Corporate Communication; Peluang dan Tantangan dalam Mengintegrasikannya


Secara umum, komunikasi perusahaan (Corporate Communication) adalah pesan yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi atau perusahaan, badan, atau lembaga untuk publiknya. "Publik"  dapat baik  internal  (karyawan,  stakeholder,  dan  pemegang saham yaitu saham) dan eksternal (lembaga, mitra saluran, media, pemerintah, badan industri dan lembaga, masyarakat pendidikan dan umum).
Konsep Corporate Communication ini dapat dilihat sebagai struktur komunikasi integratif yang menghubungkan para pemilik kepentingan kepada organisasi atau perusahaan. Struktur Corporate Communication adalah sebuah sistem yang memungkinkan perusahaan untuk mengatur segala bentuk dan jenis komunikasi secara strategis.
Fungsinya  antara antara lain menjabarkan visi dan misi korporat menjadi misi komunikasi, bahkan diturunkan lagi menjadi strategi dan taktik komunikasi korporat. Selain itu, rangkaian misi-strategi komunikasi itu diterjemahkan menjadi misi merek korporat (corporate brand mission) dan janji merek (brand promises) kepada publik. Itulah yang kemudian menjadi strategi dan taktik atau program pembangunan merek (brand building), baik merek korporat (corporate brand) maupun merek produk (product brand).
Ini semakin diperlukan manakala ditemui bahwa stakeholder (pemangku kepentingan) kini semakin beragam. Setiap perusahaan harus cerdas melempar anak panah mereka pada masing-masing stakeholder. Namun manakala upaya ini dilakukan tidak terintegrasi, bisa jadi perusahaan akan merasa “kelelahan” dan menghamburkan banyak “anak panah” – untung jika tepat sasaran, jika tidak?
Membincang terintegrasi dalam Komunikasi Perusahaan, tidak hanya bertujuan untuk memajukan rencana pemasaran – seperti yang telah banyak dilakukan melalui IMC (Integated Marketing Communication). Namun, lebih dari itu komunikasi perusahaan yang terintegrasi juga bertujuan untuk memajukan rencana operasional perusahaan secara keseluruhan dan menyelaraskan brand dengan reputasi. Dengan demikian, perusahaan dengan segenap potensi yang dimiliki harus mulai memikirkannya untuk keberlanjutan bisnis perusahaan berikut menyiapkan model rencana kerja dan melaksanakan nya dengan konsisten.
Ikuti agenda training terdekat-nya ;

Community Relations : Sudahkah memiliki hubungan timbal balik?


Suatu perusahaan tentu harus mampu menjaga hubungan dengan komunitas di sekitar perusahaan karena mereka mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Salah satu hubungan yang harus dibina oleh PR dalam suatu perusahaan adalah hubungan dengan komunitas (community relations).
Dalam pelaksanaan fungsi humas, komunitas dipandang sebagai suatu kesatuan dengan perusahaan yang memberi manfaat timbal balik. Prinsip kegiatan humas adalah mengharmonisasikan hubungan antara perusahaan beserta manajer dan karyawannya dengan masyarakat di sekitar perusahaan. Hubungan yang harus dibina oleh humas tidak hanya hubungan jangka pendek, tetapi juga hubungan jangka panjang. Hubungan timbal balik dengan rasa memiliki dibutuhkan oleh perusahaan agar perusahaan memperoleh dukungan komunitas.
Community relations pada dasarnya adalah kegiatan public relations. Mengingat community relations berhadapan langsung dengan persoalan-persoalan sosial yang nyata yang dihadapi komunitas sekitar organisasi. Melalui pendekatan community relations itu, organisasi bersama-sama dengan komunitas sekitarnya berusaha untuk mengidentifikasi, mencari solusi dan melaksanakan rencana tindakan atas permasalahan yang dihadapi.
Dalam hal ini, fokusnya adalah permasalahan yang dihadapi komunitas. Bukan permasalahan yang dihadapi organisasi. Namun dampak dari penyelesaian permasalahan yang dihadapi komunitas itu akan dirasakan juga oleh organisasi, mengingat program-program community relations pada dasarnya dikembangkan untuk kesejahteraan bersama organisasi dan komunitas. Karena kegiatan community relations pada dasarnya adalah kegiatan public relations, maka program dan kegiatan community relations organisasi akan melalui tahap-tahap proses public relations.
Hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan  masyarakat  sekitar  memang tidak dapat dibangun dengan mudah dalam waktu yang singkat. Namun dengan community relations yang tepat dan jelas, perusahaan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kepentingan masyarakat sekitar sekaligus kepentingan perusahaan dalam membentuk citra positif-nya.

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

Best Practice : Strategi Komunikasi Pemasaran Produk UKM dan Koperasi


UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM menyebutkan bahwa kriteria usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Karena skala usaha yang masih kecil, dimiliki dan dijalankan sendiri, maka strategi pemasaran UKM cenderung terjadi secara spontan, apa adanya, dan tidak fokus. Dari banyak diskusi dengan para pelaku Koperasi dan UKM di daerah, umumnya mereka ini tidak mau dipusingkan dengan perencanaan yang berbelit dan lebih memilih strategi pemasaran umkm yang fleksibel.
Lain itu, alasan ini muncul juga dikarenakan terbatasnya anggaran untuk pemasaran, sehingga pengusaha harus menemukan cara yang efektif dalam memasarkan produk atau jasa dengan biaya pemasaran yang rendah atau bahkan tanpa mengeluarkan biaya. Lalu, mengapa UMKM membutuhkan strategi pemasaran? Banyak alasan penting untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertama, Pemasaran sebagai sarana untuk mengenalkan produk yang kita hasilkan kepada konsumen, mulai dari bahan, fitur, fungsi, dan berbagai detil produk. Kedua, Mengidentifikasi keinginan konsumen. Riset pemasaran perlu dilakukan untuk mengetahui keinginan dan perilaku konsumen. Dengan demikian, pengusaha bisa memenuhi harapan konsumen melalui produk yang dihasilkan. Ketiga, Pemasaran sebagai urat nadi perusahaan. Tanpa strategi yang baik, penjualan akan sulit dicapai. Keempat, Membangun branding. Umumnya konsumen akan memilih produk yang sudah mereka gunakan sebelumnya. Agar produk kita diketahui dan digunakan konsumen, maka membangun merek perlu dilakukan. Terakhir, Menciptakan komunikasi atau hubungan dengan konsumen. Hubungan baik dengan kosumen perlu dilakukan untuk me-maintain customer retention agar konsumen menjadi loyal dan tidak mudah berpaling ke pesaing.
Komunikasi pemasaran lebih jauh, bermanfaat untuk menjaga pertumbuhan usaha untuk jangka panjang. Usaha yang bisa bertahan lama, langgeng ditentukan oleh kekuatan merek, kualitas produk, dan komunikasi pemasaran yang kontinyu. Bagaimana langkah – langkah agar startegi pemasaran umkm berjalan efektif?

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

CSR Strategic & Building Corporate Reputation


Bisnis, di luar kesadaran banyak orang, secara asasi sudah seharusnya bersifat sosial. Tidak mungkin bisnis dilakukan tanpa relasi dengan pihak lain, sehingga relasi sosial adalah keniscayaan dalam bisnis. Oleh karena itu, tak ada bisnis sehat yang tak dibangun dengan memperjuangkan rasa saling percaya, baik itu dengan perusahaan yang masuk supply chain, konsumen, maupun dengan pemangku kepentingan lainnya.
Lebih jauh, bisnis yang baik juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh pemangku kepentingan, karena kesejahteraan berarti kemampuan untuk membeli produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Kesejahteraan masyarakat secara umum juga kerap berarti kedewasaan berpikir serta perhitungan yang lebih matang, dan kesediaan membayar lebih tinggi untuk produk yang baik. Karenanya, kesejahteraan masyarakat itu penting diupayakan oleh perusahaan.
Bagi Perbankan, tanggung jawab sosial perusahaan atau populer dengan istilah corporate social responsibility (CSR) sebenarnya bukan hal asing. Sebab, sekarang, CSR di banyak industri tidak lagi hanya digunakan sebagai marketing gimmick. Tapi, sudah menjadi kebutuhan perusahaan bersangkutan untuk lebih dekat dengan masyarakat dan ling­kungan sekitarnya.
Wujudnya bermacam-macam. Mulai dari sekadar membagi-bagikan paket makanan siap santap; membuka posko layanan kesehatan, telekomunikasi, dan perbaikan kendaraan di daerah bencana; hingga terjun langsung mengevakuasi pengungsi. Perusahaan berharap, dengan melakukan kegiatan CSR, citra dan awareness terhadap perusahaan itu pun akan terdongkrak.
Pemikiran yang sama juga terbersit dalam benak kalangan perbankan. Sektor ini juga melihat CSR sebagai kebutuhan. Salah satu poin penting optimalisasi adalah kewajiban menerapkan CSR di setiap bank. “Bank Indonesia berpandangan bahwa CSR industri perbankan seyogianya dapat terarah pada upaya-upaya strategis dalam pembentukan masa depan bangsa, seperti bidang pendidikan.
Kepedulian sosial perbankan mulai tampak nyata. Beberapa bank saat ini memang sudah melakukan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kendati belum optimal, upaya perbankan ini merupakan awal yang positif untuk memulai kegiatan yang lebih besar. Beberapa bank lain pun termotivasi melakukan kegiatan CSR dengan lebih terencana. Bahkan, tidak jarang, kegiatan sosial dilakukan dalam yayasan tersendiri dan dengan bujet khusus. Tapi sejauh mana ini akan meningkatkan reputasi perusahaan sekaligus mewujudkan CSR Substansial?
Ikuti agenda training terdekat-nya ;
http://www.pelatihan-indonesia.com/csr-strategic-corporate-reputation/

Customer Retention Marketing: Membangun Hubungan Lebih Baik dengan Pelanggan


Pelanggan besar, bagi organisasi atau perusahaan tentu adalah pelanggan yang penting. Pelanggan besar adalah pelanggan yang kita harus pelihara. Bila perlu, kita harus memberikan perhatian yang ekstra kepada mereka. Perusahaan tidak boleh kehilangan mereka. Pelanggan inilah yang akan memberikan revenue dan profit di masa mendatang! Inilah pernyataan yang sering kita dengar. Benarkah keseluruhan pernyataan ini?
Tentu saja, sebagian benar, tetapi ada sisi di mana kita bisa berargumentasi. Memang, pelanggan besar sudah pasti pelanggan yang relatif penting baik buat perusahaan saat ini, maupun di masa mendatang. Mereka memiliki potensi yang besar. Pelanggan besar cenderung menjadi pelanggan lebih besar lagi. Mereka memiliki kemampuan sumber daya manusia, keuangan, dan mungkin teknologi yang mampu membuat pertumbuhan perusahaan.
Yang menjadi problem kemudian adalah situasi ketika kita tidak proporsional untuk mengelola pelanggan yang lebih kecil. Perusahaan lalu cenderung untuk tidak memberikan perhatian yang semestinya kepada pelanggan yang lebih kecil ini.
Bahkan situasi yang buruk bisa terjadi. Ternyata, pelanggan besar tidak memberikan keuntungan sebesar penjualannya. Mereka cenderung membeli dengan harga murah dan selalu minta diskon yang paling besar. Melayani kebutuhan mereka dalam hal pelayanan dan pemberian solusi juga membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya yang besar, dan akhirnya profit perusahaan tidak maksimal mencetak laba perusahaan.
Tidak jarang, terutama dalam industri consumer goods, produsen atau distributor pemasok pelanggan besar seperti Carrefour, Hypermart, Giant, atau yang lain-lain, sering menyatakan keluhannya. Mereka merasa bahwa memasok barang kepada perusahaan-perusahaan ini sering kali untungnya sangat sedikit. Selain itu, piutang mereka kemudian banyak dipotong untuk program promosi bersama.
Tidak mengherankan, bagian keuangan adalah pihak yang paling sering mengeluh, mengomel, atau bahkan jengkel dengan para pelanggan besar tersebut. Ini salah satu tanda bahwa ada pekerjaan yang perlu diselesaikan untuk melihat permasalahan lebih jernih sehingga lebih mudah untuk membuat keputusan.
Oleh karena itu, pesannya sederhana. Menghadapi pelanggan, baik pelanggan besar ataupun pelanggan kecil, diperlukan strategi dan pengelolaan yang tepat. Tidak mengherankan, sekarang marak perusahaan menerapkan “key account management”. Artinya, pelanggan besar adalah penting, tetapi harus dikelola masa depannya. Perusahaan juga harus melayani mereka, menciptakan hubungan yang baik, dan sekaligus terjadilah hubungan bisnis yang saling menguntungkan. Untuk mendapatkan profit yang optimal, perusahaan perlu untuk menjadikan dirinya sebagai supplier yang dipreferensi. Untuk mencapai key supplier status ini, adalah tugas account manager untuk memahami pelanggan besar dengan baik.

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

IMC : Driver for Integrated Marketing Communications (IMC)


Pada masa kini, manusia yang modern dalam berbisnis seringkali menggunakan istilah Integrated Marketing Communication (IMC) atau disebut juga Komunikasi Pemasaran Terpadu dalam mempromosikan produknya. Komunikasi pemasaran digunakan sebagai kegiatan komunikasi yang ditujukan untuk menyampaikan pesan kepada konsumen dan pelanggan dengan menggunakan sejumlah media dan berbagai saluran yang dapat dipergunakan, tentunya dengan harapan terjadi tiga perubahan. Yaitu berubahnya tindakan, sikap, serta pengetahuan target pasar.
Menurut American Association of Advertising Agency, IMC adalah “Konsep perencanaan komunikasi pemasaran yang mengkaji peran strategis masing-masing bentuk komunikasi (iklan, sales promotion, PR, direct marketing, dll) dan memadukannya untuk meraih kejelasan, konsistensi dan dampak komunikasi yang maksimal melalui pengintegrasian pesan.” Jika dijabarkan lebih luas maka IMC memiliki pengertian: Pengembangan dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi yang bersifat persuasif kepada konsumen secara berkesinambungan.
Karakteristik dari IMC yaitu, berawal dari konsumen, kemudian mempengaruhi perilaku dengan mendorong konsumen untuk bertindak, menggunakan berbagai macam sarana dan saluran untuk menghubungkan perusahaan dengan konsumen, lalu berusaha menjalin hubungan antara brand dengan pelanggannya sehingga tercipta sinergi komunikasi pemasaran. Tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan value, meningkatkan brand awareness, membangun brand loyalty, mengurangi serangan dari competitor dengan menghadirkan pesan yang unik dan positif sehingga dapat melindungi perang harga di kalangan competitor.
Begitu bermanfaatnya penggunaan strategi IMC bagi suatu organisasi bisnis hingga banyak perusahaan yang menggunakannya untuk mendapatkan hati pelanggan. Manfaat-manfaat yang didapat adalah sebagai berikut:
Pertama, membentuk identitas merk yang kuat di pasar dengan mengikat bersama dan memperkuat semua citra dan pesan komunikasi perusahaan.
Kedua, mengkoordinasikan semua pesan, positioning dan citra, serta identitas perusahaan melalui semua bentuk komunikasi pemasaran.
Ketiga, adanya hubungan yang lebih erat antara perusahaan (melalui produk/jasanya) dengan para konsumennya.
Terlebih lagi, trend pengaplikasian IMC dapat mengurangi ketergantungan pada iklan yang banyak mengeluarkan biaya dan juga bisa mengembangkan analisa perilaku konsumen yang berguna untuk strategi pemasaran jangka panjang. Nah, jadi bagi Anda yang ingin mencoba berbisnis terapkanlah IMC dalam strategi pemasaran produk/jasa anda.

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

PR Campaign; Pendekatan Penangan Krisis Citra


Dewasa ini, muncul kesadaran bahwa peran public relations sangat strategis bagi perusahaan, lembaga pemerintah, organisasi dan tokoh (pemimpin politik/artis/pejabat dsb). Pada banyak kasus, terbukti kerja-kerja PR sangat menentukan maju-mundurnya pendapatan perusahaan, menentukan sejauhmana pemerintah mendapat dukungan masyarakat dan DPR/DPRD sehingga dapat bekerja melayani masyarakat lebih baik dengan kinerja pembangunan dan pelayanan administrasi pemerintahan. Selain itu, juga menentukan tingkat popularitas seorang pemimpin politik yang berujung pada iklim pembangunan yang sinergi dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. 
Lebih dari itu, sewaktu-waktu peran PR justru dianggap paling penting di atas unit-unit atau departemen lain, terutama ketika perusahaan, lembaga pemerintah, organisasi atau seorang tokoh mengalami krisis citra, suatu keadaan di mana tingkat kepercayaan masyarakat/konsumen terpuruk drastis dikarenakan sebuah kejadian/peristiwa yang tidak diinginkan.
Misalnya, ketika sebuah hotel diberitakan negatif oleh media massa dikarenakan seorang tokoh pemimpin daerah ditangkap polisi di hotel tersebut saat pesta narkoba, atau ketika seorang gubernur kehilangan dukungan politik dari DPRD dikarenakan krisis politik perebutan jabatan para elit daerah, atau ketika seorang presiden diberitakan memiliki anak di luar nikah dan diketahui publik setelah anaknya sudah berusia 15 tahun.
Dalam kondisi krisis citra seperti ini, profesional PR berperan strategis mengelola isu yang berkembang. Memang tidak seorangpun, termasuk profesional PR mampu merubah atau mengendalikan kejadian yang menimpa klien, tetapi melalui pikiran jernih, tanggapan positif atas setiap peristiwa negatif dan berbagai pendekatan penanganan krisis citra, profesional PR dapat membantu memulihkan kepercayaan publik kepada klien.
Krisis ekonomi 1997 cukup menjadi catatan sejarah dan contoh pengalaman betapa kerja-kerja PR sangat menentukan dalam memulihkan kepercayaan konsumen pada perusahaan yang mengalami krisis citra. Dalam tempo beberapa tahun kemudian perusahaan bangkit dengan kinerja keuangan yang meningkat signifikan. 
Ketika itu kebebasan pers baru digulirkan, media berubah menjadi kekuatan yang amat kritis dan independen, banyak perusahaan yang pada masa orde baru dibangun dengan pengaruh korupsi, kolusi dan nepotisme melalui pendekatan kekuasaan tiba-tiba bertumbangan setelah rentetan pemberitaan media yang membuat citra perusahaan terjun bebas dan berujung pada PHK massal karyawan, berlanjut dengan pengusutan keterkaitan perusahaan tersebut dengan korupsi penggunaan dana APBN. Tidak sedikit perusahaan yang tumbang, tetapi ada juga sebagian perusahaan yang berhasil melalui masa krisis berkat kontribusi peran profesional PR.
Meski demikian, sayangnya, belum banyak perusahaan yang menempatkan kedudukan PR sebagai struktur resmi perusahaan dan baru sebagian tokoh nasional yang menempatkan kerja PR sebagai staf khusus. Jadi, profesional PR kebanyakan dipakai hanya pada saat krisis terjadi. Padahal, pengelolaan citra adalah proses bekerkelanjutan, berdimensi jangka pendek dan panjang.
Posisi PR Manager dalam struktur manajemen perusahaan dan manajemen pribadi tokoh sangat berpengaruh terhadap pengelolaan informasi dan opini publik, serta kemampuan mencermati dinamika yang berkembang untuk mencegah terjadinya krisis citra.
Dalam manajemen perusahaan, posisinya yang jauh dari direksi, hanya sub bagian dari departemen membuat profesional PR tidak leluasa mengelola informasi dan menyampaikan kepada publik melalui media massa. Ini bisa berdampak buruk, karena keterbatasan informasi, wartawan mengorek informasi dari sumber alternatif yang justru tidak diinginkan perusahaan karena berpeluang kontraproduktif, membuat krisis citra kian berkepanjangan.
Intinya, kedudukan profesional PR dalam struktur manajemen perusahaan dan manajemen pribadi tokoh yang rendah membuat wewenangnya terbatas. Birokrasi yang panjang dapat menghambat kinerja profesional PR dalam mengambil keputusan strategis baik untuk mencegah terjadinya krisis citra maupun untuk menangani informasi ketika krisis citra terjadi. Idealnya, profesional PR ditempatkan dalam struktur manajemen yang memungkinkan berhubungan langsung dengan klien utama (pucuk pimpinan perusahaan atau tokoh atau pimpinan pemerintah atau pimpinan organisasi) setiap hari.

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

Media Relations : Best Practice and Techniques in Media Relations


Dalam dunia kehumasan, terutama dalam menjalin hubungan dan menciptakan image positif dengan publik eksternal, PR tidak bisa lepas dari media. Yang dimaksud media disini adalah pers / wartawan (termasuk institusinya).
Dalam banyak kesempatan dua profesi ini sering kali bersinergi positif, saling membutuhkan. Public Relations sering kali menjadi narasumber untuk insan pers, sebaliknya pers menjadi kepanjangan tangan yang menyuarakan kegiatan-kegiatan PR agar apa-apa yang dilakukannya diketahui oleh stakeholdernya. Oleh karena itu kegiatan ini memerlukan treatment tersendiri. 
Untuk menjalin hubungan dengan media, diperlukan suatu pemahaman media ( media understanding ). Media understanding adalah bagaimana seorang PR memahami suatu media yang akan digunakan untuk “menjual” / membuat image positif dari suatu perusahaan / organisasi kepada publik. Oleh karena itu salah satu relationship yang dilakukan oleh PR adalah media relations.
PRSSA, Stanley J Baran (2004, 361) mendefinisikan Media Relations sebagai “…the public relations professional maintain good relations with professionals in the media, undestrand their deadlines and other restraints, and earn their trust (PR profesional menjaga hubungan baik dengan para profesional di media, mereka memahami deadline dan hambatan lain, dan mendapatkan kepercayaan mereka”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan pers adalah usaha untuk mencapai publikasi atau penyiaran yang maksimum atas suatu pesan / informasi PR dalam rangka menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi khalayak dari organisasi atau perusahaan yang bersangkutan.
Tujuan pokok dari hubungan pers / hubungan media adalah “menciptakan pengetahuan dan pemahaman”, jadi bukan hanya semata – mata untuk menyebarkan suatu pesan yang sesuai dengan keinginan perusahaan demi mendapatkan suatu sosok / citra yang lebih indah dari aslinya.
Sedangkan ditelaah berdasarkan relasi relasi antara individu atau organisasi/ perusahaan dengan media, media relations adalah relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perusahaan mengunakan media massa sebagai medium penyampai pesan dan pencitraan kepada publik. Semakin banyak akses yang didapat publik dari media massa berkaitan dengan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan, maka diharapkan semakin besar tingkat kepercayaan publik.
Praktiknya, banyak pilihan saluran komunikasi atau media yang bisa dipakai perusahaan dalam menyampaikan pesan. Dalam kajian komunikasi massa ada empat saluran komunikasi, yaitu media antarpribadi, media kelompok, media massa, dan media publik. Setiap media ini memiliki karakteristik dan aturan mainnya. Lebih jauh, masing-masing saluran komunikasi akan memberikan hasil dan dampak tersendiri. Namun, kecepatan menjangkau publik hanya bisa dilakukan oleh media massa.  Akhirnya, untuk membina hubungan baik, diperlukan sebuah pengenalan media dan strategi hubungan yang baik pula.

Ikuti agenda training terdekat-nya ;

Perusahaan Perlu Berbicara dengan Cara yang Lebih Baik tentang CSR


Hati-hati, konsumen sekarang memiliki kecenderungan untuk menyalahkan perusahaan sampai mereka yakin bahwa perusahaan terbukti tidak bersalah. Fenomena inilah yang makin memperkuat argumen kenapa perusahaan harus secara proaktif mengkomunikasikan inisiatif CSR mereka.
Sebuah studi yang hasilnya dirilis 27 Mei lalu oleh Cone Comunications menyebutkan lima puluh dua persen dari konsumen menganggap perusahaan tidak bertindak secara bertanggung jawab dalam hal mendukung isu-isu lingkungan dan sosial. Sikap seperti itu terus melekat sampai mereka mendengar sebaliknya.
“Statistik ini mengkhawatirkan sebab fenomena tersebu bisa dimaknai bahwa perusahaan sekarang sudah berada dalam posisi bertahan,” kata Cone EVP Alison DaSilva. “Tapi, fenomena terseut sekaligus merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk memastikan mereka berbicara tentang apa yang mereka lakukan dengan cara yang difahami oleh konsumen.”
Studi secara online yang dilakukan bersama dengan analisis spesialis pemasaran Ebiquity juga menemukan bahwa hampir dua pertiga dari konsumen (64%) mengabaikan sama sekali pesan-pesan CSR yang disampaikan perusahaan jika perusahaan menggunakan terminologi yang membingungkan. Namun demikian, kebingungan responden tentang pesan CSR perusahaan turun dari 71% pada 2011 menjadi 65% pada tahun 2015.
“Ini menunjukkan bahwa bagaimana cara perusahaan menyampaikan pesan tentang upaya CSR adalah penting,” jelas DaSilva. “Dalam menyampaikan pesan-pesan tentang CSR, banyak perusahaan ingin menampilkan angka-angka statistik, tapi seringkali data itu tidak dapat diakses dan didekati. Penelitian kami menegaskan kembali bahwa konsumen ingin mengetahui apa yang dilakukan perusahaan dengan cara yang relevan bagi mereka, misalnya dengan menggunakan campuran antara data dan cerita dampaknya secara personal.”
Untuk mempromosikan inisiatif CSR mereka, perusahaan tidak bisa hanya mengandalkan laporan CSR. Ini karena dalam setahun terakhir, konsumen yang membaca laporan CSR hanya seperempatnya. Sebaliknya, merek harus menggunakan kemasan produk, media, dan iklan. Hampir satu dari lima (18%) dari mereka yang disurvei mengatakan media sosial dan saluran mobile platform efektif untuk mengkomunikasikan data tentang CSR.
Konsumen lebih memilih untuk mencerna data tentang CSR dan efeknya dalam bentuk ringkasan singkat tertulis (43%), website interaktif (34%), video (31%), dan infografis (25%). Hampir dua pertiga dari responden (64%) mengatakan bahwa mereka hanya memperhatikan upaya CSR perusahaan jika yang dilakukan suatu organisasi melebihi dari yang dilakukan perusahaan lain. Sekitar 90% memiliki kecenderungan memboikot pembelian berdasarkan praktek yang bertanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan.”
Cone melakukan penelitian pada bulan Februari dan Maret untuk menindaklanjuti survey global tentang sikap, persepsi dan perilaku konsumen pada 2011 dan 2013. Laporan ini mencerminkan sentimen dari hampir 10.000 warga di AS, Kanada, Brasil, Inggris, Jerman, Perancis, Cina, India, dan Jepang. “Konsumen lebih berdaya dari sebelumnya saat mendatangi kegiatan CSR,” kata DaSilva. “Ini adalah kesempatan besar dalam penyediaan ruang CSR secara keseluruhan.”
Baca selengkapnya :

Kenapa Orang Bersikap Sinis terhadap Kegiatan CSR Perusahaan?



November dua tahun lalu, produsen sereal Kellogg meminta maaf setelah mengirim tweet yang menyiratkan niat mereka memberikan hadiah berupa satu sarapan yang diberikan kepada satu anak yang rentan untuk setiap re-tweet yang mereka terima.
Pesan yang berbunyi “1 RT = 1 breakfast for a vulnerable child ” dikirim dari akun @KelloggsUK itu memancing kemarahan dan balasan marah di situs media sosial. Tweet tersebut dicap “bodoh” dan “sinis”. Linda Sandvik misalnya mengatakan, “Kellogg, jika Anda memiliki kemampuan untuk memberi makan anak-anak yang membutuhkan maka lakukan!” Pengguna Twitter lainnya, David Ingram menambahkan, “Mempromosikan merek atau membiarkan anak-anak tetap lapar… tetap saja Kellogg berkelas..”
Sehari setelah itu, perusahaan langsung menghapus pesan yang membuat banyak orang tersiinggung itu dengan menyampaikan permintaan maaf mereka. “Kami ingin meminta maaf atas tweet baru-baru ini, salah dalam menggunakan kata-kata. Pesan itu telah dihapus. Kami memberikan dana untuk klub sarapan sekolah di daerah rawan..”
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah konsep bisnis di mana perusahaan berusaha untuk berperilaku bertanggung jawab terhada masalah sosial dan lingkungan sehingga bisnis memberikan kontribusi yang bermakna dan langgeng kepada masyarakat (Hopkins, 2007).
Perusahaan terdorong untuk terlibat dalam program-program tanggung jawab sosial karena manfaat potensialnya terhadap bisnis, yang meliputi peningkatan merek, diferensiasi pasar, dan kepuasan karyawan (www.dowelldogood.net). Namun, perusahaan sering gagal mengkomunikasikannya secara efektif kegiatan CSR mereka kepada khalayak sasaran sehingga menghambat perusahaan merealisasikan manfaat bisnis itu.
Dalam konteks dengan komunikasi CSR ini, ada dua tantangan yang harus diatasi pengelola kegiatan CSR. Tantangan pertama, stakeholder awareness. Keberhasilan kegiatan CSR sangat bergantung pada awareness para pemangku kepentingan dari kegiatan CSR perusahaan. 
Persoalannya, studi empiris baru-baru ini mengungkapkan bahwa awareness kegiatan CSR perusahaan para pemangku kepentingan eksternal (misalnya, konsumen) atau bahkan stakeholder internal (misalnya, karyawan) biasanya rendah (Sen et al., 2006). Fenomena ini merupakan sandungan utama upaya perusahaan menuai keuntungan strategis dari kegiatan CSR.
Tantangan kedua, skeptisisme stakeholder. Di luar kesadaran, tantangan utama lainnya adalah skeptisisme stakeholder. Di satu sisi stakeholder mengklaim bahwa mereka ingin tahu tentang perbuatan baik dari perusahaan yang memproduksi barang yang mereka beli atau berinvestasi, di sisi lain, mereka curiga motif perusahaan ketika perusahaan agresif mempromosikan upaya CSR mereka. Tidak seperti informasi pemasaran lain seperti kualitas produk dan inovasi baru, informasi CSR perusahaan mencerminkan “karakter,” atau “jiwa” sebuah perusahaan.
Karakter perusahaan dan kegiatan CSR yang dilakukannya membuat memunculkan pertanyaan di kalangan pemangku kepentingan seputar motif yang mendasari penilaian bahwa kegiatan itu penting. Bisa saja ada reaksi jika pemangku kepentingan memahami kegiatan tersebut lebih didominasi oleh kepentingan diri sendiri atau motif keuntungan, daripada perhatian yang tulus perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penelitian terbaru tentang atribusi CSR menunjukkan bahwa stakeholder sering melihat dua hal, yakni intrinsic yang berkaitan dengan motif asli kepedulian sosial dan lingkungan, dan ekstrinsik yang berkaitan dengan motif keuntungan. Yang menarik, para pemangku kepentingan sering toleran terhadap motif ekstrinsik selama inisiatif CSR dikaitkan dengan motif intrinsic. Sikap toleran terhadap motif ekstrinsik ini menunjukkan bahwa stakeholder telah belajar lebih banyak tentang CSR dan motivasi perusahaan. Mereka semakin bersedia untuk mengadopsi perspektif win-win, percaya bahwa inisiatif CSR dapat dan harus melayani baik kebutuhan masyarakat dan bisnis.
Karena itulah menciptakan kesadaran pemangku kepentingan dan mengelola atribusi pemangku kepentingan merupakan prasyarat utama untuk menuai manfaat strategis dari setiap inisiatif bisnis. Para anggota dewan dan eksekutif senior harus melembagakan program CSR sehingga memiliki pemahaman yang lebih dalam isu-isu kunci yang berkaitan dengan komunikasi CSR.
Ini termasuk pertanyaan seputar apa yang dikomunikasikan (isi pesan), di mana komunikasi dilakukan (saluran pesan), sumber informasi, motivasi perusahaan, industri perusahaan, reputasi merek, dan sifat bisnis perusahaan, serta pemahaman tentang faktor-faktor (internal dan eksternal organisasi). Faktor-faktor tadi sangat mempengaruhi para pemangku kepentingan perusahaan dan publik lainnya dalam menafsirkan serta menanggapi informasi tentang kegiatan CSR.
Beberapa studi akademis juga menekankan tentang kecocokan antara jenis kegiatan CSR dan karater perusahaan yang mengacu pada hubungan logis antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR atau organisasi yang mendukungnya (Simmons & Becker-Olson, 2006). Hal ini dianggap penting karena ketika kecocokan antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR rendah, individu-individu yang terlibat dalam kegiatan akan mengalami kesulitan dalam menjelaskan motivasi perusahaan untuk mendapatkan dukungan atas kegiatan yang dilakukannya.
Ketika tidak ada informasi lain yang ditawarkan yang bisa menjelaskan secara logis, individu-individu dalam masyarakat menjadi skeptis terhadap motif sebenarnya perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR. Ini dapat menyebabkan munculnya perasaan negatif atau sinisme terhadap perusahaan. Di sisi lain, perusahaan tidak memiliki kontrol secara keseluruhan atas faktor-faktor ini, strategi komunikasi yang efektif dapat membantu perusahaan dalam membuat dan menyampaikan pesan paling menguntungkan bagi perusahaan.
Tahun lalu, KFC sebagai sebuah merek melakukan gerakan Kesadaran Kanker Payudara dengan kampanye “Buckets for the Cure.” KFC mendorong orang membeli ayam goreng dan menyisihkan pendapatan dari penjualan itu untuk kegiatan penelitian kanker payudara. Sayangnya, sebagai rantai makanan cepat saji, banyak penelitian yang dikutip mengatakan bahwa makanan yang digoreng sebagai agen penyebab kanker. Kamapnye itu tidak hanya menarik perhatian pada risiko kesehatan yang berhubungan dengan makanan KFC, tetapi juga membuat KFC tampak otentik dan lebih tertarik pada keuntungan dari pada sekadar memberikan kembali untuk tujuan yang baik.
Kecocokan CSR merupakan hasil dari asosiasi yang dishare oleh brand dan kegiatan CSRnya, misalnya menyangkut dimensi produk (merek produk herbal mensponsori kegiatan perlindungan hutan), afinitas dengan segmen target tertentu (misalnya, Avon memerangi kanker payudara), atau asosiasi citra perusahaan yang diciptakan oleh perilaku masa lalu merek dalam domain sosial tertentu (misalnya, Ben & Jerry dan kegiatan Body Shop aktif dalam perlindungan lingkungan).
Kecocokan CSR ini penting karena mempengaruhi keingin-jelasan stakeholder CSR. Kecocokan CSR rendah, misalnya karena kurangnya koneksi logis antara masalah sosial dan bisnis perusahaan, bisa memicu skeptisisme stakeholder dan atribusi ekstrinsik, sehingga mengurangi reaksi positif mereka terhadap kegiatan CSR perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan kecocokan CSR dengan mensinkronkan antara inisiatif sosial dan masalah sosial dan manfaat yang diinginkan perusahaan.
Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kecocokan sifat CSR yang tinggi, perusahaan harus menjelaskan agar kecocokan meningkat. Misalnya, DenTek Oral Care, sponsor kegiatan American Diabetes Association, mengkomunikasikannya bahwa diabetes dapat menyebabkan kerusakan gigi, bau mulut, mulut kering, dan penyakit gusi. Bila banyak orang tidak mengetahui tentang kaitan masalah gigi dan diabetes, maka sponsorship terlihat sebaliknya, kegiatannya dinilai memilki kecocokan yang buruk. Dengan menjelaskan ke publik tentang keterkaitan itu dan itu mendasari sponsorship dan bisnis inti, perusahaan mampu menciptakan kecocokan yang dirasakan tinggi sehingga menuai keuntungan bisnis yang lebih besar dari kegiatan CSR.
Pada tahun 2010, H & M menerima publisitas negatif di Twitter setelah salah seorang warga New York melaporkan kepada koran The New York Times tentang adanya toko lokal H&M yang sengaja menghancurkan dan membuang barang tanpa mengikuti prosedur toko yang baik. Cynthia Magnus, seorang mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi di New York melihat sebuah toko H & M di 34th Street membenamkan kantong sampah penuh pakaian yang sengaja dihancurkan.
Prihatin bahwa sebenarnya limbah pakaian itu masih baik dan bisa disumbangkan untuk amal, Magnus menghubungi kantor pusat H&M. Ketika dia tidak mendapat respon yang baik dari kantor pusat H&M, dia menulis surat kepada New York Times. The Times menulis itu sebagai cerita kecil di bagian berita regional mereka.
Meski demikian, cerita ini kemudian di-tweet oleh tweeter dan diunduh lebih dari 12.000 kali (Forstater 2014). Karena insiden itu dikenal dikenal secara luas dan persoalan menjadi melebar karena kemudian muncul tuduhan H & M tidak menyumbangkan pakaian-pakaian itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. Sebagai salah satu contoh tambahan dari publikasi CSR negatif, ActionAid mengkritik H & M tidak membayar cukup banyak pajak ke Bangladesh, tempat barang dagangan mereka diproduksi (Actionaid 2014).
Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa resonansi pesan-pesan positif maupun negatif terkait dengan isu CSR sangat dipengaruhi oleh seberapa besar publik bersimpati terhadap korban. Dalam kaitan ini, audiense telah memiliki persepsi bahwa korban tidak bersalah sehingga ketika mereka mendengar informasi tentang ketidakselarasan hubungan antara perusahaan dan publik, publik selalu dipersepsikan sebagai korban dan perusahaan selalu dipersepsikan sebagai pihak yang salah.
Kadang-kadang perusahaan tidak memahami cara mengkomunikasikan CSR. Ketika berbicara soal lingkungan sebagai dari salah aspek dalam CSR misalnya, seringkali dikatakan bahwa perusahaan memerlukan lebih banyak produk berlabel ‘ekologi’. Label tersebut bagus, namun perusahaan harus menjelaskan manfaat produk ekologi bagi lingkungan, kesehatan, dan sebagainya. Namun bagaimanapun, perusahaan terus tertantang untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan seringkali tidak mengkomunikasikan manfaat lingkungan sebanyak seperti seharusnya mereka lakukan.

Baca selengkapnya;

Transisi dari Cause Branding ke Komunikasi CSR


Jakarta, 29 Oktober 2015 - Sebuah perusahaan kini menjadi lebih canggih dalam melakukan pendekatan CSR, upaya komunikasi mereka diprediksi akan berkembang dari strategi Cause Branding yang lebih luas pada rencana komunikasi CSR yang menyeluruh.

Dengan tujuan tersebut perusahaan perlu mempertimbangkan metode Corporate Communication (komunikasi perusahaan) dan membuat kemajuan serta serius mengintegrasikan strategi komunikasi CSR ke dalam operasi mereka secara keseluruhan.

Sangat penting bagi perusahaan yang telah membuat komitmen untuk praktek yang bertanggung jawab lingkungan dan sosial untuk mengkomunikasikan implementasi CSR mereka. Komunikasi yang efektif dengan pemangku kepentingan ini bisa di mulai dari stakeholder internal; seperti terlibat investor, konsumen, dan karyawan.

Faktualnya, perusahaan yang berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan mereka sering dapat memperoleh pemahaman pasar yang lebih baik, meningkatkan loyalitas pelanggan mereka, dan membantu untuk meningkatkan standar bisnis.

Meningkatkan transparansi merupakan salah satu aspek yang paling penting dari CSR komunikasi. Namun, manajemen perusahaan perlu mempertimbangkan dua masalah ketika mereka memutuskan untuk berbagi informasi dengan publik. Apa saja?

Pertama, komunikasi mungkin akan melibatkan semua aspek operasi bisnis kecuali informasi rahasia personil atau data tertentu yang mungkin mengorbankan keunggulan kompetitif.  Kedua, perusahaan perlu memahami budaya dan norma-norma lokal di mana informasi itu akan di publikasikan. 

Sebagai contoh, Edelman Public Relations Worldwide, salah satu agensi PR terbesar di dunia dengan keahlian dalam cause branding, menunjukkan bahwa warga AS tampaknya lebih memperhatikan kontribusi perusahaan kepada masyarakat Eropa, sehingga kampanye yang berbasis di Eropa harus memiliki titik fokus yang berbeda, yang mencerminkan kekhawatiran pasar itu.

Cause Branding vs CSR Communication


Jakarta, 30 Oktober 2015 - Membincang Cause Branding terkait pemasaran kadang-kadang menjadi identik dengan komunikasi CSR. Meskipun brand dapat menjadi unsur komunikasi CSR, namun keduanya sebenarnya terpisah dan berbeda satu sama lain. 

Cause Branding misalnya, lebih mengacu pada strategi bisnis jangka pendek yang biasanya terdiri dari iklan yang menghubungkan masalah sosial atau lingkungan dengan nama merek perusahaan dan identitas suatu organisasi.
Kegiatan Cause Branding ini dimaksudkan untuk memperkuat atau meningkatkan citra perusahaan dengan menunjukkan dukungan perusahaan pada isu tertentu. Sebuah elemen penting dari kampanye Cause Branding yang efektif adalah untuk mengasosiasikan Cause Branding yang menghasilkan pelanggan dan yang konsisten dengan produk atau jasa perusahaan. 
Perusahaan yang terlibat dalam Cause Branding akan sering membentuk kemitraan dengan organisasi nirlaba terkait dengan masalah yang dipilih, baik itu masalah sosial, lingkungan dan lainnya.
Di sisi lain, Komunikasi CSR adalah proses perusahaan untuk menginformasikan para pemangku kepentingan dari komitmennya untuk tanggung jawab sosial yang sedang berlangsung perusahaan. Komunikasi CSR mempublikasikan sebuah dedikasi perusahaan untuk berfungsi atas dan di luar minimum regulasi pemerintah dan standar etika bisnis. Ini menyoroti praktik perusahaan yang memiliki dampak sosial atau lingkungan yang positif. 
Selanjutnya, sebuah rencana komunikasi CSR yang komprehensif mungkin termasuk strategi Cause Branding, tetapi sebenarnya, aspek ini lebih terpadu / terintegrasi dalam banyak praktik operasi bisnis. Sebuah rencana komunikasi CSR yang sukses umumnya melibatkan beberapa departemen, termasuk Human Resource, Corporate Communication, Marketing, Investor Relations, dan Internal Communication.  
Diakui, banyak perusahaan yang telah membentuk komite penasihat CSR dalam masing-masing departemen untuk memastikan nilai-nilai perusahaan akan benar benar tercermin dalam semua fungsi bisnis. Beberapa perusahaan bahkan telah menciptakan departemen sendiri dengan menyediakan sumber daya yang berpengalaman.
Lalu bagaimana dengan perusahaan yang masih menjadikan CSR sebagai pekerjaan bagi sumber daya yang memasuki Purnabakti? Lebih buruk lagi menyatukan aktivitas tanggung jawab sosial ke dalam aktivitas departemen marketing.

Kemiskinan Menurun, Kekurangan Gizi Bertambah - Terasa Aneh?

Tangerang, 14 Juni 2015 - Banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki berbagai persoalan dengan cepat. Salah satunya ialah terkait dengan makanan. Karena, ada satu ukuran penting MDGs tentang kemiskinan terkait gizi, yaitu apakah masyarakat mengkonsumsi makanan berkecukupan. Jika tidak, mereka tergolong ”kekurangan gizi”.
Sekilas, tampaknya, kita baik-baik saja. Di Indonesia, biasanya tidak terlihat anak-anak yang kelaparan. Untungnya tidak. Namun, tidak berarti bahwa semua anak memperoleh asupan makanan yang layak. Dengan asupan makanan yang tepat dan dalam jumlah mencukupi, anak anak akan mempunyai berat badan pada kisaran yang sama. Jadi ketika menimbang anak, anda dapat memeriksa apakah “berat badannya sesuai usia” atau tidak. Jika lebih rendah, berarti mereka “kekurangan gizi”. Memang ada cara lain mengukur kekurangan gizi, namun ini merupakan cara paling lazim.
Target kedua MDGs adalah mengurangi jumlah anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuhnya. Pada 1990, angka kekurangan gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi harus ditekan menjadi sekitar 17,8%. Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya tidak terlalu sulit mencapai target tersebut. Sayangnya, beberapa tahun terakhir sejak 2000, angkanya naik kembali.
Tapi, mengapa lebih banyak anak kekurangan gizi, padahal angka kemiskinan menurun? Memang terasa aneh. Logikanya, ketika orang memiliki lebih banyak uang, seharusnya mereka memiliki makanan yang cukup – apalagi anak-anak hanya makan dalam porsi yang kecil Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan makanan tepat dalam jumlah yang cukup.
Awalnya, pilihan ideal adalah memberikan ASI eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia, setelah sekitar empat bulan, jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif kurang dari seperempatnya. Masih banyak masalah lain, seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu yang kekurangan gizi cenderung melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Pada dasarnya, persoalannya bukan karena minimnya penghasilan.
Lalu apa masalahnya? Penyebabnya, lebih karena kurangnya perhatian. Mungkin, juga terkait kemiskinan. Bisa saja ibu yang miskin kurang memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Namun, yang membesarkan hati, dengan sedikit perubahan perilaku di rumah dapat dengan cepat menurunkan angka kekurangan gizi. Bukan hanya pada anak.
Salah satu indicator kemiskinan lain dalam MDGs, melihat apakah seluruh penduduk cukup makan. Dengan menggunakan kriteria FAO1 dalam mengukur kebutuhan konsumsi minimum, maka hanya 6% dari penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang dari standar tersebut. Di masa lalu, standar yang digunakan untuk mengukur kecukupan konsumsi ini sedikit terlalu tinggi untuk Indonesia, sehingga terindikasi bahwa hampir 70% penduduk Indonesia tidak mengkonsumsi cukup makanan. Proporsi penduduk tersebut juga relatif tidak berubah sejak 1990 (UR).

Memberantas kemiskinan, mungkinkah?

Tangerang, 12 Juni 2015 - Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Ketika kita punya uang, kita tentu bisa memeriksakan diri ke dokter yang baik. Kita juga bisa memperoleh sambungan jaringan air minum serta makanan berkualitas. Karena itu, tujuan pertama dalam MDGs adalah mengurangi jumlah penduduk miskin.
Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain. Benar bahwa jika kita memiliki uang, kita bisa mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Namun hal sebaliknya, bisa juga terjadi. Jika anda sakit, bisa membuat anda menjadi lebih miskin – anda akan kehilangan waktu kerja atau harus membelanjakan uang untuk obat-obatan. Artinya, perbaikan kesehatan otomatis mengurangi kemiskinan.
 
Demikian pula dengan pendidikan. Anak-anak yang menikmati pendidikan bakal terbantu memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Karena ada juga berbagai cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung, misalnya menciptakan lapangan kerja yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi penduduk termiskin. Namun sebelum kita berbicara terlalu jauh, sebaiknya, kita mengetahui jumlah penduduk miskin.
 
Berapa banyak dari kita yang berada di bawah garis kemiskinan? Untuk mengetahuinya, BPS melakukan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) terhadap sampel rumah tangga. Pada 2008, sekitar 35 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Namun itu merupakan jumlah nasional. Situasinya berbeda-beda, dari satu daerah ke daerah lain. Hidup di perkotaan, misalnya, umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
 
Mungkinkah Indonesia mencapai Target tersebut pada 2015? Bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Anda mungkin akan terhibur mengetahui bahwa menggunakan ukuran kemiskinan yang lain, wajah Indonesia terlihat lebih baik. Namun ke depan, Indonesia perlu memikirkan tentang isu-isu lain ketika membahas pengurangan kemiskinan akibat kurangnya penghasilan. Ketika menginginkan generasi muda berpenghasilan lebih baik, anda pun harus memberikan mereka pendidikan yang lebih baik. Tetapi, anda juga bisa langsung berpikir tentang penghasilan masyarakat, dimulai dengan lapangan pekerjaan dan upah.
 
Secara keseluruhan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memastikan tumbuhnya ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah pun harus memberi perhatian lebih pada kawasan perdesaan karena sekitar dua pertiga dari rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Contohnya, membantu petani meningkatkan penghasilan dengan cara beralih ke tanaman berharga jual lebih, atau dengan memperbaiki sistem irigasi dan akses jalan (UR).

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538