Dinamika SDM dan IPTEK di Indonesia

Jakarta, 29 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), utamanya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan rahasia umum, jika teknologi merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan daya saing dan kualitas hidup suatu bangsa. 
 
Iptek lebih lanjut, berupaya memecahkan persoalan kekinian dan mengantisipasi masalah masa depan. Dengan adanya permasalahan terkini di bidang pangan dan energi, pembangunan iptek juga berupaya untuk menyediakan alternatif teknologi melalui penelitian. Sayangnya, pembangunan iptek masih terkendala oleh berbagai permasalahan.
Pertama, tingkat kemampuan dan kapasitas kelembagaan iptek nasional yang masih rendah. Ini sebabkan lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas di samping masalah institusi publik dan kondisi makro ekonomi.
Kedua, masih minimnya sumber daya iptek tercermin pula dari rendahnya kualitas SDM di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2002 adalah 5,0 peneliti per 10.000 penduduk, lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia sebesar 8,0. Di samping itu, belum terbentuk kompetensi inti yang bisa menjadi pusat unggulan pembangunan iptek jangka panjang. Kecilnya anggaran iptek saat ini, berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti.
Ketiga, lemahnya peran iptek dalam sektor produksi nasional yang antara lain ditunjukkan oleh kurangnya efisiensi dan rendahnya produktivitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor. Indikator Iptek Indonesia Tahun 2003 mengungkapkan, ekspor produk industri manufaktur pada tahun 2002 didominasi oleh produk dengan kandungan teknologi rendah yang mencapai 60 persen; sedangkan produk teknologi tinggi hanya mencapai 21 persen. Sementara itu, produksi barang elektronik yang dewasa ini mengalami peningkatan ekspor, pada umumnya merupakan kegiatan perakitan yang komponen impornya mencapai 90 persen.
Keempat, belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penghasil iptek dan kebutuhan pengguna. Hal ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain institusi yang mengolah dan menerjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Di samping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) dan pihak industri, yang antara lain berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil dan menengah berbasis teknologi.
Sementara itu, sinergi kebijakan iptek dengan kebijakan pembangunan lainnya juga belum berjalan dengan baik, sehingga kegiatan iptek belum dapat memberikan hasil yang signifikan. Keadaan ini ditunjukkan dari belum terintegrasinya kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna, yaitu industri. Di samping itu, kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan iptek.
Kejadian bencana tsunami dan bencana alam lainnya yang menimbulkan banyak korban merupakan salah satu indikasi masih lemahnya pemanfaatan iptek untuk mengantisipasi timbulnya bencana alam. Wilayah Indonesia dalam konteks ilmu kebumian global merupakan wilayah yang rawan bencana sehingga pembangunan Indonesia yang mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana merupakan suatu keharusan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, kebijakan peningkatan kemampuan iptek harus lebih diarahkan untuk ; Meningkatkan fokus, kualitas, dan kapasitas penelitian dan pengembangan iptek melalui penentuan bidang-bidang unggulan: Pengembangan berbagai skema insentif; Percepatan proses difusi, pengembangan mekanisme intermediasi dan pemanfaatan iptek yang lebih efektif; Penguatan kelembagaan iptek dengan mendorong mobilitas peneliti, peningkatan kerja sama vertikal dan horizontal, menciptakan sinergisme kebijakan dan keterpaduan program iptek dengan sektor lainnya; dan Pemantapan sistem nasional inovasi.
SDM dan teknologi adalah salah satu sektor yang harus dibenahi. Pembenahan tersebut dinilai penting karena Indonesia telah merdeka hampir selama 69 tahun lamanya. Lebih jauh, dengan adanya upaya ini, ke depan Indonesia tidak hanya bisa menjadi tuan rumah di neger sendiri. Indonesia harus dapat bersaing dengan bangsa lain.
Lain itu, yang kiranya perlu kita sadari bersama, meski kemajuan teknologi sangat diperlukan oleh manusia di era kemajuan sekarang, namun setidaknya tetap memperhatikan kelangsunagn ekosistem dari lingkungan sekitar. Karna ketika terjadinya kerusakan pada sebuah ekosistem, maka dapat menyebabkan suatu organisme yang ada di lingkungan tersebut yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya akan dapat merusak kelangsungan rantai makanan dan dapat berakibat dalam jangka panjang terhadap kepunahan suatu kelangsungan ekosistem. Ketika suatu ekosistem terancam punah, akan dapat merusak kehidupan di bumi, yang akhirnya akan mempengaruhi kehidupan makhluk bumi. (UR)

Forum CSR Kessos Jateng: Meningkan Kesejahteraan Sosial

Jakarta, 28 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Sudah menjadi adagium bahwa upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah harus dilakukan secara terpadu dan sinergis. Dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, pemerintah daerah dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah juga membentuk Forum Corporate Social Responsibility (CSR) atau disebut Forum CSR-Kesos Jateng.
 
Hingga Desember 2012, setidaknya ada 21 perusahaan yang menjadi mitra Forum CSR CS-Kesos Jateng, yaitu antara lain; PT. Bank Jateng, PT. Pertamina (Persero), PT. PLN (Persero); PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero), PT. Askes (Persero), PT. Sido Muncul dan lainnya.
Dibentuknya Forum CSR-Kesos Jateng bertujuan mengkoordinasikan, memfasilitasi dan mensinergikan potensi pelaku dunia usaha. Dimana program-program yang dilakukan kemudian di fokuskan pada permasalahan sosial di Jawa Tengah, seperti masalah kesejahteraan sosial dan kemiskinan. Melalui forum ini diharapkan kegiatan CSR perusahaan bisa lebih optimal dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Kondisi Sosial dan Lingkungan di Jateng
Berdasarkan data Dinas Sosial Jateng, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) pada 2011 sekitar 6 juta jiwa dari total penduduk 32,8 juta. Terdiri dari antara lain, kemiskinan 5,1 juta jiwa, keterlantaran 341.491 jiwa, kecacatan 239.859 Jiwa, ketunaan 78.020 jiwa, dan korban bencana 179,286 jiwa.
Kondisi yang semakin buruk ini ditandai dengan banyaknya Pelaku tindakan Kriminal yang mengalami peningkatan, lalu semakin banyak juga Pengemis Gelandangan Orang Terlantar (PGOT) dan Anak Jalanan (Anjal) yang berada di setiap sudut kota.
Sementara itu, dengan kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan kompleksnya permasalahan lingkungan yang terjadi dan melibatkan berbagai pihak: masyarakat, industri dan pemerintah, hingga sampai ke wilayah pesisir. Kondisi ini bukan hanya mempunyai dampak terhadap lingkungan fisik seperti hilangnya sumberdaya hutan, pencemaran air dan udara, tetapi juga akan mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat.
Di tahun 2007 saja, dari 95.000 hektar kawasan hutan bakau di Provinsi Jawa Tengah, 61.000 hektar di antaranya masuk kategori rusak berat (Dinas Kehutanan Jateng, 2007). Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan menjadi areal industri, tambak, pertanian, serta permukiman. Terdapat 14 kabupaten/kota yang kawasan hutan bakaunya masuk kategori rusak berat, yakni Kabupaten Cilacap, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, serta Kota tegal, Pekalongan, dan Semarang. Dari 14 daerah tersebut, kerusakan hutan bakau paling luas terjadi di Kabupaten Pati, yakni 17.000 hektar.
Di masa mendatang, perencanaan kebijakan dan program pembangunan ekonomi memang harus dilandasi oleh pemahaman yang lebih komprehensif. Pembangunan ekonomi daerah tidak lagi semata-mata bersifat sectoral approach, tetapi perlu diimbangi dengan pendekatan kawasan agar kesenjangan dapat dikurangi. Sementara itu, pembangunan ekonomi daerah perlu menekankan pada kerja sama dan sinergitas antardaerah dan antarpelaku, berupa komitmen untuk bekerja sama secara sinergis dalam mengembangkan potensi lokal (local based resources).

Forum CSR Jabar : Prioritaskan Lima Bidang

Jakarta, 28 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Pembangunan daerah merupakan tantangan yang besar bagi Pemerintah, khususnya dalam sinkronisasi kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dan pihak pemerintah, maupun terkait dengan keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh Pemerintah. 
 
Di Jawa Barat, setidaknya ada tiga hal yang menjadi krisis sosial. Yakni, pendidikan, perekonomian, dan infrastruktur. Di bidang pendidikan, program wajib belajar belum optimal sehingga fenomena buta aksara masih tinggi. Di bidang perekonomian,  potensi usaha kecil menengah (UKM) tidak terfasilitasi dengan baik sehingga tak mampu mengangkat penghasilan masyarakat yang lebih baik (TEMPO.CO, 12 Februari 2013).
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat memandang selama kurun waktu tahun 2012, permasalahan lingkungan hidup yang mengemuka diantaranya : banjir, pencemaran limbah industri, praktik pertambangan baik pasir bes, emas, mangan, panas bumi  dan galian C,  masalah pengelolaan sampah di kawasan perkotaan, dan  Sengketa ruang dan lingkungan hidup (Walhi Jabar, 30 Desember 2012).
Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, salah satu strategi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan meningkatkan peran kalangan swasta melalui Forum CSR Jabar.

Dasar Hukum Forum CSR Jabar
Forum CSR Jabar ini dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 30 Tahun 2011 Tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan di Jawa Barat.
Inti dari pasal 3 Pergub Jabar No. 30/2011 menjelaskan bahwa tujuan pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan, yaitu; (1) Mengintegrasikan pembangunan daerah dengan CSR perusahaan; (2) Mensinkronisasikan program pemerintah dan perusahaan; (3) Mengarahkan program CSR perusahaan; dan (4) Mewujudkan keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi program tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan di daerah.
Pembentukan Forum CSR Jabar merupakan langkah strategis. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu penyangga terdepan ibu kota Jakarta sehingga keberadaannya menjadi salah satu barometer nasional. Hal ini diperkuat dengan kuantitas penduduk yang sangat besar, yaitu seperlima penduduk Indonesia.

Lima Fokus Bidang
Dalam pasal 6 Pergub No 30 /2011 disebutkan bahwa program pembangunan di daerah yang dapat dibiayai melalui dana tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan mencakup lima bidang. Kelima bidang tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
Pertama, pendidikan, yang diarahkan untuk mencapai bebas putus jenjang sekolah pendidikan dasar dan menengah serta penambahan Ruang Kelas Baru (RKB), Unit Sekolah Baru (USB) dan Beasiswa.  
Kedua, kesehatan, yang diarahkan agar seluruh wilayah Jawa Barat memiliki sarana dan prasarana kesehatan, alat kesehatan yang memadai, peningkatan kualitas tenaga kesehatan yang kompeten dan pengembangan puskesmas menjadi Puskesmas Mampu Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
Ketiga, bina lingkungan, yang diarahkan pada kegiatan pemberdayaan kondisi sosial masyarakat melalui pencegahan polusi, penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim serta proteksi dan restorasi lingkungan.
Keempat, peningkatan daya beli, yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan sektor KUMK. Terakhir atau kelima, infrastruktur perdesaan, yang diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana lingkungan perdesaan.
Sejak Januari 2011, sudah ada 14 perusahaan yang telah menjadi mitra Forum CSR Jabar, yaitu : PT. Pertamina (Persero); PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten (Bank BJB); PT Jababeka; PT Chevron; PT Bio Farma (Persero); PT Telekomunikasi Indonesia, TBK; PT Tirta Investama; PT Pelindo; PT COCACOLA; PTPN VIII; PT Pupuk Kujang; PT Indocement; Sampoerna Foundation; dan Yayasan Bakrie Untuk Negeri (www.csr-jabar.com, diakses 10 Oktober 2013).

Pro-Kontra Forum CSR Daerah

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Mulai dari inovasi program, upaya kemitraan hingga pembuatan regulasi dan kebijakan yang diwujudkan dengan adanya produk hukum baik itu Peraturan Walikota (Perwal) maupun Peraturan daerah (Perda) CSR.
 
Sayangnya, disharmonisasi dalam pelaksanaan program CSR terkait dengan jenis kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kab/kota masih terjadi. Timbulnya kondisi disharmonisasi ini disebabkan oleh belum adanya penataan tugas dan tanggungjawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam pengelolaan program CSR. Overlapping objek bantuan CSR masih sering dijumpai baik pada level unit organisasi maupun kewilayahan.

Apa Forum CSR Daerah itu?
Permasalahan di daerah perlu diatasi dengan memadupadankan program pembangunan daerah dengan program CSR melalui perencanaan yang terpadu menggunakan data by name dan by address. Lain itu, perlu adanya koordinasi antara pemerintah provinsi dan kab/kota untuk menata permasalahan-permasalahan tersebut sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Uraian inilah sekiranya yang menjadi dasar dibentuknya Forum CSR di beberapa daerah. Forum CSR Daerah merupakan wadah kerjasama yang beranggotakan pemerintah, pelaku usaha dan tokoh masyarakat di daerah yang bertugas melaksanakan sinkronisasi program CSR dan program APBD dalam rangka meningkatkan optimalisasi pembangunan daerah. Menambahkan elemen lainnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengamat dan akademis juga dibutuhkan untuk penyimbang antara kebutuhan dan kebijakan yang nanti akan diambil.
Bila melihat maksud dan tujuan dibentuknya Forum CSR Daerah, hal ini akan berdampak positif dalam pembangunan daerah. Setidaknya hal ini merupakan upaya multiaktor pembangunan di daerah untuk mewujudkan kemitraan. Tujuan akhirnya adalah mempercepat pembangunan daerah. Seperti yang ditunjukkan Forum CSR Jabar dan Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR).
Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas inisiatif dari berbagai daerah untuk membentuk Forum CSR di daerah perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah daerah maupun pengusaha di daerah. Namun, apa yang diungkapkan ini masih dalam tataran konsep yang ideal, bagaimana praktiknya dilapangan? Ini yang kemudian menjadi perhatian banyak pihak.

Pro-Kontra Keberadaan Forum CSR Daerah
Keberadaan Forum CSR Daerah masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pemerintah daerah menghendaki program CSR masuk di dalam penerimaan daerah dengan menetapkan besaran penerimaan tertentu. Di lain pihak pelaku usaha (corporate) mengangap CSR semata-mata merupakan urusan  bisnis  dan tabu untuk dicampuri oleh pemerintah daerah. Dengan adanya perbedaan persepsi ini kiranya perlu upaya untuk meningkatkan kesepahaman tentang program CSR di antara pemangku kepentingan 
Pihak yang pro berpendapat, pada tingkat provinsi pembentukan Forum CSR Daerah dipandang perlu untuk penguatan kerja sama antardaerah kabupaten atau kota diwilayah provinsi bersangkutan. Melalui Forum CSR Daerah pula, diharapkan dapat mengatasi berbagai kendala dan permasalahan CSR sehingg dapat meningkatkan sinergi program pembangunan daerah dengan program CSR.
Sementara itu, pihak yang kontra dengan dibentuknya forum CSR Daerah berpendapat, CSR tidak perlu ada campur tangan pemerintah, karena sejauh ini sudah ada regulasi yang mengatur CSR di Indonesia dan ISO 26000 sebagai panduan CSR yang telah diseoakati secara global. Masih menurut pihak yang kontra, peran dari Pemerintah Daerah adalah terletak pada aspek pengawasan dan mengkaji sejauh mana manfaat yang dapat diberikan oleh perusahaan terhadap masyarakat setempat. Pemda dianggap tidak memiliki kewenangan dalam mengatur program CSR dan menghimpun dananya.
Menggarisbawahi kedua pandangan ini, hemat penulis, Forum CSR Daerah sebaiknya hanya sebatas wadah komunikasi, tidak untuk sampai mengatur masalah dana CSR. Dengan demikian, forum dapat memonitor dan mempertemukan seluruh multiaktor pembangunan (pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan lainnya).
Bila mencermati naik turunnya hubungan antara multiaktor pembangunan, pada dasarnya lebih banyak disebabkan terputusnya komunikasi. Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan konflik. Dengan demikian, forum CSR Daerah diharapkan dapat menjadi wadah bagi semua pihak dalam memberikan pendapat, pandangan, dan mencari solusi bersama untuk mewujudkan pembangunan daerah.

Menunggu Esksitensi CSR Islami

Jakarta, 28 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Praktik CSR (Corporate Social Responsibility) yang berkembang sekarang ini, masih didominasi oleh ekonomi konvensional. Meski semangat CSR di Indonesia terus meningkat untuk mempromosikan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dan berperilaku etis, CSR kemudian merosot menjadi program-program eksploitatif yang terselubung. Tak jarang pula, CSR digunakan sebagai tools marketing.


Program-program CSR idealnya menguntungkan kedua belah pihak – perusahaan dan penerima manfaat. Sayangnya, sering kali hanya perusahaan yang menikmati manfaatnya. CSR hanya topeng dibalik upaya perusahaan untuk meningkatkan keuntungan mereka. CSR yang semula dimaksudkan untuk memberdayakan, justru berbalik arah memperdaya masyarakat.
Membaca apa yang diungkapkan Edi Soeharto, Ph.D (2010 : 97), praktik CSR sering kali tidak memasukkan etika bisnis islam dalam bingkai ekonomi islam atau yang sering disebut ekonomi islam. Manan (1982) memaknai ekonomi islam sebagai ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai islam.
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.

Mencapai Derajat Tertinggi
Secara sederhana, CSR Islami dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan nilai-nilai Islam. Praktik bisnis dalam kerangka CSR Islami mencakup serangkaian kegiatan bisnis dalam berbagai bentuknya.
Menurut Rivai (2009), meskipun tidak dibatasi jumlah kepemilikan barang, jasa serta profitnya, namun cara-cara memperolehnya, pendayagunaan hartanya, dibatasi oleh aturan halal – haram sesuai syariah.
Motif dalam melaksanakan CSR Islami adalah mengedepankan kedermawanan dan ketulusan hati. Rakhmat (2008 : 259-260) mengungkapkan, para pelaku CSR yang memiliki sifat kedermawanan dan ketulusan hati tersebut digolongkan ke dalam orang-orang atau kelompok yang telah mencapai derajat tertinggi.
Lalu bagaimana bentuk program CSR nya? Pertama, Investasi Ziswaf (Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf) yang peruntukannya disesuaikan dengan karakteristik penerima manfaat. Kedua, sistem Qardhul Hassan, yakni program-program pemberian modal yang diangsur tanpa penambahan apapun dan tujuannya untuk pemandirian usaha. Ketiga, sistem bagi hasil, dapat diterapkan pada kelompok ekonomi yang bisa memberi keuntungan, namun seluruh hasil tersebut tetap ditujukan untuk pemberdayaan (Sadewo, 2008 : 90).  

Urgensi CSR bagi Perbankan Syariah

Jakarta, 28 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Bank syariah merupakan lembaga komersial yang dibingkai nilai-nilai spiritual. Di Indonesia perkembangan perbankan syariah mengalami peningkatan yang sangat signifikan, baik dalam hal jumlah perbankan yang ada di Indonesia maupun total aset perbankan.
 
Data tahun 2013 dari Bank Indonesia, menunjukkan terdapat 24 Bank Umum Syariah (BUS),  dan 160 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Sedangkan total aset perbankan syariah tahun 2011 saja, sudah mencapai Rp130,5 triliun atau tumbuh 47,5% secara year on year (yoy). Pertumbuhan perbankan syariah yang semakin tinggi tersebut mampu meningkatkan pangsanya menjadi sebesar 3,7% dari total aset perbankan nasional.
Namun, bank syariah tidak hanya harus meningkatkan dari sisi profit-nya, tetapi perhatian terhadap sosial dan lingkungan juga perlu ditingkatkan. Ini bagian dari nilai spiritual itu yang harus terintegrasi di dalam praktik bisnis bank syariah.
Dengan demikian, Posisi bank syariah sebagai lembaga keuangan yang sudah eksis di tingkat nasional maupun internasional, harus menjadi lembaga keuangan percontohan dalam menggerakkan program CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Dalam perspektif Islam, penelitian Farook dan Lanis (2005) mengungkapkan bahwa bank syariah mempunyai komitmen yang rendah dan terbatas terhadap praktek CSR, terutama terhadap isu lingkungan.
Pelaksanaan CSR oleh bank syariah bukan sekedar hanya untuk mematuhi regulasi, lebih jauh dari itu bahwa tanggung jawab sosial bank syariah dibangun atas dasar falsafah dan tasawwur (gambaran) Islam yang kuat untuk menjadi salah satu lembaga keuangan yang dapat mensejahterakan masyarakat.

CSR Berdasarkan Nilai Syariah
Terdapat beberapa prinsip yang dapat menggambarkan adanya hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Prinsip-prinsip ini adalah berbagi dengan adil, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), dan kepentingan masyarakat (maslahah). Ketiga prinsip ini mempunyai keterkaitan yang kuat dengan tujuan ekonomi syariah yang mengedepankan kepentingan masyarakat banyak.
Pertama, Prinsip Berbagi dengan Adil. Konsep ini, mengajarkan bahwa dalam setiap harta ada bagian atau hak untuk orang lain. Prinsip kedua, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) berarti bahwa keberadaan manusia seharusnya bisa menjadi manfaat bagi orang lain.
Membincang prinsip ketiga, ada tiga level dari kepentingan masyarakat (maslahah), yaitu : essentials (daruriyyat), complementary (hajiyyat), dan embellishment (tahsiniyyat). Daruriyyat berarti pemenuhan kepentingan-kepentingan pokok dalam hidup yang berkaitan dengan pencapaian tujuan syariah yaitu melindungi faith (iman), life (kehidupan), intellect (akal), posterity (keturunan), dan wealth (harta).
Level kedua adalah hajiyyat, merujuk pada kepentingan tambahan yang apabila diabaikan akan menimbulkan kesulitan tetapi tidak sampai ke level merusak kehidupan normal. Sedangkan level ketiga dari piramida maslahah adalah prinsip tahsiniyyat. Dalam level ini bank syariah diharapkan menjalankan kewajiban dan tanggung jawab sosial dengan melakukan hal-hal yang dapat membantu menyempurnakan kondisi kehidupan stakeholder-nya. UR

Lebih Dekat dengan Cinematography

Jakarta, 27 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Membincang istilahnya, cinematography (sinematografi) terdiri dua frasa, yaitu “Cinema” berarti Gerak dan “Graphy” berarti menulis, dengan kata lain menulis dalam gerak (written in motion). Maka sinematografi dapat diartikan sebagai proses pengambilan ide, kata-kata, aksi, emosi, nada dan segala aspek non-verbal yang ditampilkan dalam bentuk visual.

Didalam sinematografi terdapat tool of cinematografi. Apa saja? Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada enam tools, yaitu : Frame, Lens, Lights and Colour, Texture, Movement dan Point of View (POV).
Pertama, frame. Framing merupakan pembagian adegan berdasarkan sudut pandang, posisi kamera, persepsi cerita yang ditampilkan dalam sebuah shoot. Kedua. Lens, merupakan bagaimana sebuah gambar mewakili sudut pandang mata. Ketiga, Lights and Colour. Merupakan penggunaan warna dan pencahayaan dalam sebuah pengambilan gambar. Keempat, Texture. Menampilkan detil dari sebuah shoot. Kelima, Movement. Merupakan setiap gerakan, dimana gambar yang diambil dalam sebuah media audio visual harus memiliki arti. Keenam,  Point of View (POV). Merupakan bagaimana kamera mewakili sudut pandang sebuah karakter dalam sebuah shoot.
Cinematic sebagai hal penting
Cinematic merupakan upaya memecah suatu realitas kejadian fiktif atau nyata, kemudian menyatukannya kembali sehingga menciptakan suatu realitas baru yang cukup akurat dalam mempresentasikan kejadian tersebut dalam persepsi penonton. Jadi, cinematic merupakan proses penggabungan dari beberapa gambar bergerak melalui proses editing untuk menghasilkan suatu cinema.
Gambar-gambar yang disusun di atas harus menampilkan kontinuitas (continuity cinematic). Kontinuitas berarti sebuah konsistensi yang logis dalam hal cerita, dialog, dan gambar, sehingga sebuah film tersebut dapat mempresentasikan sebuah kejadian yang nyata.
Setidaknya terdapat empat tipe kontinuitas, yaitu content, movement, position dan time. Keempat tipe ini akan diuraiakan sebagai berikut :
Pertama, content. Masing-masing property yang digunakan dalam sebuah adegan harus “match” (sama) pada semua shoot.
Kedua, movement. Apapun yang bergerak dalam sebuah shoot, harus di sambung dengan halus (seamless) pada shoot berikutnya.
Ketiga, position. Posisi kamera harus disesuaikan dengan sudut pandang “karakter aktif”.
Keempat, time. Pembagian waktu dan kontinuitas waktu dalam sebuah shoot harus logis ketika berpindah ke shot lain.
Yang harus dipahami, dalam setiap penyusunan pengambilan atau penyatuan gambar kembali dalam proses editing, jangan sampai membuat khalayak yang menyaksikan cinema menjadi bingung atau membuat cerita menjadi membingungkan. Screen direction dalam hal ini menjadi penting dan harus diperhatikan.
Lalu bagaimana dengan group shoot (objek berkelompok)? Untuk mendapatkan kontinuitas dalam group shoot, dapat menciptakan sebuah garis semu yang menjadi urutan shoot. Misal ada objek ABCDE (lima orang), maka dapat dilakukan mengambil 5 objek sekaligus sebagai entire, kemudian mengambil 3 objek/2 objek, dan 1 objek sebagai detil, dimana dari setiap gambal yang diambil tersebut menggunakan angle yang berbeda.
Tipe of Cut
Gambar yang terlalu lama terkadang sangat membosankan, sehingga ada beberapa gambar yang harus di potong (cut). Untuk melakukannya, ada beberapa tipe of cut, yaitu :
Pertama, content cut (memotong sebuah scene yang sama, misalnya sebuah adegan dialog).
Kedua, action cut (memotong adegan yang memiliki sebuah gerakan, misalnya orang menaik mobil – maka di mulai dari menekan tombol remote, memegang handle pintu mobil, membuka mobil, dan masuk mobil.
Ketiga, POV cut (memotong antar shot yang mengacu pada sudut pandang, misalnya sebuah karakter mendengar suara pesawat, kemudian melihat kea rah pesawat, dan pesawat terlihat).
Keempat, Match cut (memotong antar shoot yang berbeda tetapi memiliki objek yang memiliki kesamaan (misalnya, aktor berteriak, cut pada aktor utama yang menguap).
Kelima, Conceptual Cut (memotong adegan yang berbeda, dimana mengandung sebuah ide baru atau konsep baru yang ingin ditunjukkan ke audience (contoh, adegan manusia purba melempar tulang ke atas dilanjutkan dengan satelit yang melayang).
Tipe terakhir atau Keenam, Zero Cut (memotong adegan yang berbeda, ketika ada objek yang melintas di depan aktor).UR

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538