga. Namun yang terpenting, baik secara langsung ataupun tidak langsung - Koperasi Wanita akan ikut membentuk peranan penting di dalam suatu keluarga. 
Koperasi sejatinya merupakan salah satu usaha sekaligus gerakan ekonomi rakyat. Koperasi juga merupakan sifat dasar bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong dan kekeluargaan, yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai luhur Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. 
Coleman misalnya berpendapat, modal sosial tidak terbatas pada orang- orang yang berkuasa tetapi juga memberikan keuntungan-keuntungan riil kepada komunitas, termasuk komunitas dari kelompok marginal dan terpinggirkan. Modal sosial, menurut Coleman menghadirkan sumber daya karena melibatkan harapan akan resiproksitas dan melalui setiap individu yang ada, melibatkan jaringan- jaringan yang lebih luas yang hubunganhubungannya diatur oleh suatu kepercayaan dan nilai- nilai bersama dalam tingkat tinggi.
Dalam teori pilihan rasional, Coleman juga mengembangkan suatu pandangan yang luas tentang masyarakat sebagai suatu kumpulan sistem- sistem sosial dari tingkah laku individu. Untuk menyatakan prinsip- prinsip tatanan sosial, Coleman mengusulkan bahwa sistem tingkatan tingkah laku harus diselaraskan dalam suatu genggaman preferensi- preferensi individu dan tindakan- tindakan mereka. Dengan begitu adanya pilihan rasional individu dan modal sosial yang saling berhubungan akan membantu seorang pelaku ekonomi untuk mencapai kesejahteraannya melalui Koperasi. 

Komunikasi Organisasi KUD adalah Keniscayaan

Salah satu hambatan pembangunan utamanya di pedesaan adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan tersebut akibat belum efektifnya kesempatan terjadinya proses komunikasi yang seimbang antara masyarakat dan sumber informasi, pemerintahan desa dan lembaga organisasi masyarakat.
Untuk optimalisasi pendayagunaan potensi sumber daya alam dan pemberdayaan potensi sumber daya manusia dalam pembanguan pedesaan, diperlukan dukungan komunikasi pembangunan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta persaingan perdagangan global.
Paradigma lama komunikasi pembangunan yang menekankan pada proses komunikasi linear konvensional yang berlangsung secara searah, perlu dikembangkan sebagai komunikasi konvergen yang berlangsung secara dua arah di lingkungan koperasi sebagai suatu model komunikasi yang efektif untuk meningkatkan kenerja dan kapasitasnya sebagai organisasi ekonomi petani.
Keberadaan koperasi di Indonesia sendiri, terkait erat dengan amanat UUD 1945 dalam rangka pembangunan ekonomi kerakyatan yang disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemberdayaan koperasi dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan maksud agar dapat lebih efektif dan efisien mendorong kegiatan UKM dan koperasi di daerah.
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, salah satu kunci pembangunan Koperasi Unit Desa (KUD) ke depan adalah kemampuan KUD memanfaatkan informasi yang tersedia dari berbagai sumber secara cepat, tepat, dan berdayaguna melalui pengembangan komunikasi organisasi di lingkungan KUD.
Komunikasi organisasi KUD merupakan suatu model karena menyangkut struktur hubungan personal dengan berbagai elemen organisasi KUD yang saling terkait seperti iklim komunikasi organisasi KUD, komunikasi publik organisasi KUD, karakteristik anggota KUD, dan tingkat kepuasan komunikasi anggota terhadap pelayanan KUD.

Pengalaman penulis selama mendampingi koperasi di Kabupaten Siak, Riau dan mengelola program kemitraan CSR antara perusahaan di Sumatera dan Koperasi lokal, menunjukkan Komunikasi organisasi KUD dapat berperan dalam meningkatkan kinerja dan kapasitasnya sebagai organisasi ekonomi petani dalam pengembangan mekanisasi pertanian. 
Melalui model komunikasi organisasi KUD, diharapkan terjadi percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produksi, dan kesejahteraan anggota. Persoalannya, bagaimana mengembangkan model komunikasi organisasi dalam KUD?  

Sudut Pandang Berbeda dalam Kerjasama CSR dan CSO

Sebagian besar dalam melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility), perusahaan seringkali menyatakan bahwa mereka membuka peluang kerjasama dengan Civil Society Organization (CSO), namun kadang mereka juga mengaku mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan CSO.
Hambatan utama yang kerap muncul dalam komunikasi dengan CSO itu sebenarnya karena adanya penilaian dari kalangan pelaksana CSR yang cenderung negatif terhadap CSO.
Penilaian itu setidaknya didasari oleh beberapa hal. Pertama, CSO dianggap hanya ahli di pengembangan konsep dan penyajian presentasi namun kurang mendalam pada kerja-kerja pelaksanaan di lapangan, seringkali utopis, tidak praktis, dan tidak aplikatif di lapangan.
Kedua, CSO mengembangkan program yang tidak sesuai dengan prioritas perusahaan, terlalu fanatik untuk memperjuangkan isu yang diusung dan kurang melihat isu lain yang sedang berkembang, lebih banyak mengusung isu advokasi, namun sedikit yang mengusung isu pembangunan.
Ketiga, CSO seringkali terlalu independen, dan tidak mampu mengembangkan skema kolaboratif. Terakhir atau Keempat, CSO kurang profesional, kurang kompeten dalam hal administrasi, dokumentasi, pelaporan dan publikasi.
Namun dalam kerjasama itu, mereka juga mengajukan beberapa syarat pada CSO dan kadang ini yang kurang dipahami oleh CSO. Perusahaan menyarankan agar dalam kolaborasi dengan CSO dipenuhi beberapa syarat di antaranya; Kerjasama harus dibangun dalam skema mutual-benefit; CSO harus profesional dan mampu menjaga komitmen dalam kerjasama, mau memahami dan menyepakati prosedur dan mekanisme CSR; CSO mesti fokus pada penerima manfaat, bukan kepentingan organisasinya saja dan dapat mengisi kekurangan perusahaan dalam memahami masyarakat secara mendalam; CSO mampu mensinergikan kepentingan sosial dan bisnis dari perusahaan.

Sudut Pandang CSO
Sebaliknya, dari sisi CSO memiliki pandangan yang sama mengenai kesulitan dalam berkomunikasi dengan perusahaan.
Pandangan kritis yang muncul dan santer disuarakan, CSR dianggap hanyalah sebuah bagian dari upaya pencitraan korporat semata, hanya kosmetika dari upaya kapitalisasi, dan hanya merupakan alat untuk ‘menjinakkan’ masyarakat saja.
Pandangan kedua, CSR tidak dikelola secara transparan dalam penyajian informasi dan laporan, dan dikelola dengan skema birokratis korporat. Ketiga, CSR dianggap masih merupakan program karikatif, memberi ikan bukan kail dan tidak memberdayakan masyarakat dalam jangka panjang.
Keempat, CSR kurang dapat memahami dan mengakomodasi keunikan dan karakteristik dari program-program yang dilaksanakan CSO. Terakhir, CSR selalu memilih wilayah program yang menguntungkan mereka, seperti sekitar lokasi usaha dan menutup mata terhadap wilayah lain yang lebih membutuhkan.
Namun kadang terjadi friksi manakala CSO kemudian memandang bahwa pendanaan CSR dianggap cukup potensial untuk membangun proyek percontohan untuk isu-isu penting pada tingkat lokal.
Sama seperti perusahaan, CSO juga menyarankan untuk membangun kerjasama dengan beberapa catatan, antara lain sebagai berikut; CSO harus selektif dalam mengembangkan kerjasama dengan perusahaan yang tidak bertentangan dengan visi. Misi dan nilai-nilai CSO; beberapa CSO menyatakan sangat terbuka untuk bekerjasama dengan CSR dari BUMN; Perlunya peningkatan transparansi dan keterbukaan informasi pengelolaan CSR bagi kepentingan publik; Harus terbangun kesepakatan mekanisme yang utuh bagi pelaksanaan program CSR oleh CSO.

Hambatan Komunikasi antara CSR dan CSO
Kenyataan tersebut di atas menggambarkan bahwa faktor yang menghambat dalam komunikasi dan sinergi antara CSR dan CSO bersumber pada tiga faktor, yaitu faktor ideologis, faktor budaya organisasi, dan faktor skema dan mekanisme kerja.
Faktor ideologis, menyangkut cara pandang dan konsekwensi tindakan terhadap realitas sosial. Masalah ideologis menjadi sulit dipecahkan karena menyangkut keyakinan atas satu nilai dan paham tertentu. Namun demikian, spektrum aliran CSO sangat luas, seperti halnya aneka ragam karakteristik perusahaan, sehingga tetap bisa ditemukan irisan sinergi untuk CSO dan CSR yang tidak mengalami problem ideologis dalam mengembangkan kolaborasi.
Faktor budaya organisasi, di mana ada perbedaan antara CSO yang lebih ‘egaliter’ dengan perusahaan yang memiliki prosedur hirarkis yang jelas dalam tata kelola. Sesungguhnya yang terjadi dalam konteks ini berimplikasi terhadap aspek psikologis. Hal ini bisa diatasi dengan mengintensifkan proses saling memahami di antara kedua belah pihak agar faktor perbedaan budaya organisasi tidak menjadi hambatan dalam menemukan skema dan mekanisme kerjasama untuk kepentingan yang lebih besar.

Faktor skema dan mekanisme kerjasama, yang merupakan faktor praktis. Seringkali hal ini bersumber pada masalah belum adanya keterbukaan informasi dan belum ditemukannya saluran dan frekuensi komunikasi yang tepat. Oleh karena ketidaktahuan dan tidak adanya media komunikasi yang sesuai maka kolaborasi sulit untuk diwujudkan. Pada faktor ketiga ini pencarian model kolaborasi yang tepat menjadi faktor kunci.

Sustainable Marketing; Pemasaran bikin Penasaran

Pemasaran berkelanjutan (sustainable marketing) adalah filosofi untuk memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan termasuk pelanggan dengan tidak mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. 
Dengan menggunakan filosofi ini, maka sasaran akhir dari suatu kegiatan perusahaan atau organisasi tidak semata mata keuntungan ekonomi, tetapi juga kinerja sosial dan lingkungan, atau dikenal dengan konsep triple bottom line, yaitu profit, people dan planet atau 3 Ps. Dengan demikian maka filosofi pemasaran yang berkelanjutan secara ringkas adalah penerapan kebijakan 4 P (product, promotions, price, place) untuk mencapai kinerja 3Ps tersebut.
Bagaimana caranya? Sederhanya, untuk kebijakan produk sebaiknya perusahaan membuat produk sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga dapat mendatangkan laba, tetapi pada saat yang sama tidak merugikan (bahkan sebaiknya menguntungkan) masyarakat dan lingkungan. Akibatnya bisa saja penggunaan plastik sebagai pembungkus atau kantong belanja kita kurangi dan diganti dengan kertas daur ulang, dan isu ini sudah mulai mendapat perhatian di Indonesia.
Namun untuk menjalankan sustainable marketing ini, pastilah ada tantangannya. Apa tantangannya bila kita mau memerapkan prinsip pemasaran berkelanjutan? Kalau di Inggris, perkembangan konsumen yang mementingkan produk yang baik dan bersahabat dengan lingkungan semakin meningkat. Kelompok konsumen ini dikenal dengan ethical consumers atau konsumen yang etis. Bila kelompok konsumen ini cukup besar maka tentu akan menarik bagi perusahaan untuk menerapkan prinsip pemasaran berkelanjutan karena pasarnya sudah ada dan cukup besar.
Namun di Indonesia, meskipun tidak ada data akurat, diperkirakan kelompok konsumen etis ini masih sangat kecil. Konsumen makanan organik sudah milai tumbuh tetapi jumlahnya belum besar. Tetapi kalau kita menyadari bahwa kebutuhan akan pembangunan dan pemasaran berkelanjutan, maka justru ini menjadi tantangan hingga perusahasan yang menerapkannya saat ini akan menjadi pioneer, dan pioneer adalah mereka yang sangat potensial untuk menjadi pemimpim pasar (market leader). Jadi penerapan prinsip pemasaran berkelanjutan seyogyanya disertai dengan prinsip filosofi pemasaran market driving dan bukan market driven. Perusahaanlah yang harus melakukan inovasi, mendidik pasar atau konsumen kemudian menyebar luaskan jasa dan produknya sehingga tersedia di pasar.
Pertanyaan besarnya, mengapa harus menerapkan pemasaran berkelanjutan? Dengan menerapkan prinsip pemasaran berkelanjutan, perusahaan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dan pemangku kepentingan, sasaran organisasi juga dapat dicapai dan semua dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan sehingga kepentingan generasi yang akan datang tak terabaikan begitu saja.
Lalu apa keuntungan jangka pendeknya bagi perusahaan? Prinsip ini dapat menjadi pembeda (diferensiasi) merek atau perusahaan dengan pesaing, dapat mendidik pasar, mendorong timbulnya inovasi dan kreatifitas, mengidentifikasi peluang baru di pasar dan banyak lagi. 

Charles Darwin pakar yang sudah terkenal, pernah mengatakan bahwa bukanlah makhluk yang terkuat atau terpandai yang dapat bertahan hidup, melainkan mereka yang responsif terhadap perubahan. Mudah mudahan akan banyak perusahaan di Indonesia yang akan dikenang oleh anak cucu kita kelak sebagai perusahaan yang responsif dan bertanggung jawab dalam mengembangkan strategi pemasarannya – dan semua ini tergantung pucuk pimpinannya.

Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil

Keberlanjutan organisasi masyarakat sipil tidak dapat hanya dibangun dengan memupuk sebanyak-banyaknya kapital seperti layaknya sektor korporasi. Tidak sesederhana itu. 
Tangerang Salatan, 10 April 2016 - Arah dan ukuran keberhasilan pembangunan berkelanjutan di negeri demokrasi ini, akan sangat ditentukan seberapa besar irisan sinergi dapat dibangun secara kolektif oleh tiga aktor pelaku pembangunan, yaitu pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat sipil.
Membincang sektor bisnis, berarti secara naluriah akan membawa kepentingan pertumbuhan modal dan kapital, dibawah panji umbul-umbul teori dasar ekonomi yang dijamak anut korporasi, yaitu : dalam kelangkaan sumber daya, modal sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kedua, pemerintah yang diharapkan menjadi penjaga kebijakan, sayangnya seringkali cenderung memilih jalan mudah berpapan petunjuk: ‘pembangunan ekonomi lebih penting’. Maka, jadilah masyarakat sipil sebagai pilar keseimbangan terakhir yang tersisa.
Model pembangunan yang kini dikembangkan, tidak juga dapat memangkas derasnya pertambahan laju kemiskinan masyarakat secara signifikan. Turbulensi yang kini melanda: krisis sistem keuangan, krisis iklim, krisis energi, air bersih dan pangan dan krisis lainnya (krisis kultural, integrasi, integritas, kepemimpinan) semakin menambah kerentanan masyarakat luas. Jurang kesenjangan sosial makin lama makin lebar dan dalam. Inikah visi kemakmuran bersama yang nampak makin menjauh?

Ironi tetap Milik Masyarakat
Kemitraan pembangunan dengan sektor masyarakat sipil akan menjadi salah satu kemungkinan utama terciptanya ruang kesetaraan dialog bagi begitu kompleksnya permasalahan dan kondisi yang sesungguhnya kini dihadapi masyarakat.
Ketika kesadaran atas peran masyarakat sipil dalam pembangunan berkelanjutan mulai berkembang menjadi sebuah kebutuhan mutlak, ternyata keberadaan organisasi masyarakat sipil sendiri menyisakan berbagai masalah mendasar: adanya kesenjangan pendanaan kerja jangka panjang, tidak adanya kapasitas yang memadai untuk menjadi pelaku pembangunan secara komprehensif, lemahnya struktur dan kelembagaan pendukung yang mampu menempatkan masyarakat sipil sebagai mitra pembangunan yang setara, minimnya konsolidasi upaya advokasi kebijakan bersama di tingkat lokal maupun nasional dan gagapnya masyarakat sipil memaknai dan menyiapkan ‘keberlanjutan organisasi’.
Rumusan kunci keberlanjutan organisasi masyarakat sipil di Indonesia harus diletakkan pada minimal dua langkah strategis, yaitu: pertama, sejauh mana organisasi mampu menempatkan diri pada dinamika perubahan lingkungan yang deras terjadi, terus menerus mendorong dirinya berubah dan menemukan ruang-ruang relevansi baru. Untuk itu, organisasi masyarakat sipil harus menjadi organisasi yang dinamis, pembangun kader, pembelajar dan pembaharu. Seharusnya, tidak akan ada kestabilan dan kenyamanan di sana.
Yang kedua adalah sejauh mana organisasi masyarakat sipil mampu mengelola dan memobilisasi sumber dayanya. Mobilisasi sumber daya harus dimulai dari upaya mengelola sebaik-baiknya sumber daya yang sudah dimiliki saat ini, bukan hanya berfokus bagaimana mencari sumber daya baru. Sumber ‘daya’ juga harus dipandang jauh lebih luas daripada hanya sekedar sumber ‘dana’. Begitu banyak sumber daya selain dana, yang hampir-hampir tidak pernah dikelola dan dimobilisasi oleh organisasi masyarakat sipil modern: sumber daya manusia (yang sesungguhnya sampai kapanpun akan menjadi aset terbesar organisasi masyarakat sipil), data-informasi-pengetahuan, teknologi, relawan, komunitas, jaringan serta partisipasi dan keterlibatan publik.
Pemenangan sebuah tujuan jelas membutuhkan sumber daya. Kesetiaan organisasi masyarakat sipil dalam menjaga posisi dan peran penyeimbang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan jelas-jelas akan tergantung seberapa besar sumber daya yang dimiliki. Sesungguhnya, kreasi ‘produk’ pengetahuan dan layanan, pengembangan kemitraan kolaboratif dan pelibatan publik secara luas, yang nantinya akan menjadi kunci upaya mobilisasi sumber daya organisasi dalam jangka panjang.

Pembangunan Berkelanjutan; Jangan Lupakan Sejarah

Tangerang, 5 Maret 2016 - Ketika kita membincang Pembangunan Berkelanjutan (Sutsainable Development), konsep yang kiranya paling popular adalah yang dikemukakan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau WCED (World Commission on Environment and Development) yang diketuai Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia masa itu, dan menerbitkan laporan yang dikenal dengan Brundtland Report yang berjudul “Our Common Future” atau “Masa Depan Kita Bersama” pada tahun 1987.
Dalam publikasinya, WCED (1987 : 43) memberikan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai berikut : “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within it two key concepts: the concept of needs, in particular the essential needs of the world's poor, to which overriding priority should be given; and the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on the environment's ability to meet present and future needs.” 
Namun sebelum laporan itu terbit, ada banyak buah pemikiran para tokoh, yang kadang terlewatkan begitu saja, sering dilupakan - atau memang sengaja "dibungkam", ntahlah. Benang merah dari semua pemikiran itu, Pembangunan Berkelanjutan timbul karena adanya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan hidup. 
Sebelum Brudland Report itu terbit, sebenarnya perhatian terhadap keberlanjutan ini sudah dimulai sejak Malthus yang kala itu, mengkhawatirkan ketersedian lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat pada tahun 1798. 
Pembangunan Berkelanjutan kian berkembang sejak Rachel Louise Carson menerbitkan bukunya yang berjudul “The Silent Spring” tahun 1962. Carson lahir tahun 1907 dan meninggal di tahun 1964 karena kanker. Beberapa pesan utama Carson dalam publikasinya itu terkait dengan pembangunan berkelanjutan adalah; Pertama, Penggunaan Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT) sebagai pestisida di bidang pertanian mengakibatkan malapetaka yang mengancam kehidupan, yang diungkapkan melalui cerita tentang – “Musim Semi yang Hening”, tanpa kehidupan. Pemikiran pokok yang penulis temukan dalam buku itu; Alam terbatas kemampuannya meresap polusi yang dihasilkan pembangunan yang tak terkendali.
Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT sendiri merupakan pestisida pertama yang digunakan secara luas selama dan sesudah perang dunia II untuk memerangi malaria, tifus, dan berbagai serangga penyebar penyakit, baik dikalangan militer maupun sipil. Keberhasilan penggunaannya menyebabkan penemunya, Paul Herman dari Swiss, memperoleh penghargaan Nobel 1948 “for his discovery of the high efficiency of DDT as a contact poison againtas several arthopods”.
Namun menurut Carson, DDT menyebabkan kanker dan menghambat reproduksi burung karena menipisnya kulit telur. Pemikiran Carson diterima luas dan DDT pun mulai dikendalikan Pemerintah AS di era John F Kennedy, dan akhirnya DDT dilarang sama sekali.  
Perhatian pada Pembangunan keberlanjutan semakin fenomenal setelah Meadow dan kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul “The Limit to Growth.” Meski publikasi Meadow, dkk ini mendapatkan kritikan yang tajam dari para ekonom. Ini karena lemahnya fundamental ekonomi yang digunakan dalam model The Limit to Growth tersebut. 
Bisa penulis simpulkan, dari publikasi tersebut pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Perhatian terhadap aspek keberlanjutan mencuat kembali dan di tahun 1987, bahkan pembangunan berkelanjutan kemudian dimasukkan ke dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak saat itu beberapa definisi dari Pembangunan Berkelanjutan disepakati dan penerapan teori dan prinsipnya ditetapkan, seperti yang ramai dibicarakan dan bersumber pada WCED.
Pembangunan berkelanjutan kian membumi, dan banyak pihak telah memberikan definisinya. Namun makna yang jelas, tetap, dan abadi dari definisi-definisi tersebut kadang sukar ditangkap, atau bisa jadi konsep Pembangunan Berkelanjutan sebenarnya sebagai suatu oxymoron, yaitu secara fundamental bertentangan dan tidak dapat didamaikan. 
Jika kemudian ada yang bisa mendefinisikan dan mengaplikasikan kembali istilah Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan tujuan mereka, itu menjadi berarti dalam praktek, atau lebih buruk lagi, dapat digunakan untuk menyamarkan kegiatan greenwash yang secara sosial atau lingkungan merusak. 

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538