Menyikapi Sikap Tanggap Bisnis

Jakarta, 22 Juni 2014 (Ujang Rusdianto) - Bagaimana gambaran sikap tanggap kalangan bisnis dalam masyarakat global yang kian aktif, makin antisipatif dan sadar akan hak saat ini? Perubahan sikap tanggap, bahkan boleh disebut sebagai pergeseran paradigmatik dari kalangan bisnis dalam berinteraksi dengan lingkungan dan para pemangku kepentingannya, patut mendapat penilaian khusus. Ada nuansa positif. Indikasinya tercermin dari gejala mulai maraknya praktik Corporate Social Responsibility (CSR) secara global.

Namun ini tidak berlaku umum, masih banyak kalangan bisnis maupun pemerintah yang belum menunjukkan perubahan fundamental dalam strategi interaksi dengan pemangku kepentingan mereka. Boleh jadi karena terbatasnya pemahaman, atau bahkan menafikan kebutuhan perubahan paradigmatik dalam kebijakan mereka.
Menyikapi keterbatasan pemahaman ini, pemerintah perlu duduk bersama – tentunya duduk yang bermakna (tidak sekedar ceremonial) dengan pelaku usaha, dan masyarakat sekaligus mengkomunikasikan apa yang dibutuhkan masyarakat secara bersama, memberikan gambaran rencana kerja pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik. Dengan demikian ada komunikasi dua arah, sehingga tidak terjadi alasan klasik - overlapping program antara pemerintah dan perusahaan.

Kemitraan CSR
Perlu ditekankan bahwa substansi praktik CSR merujuk pada realisasi prinsip trisector partnership (kemitraan antara perusahaan, masyarakat sipil dan pemerintah) yang merupakan pemaknaan paling popular atas hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders engagement).
Dalam kemitraan ini, terdapat hubungan resiprokal untuk saling mendengar, memahami kepentingan, harapan dan juga tuntutan dari dua pihak (kalangan bisnis dan pemangku kepentingannya). Di sinilah makna penting hubungan dengan pemangku kepentingan terletak.
Idealnya, Pemerintah sebagai leader dalam penyusunan Program Pembangunan sekaligus sebagai fasilitator pelaksanaan, hendaknya menempatkan kepentingan masyarakat pada posisi tertinggi. Hal ini sangat pantas mengingat rakyatlah yang merupakan objek pembangunan itu sendiri.
Oleh sebab itu antara Pemerintah dengan stakeholder pembangunan harus terjalin sebuah hubungan yang harmonis, jujur dan transparan agar satu dengan lain pihak saling percaya. Ini berarti antara stakeholder pembangunan harus terbangun suatu link atau hubungan harmonis agar segala kondisi yang dihadapi juga benar-benar dapat dipahami bersama.

Menjawab Tiga Pertanyaan Penting
Terpusatnya perhatian pembangunan pada stakeholder eksternal melalui upaya pemberdayaan masyarakat, terutama untuk golongan yang kurang beruntung (powerless), merupakan cara pandang simplistik yang berusaha mengeliminasi persoalan ketidakberdayaan pada kelompok masyarakat.
Sementara itu, realitas ketidak berdayaan pada dua pilar good governance lainnya masih agak luput dari perhatian. Hal itu menjadi salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, gagalnya program-program pemberdayaan selama ini. Untuk masa-masa yang akan datang, upaya pemberdayaan dalam hal apapun harus terlebih dahulu menjawab beberapa pertanyaan fundamental berikut:
Pertama, siapa atau kelompok mana yang harus diberdayakan? Pertanyaan tersebut akan mengarahkan pada upaya identifikasi secara obyektif dan relatif komprehensif aktor-aktor mana yang menentukan masa depan pembangunan, tetapi mengalami banyak keterbatasan, dan oleh karenaya, harus dijadikan sasaran pemberdayaan.
Kedua, apa yang mau diberdayakan? Pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan persoalan fundamental apa yang benar-benar dialami suatu kelompok. Dikatakan fundamental karena persoalan tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan dan akses mereka dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan derajat keberdayaannya.
Ketiga, bagaimana atau dengan cara apa pemberdayaan dilakukan? Pertanyaan ini sangat mendasar, dan karenanya, harus dijawab dengan tepat sehingga upaya implementasi program-program pemberdayaan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Sebaliknya, pilihan strategi yang keliru akan berakibat pada gagalnya misi pemberdayaan yang diemban suatu program atau kebijakan. Atau lebih buruk lagi, program pemberdayaan yang coba diintroduksi untuk memperbaiki nasib target group itu tidak memberikan solusi apa-apa, tetapi malah menciptakan masalah baru.
Ketiga pertanyaan pokok diatas sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan derivatif yang terkandung dalam sebuah paradigma. Dengan kata lain, terlepas dari dimensi-dimensi paradigmatik lain, sebuah paradigma akan memiliki implikasi praktis bagi ketiga persolaan tersebut. Kenyataan empiris bahwa ketiga pertanyaan tersebut belum terlalu diperhatikan dalam dinamika dan operasionalisasi kebijakan pemberdayaan di tanah air sekaligus merefleksikan kurang jelasnya bangun paradigma apa yang sebenarnya sedang digunakan.

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538