Hari Perlindungan Penyu: Hilangngnya Perhatian terhadap Pelestarian Penyu

Jakarta, 23 Mei 2014 - Ujang Rusdianto, Sejak 10 tahun terakhir, populasi penyu di dunia telah mengalami penurunan, tak terkecuali di Indonesia. Indonesia beruntung menjadi "rumah" berbiak berjenis-jenis penyu yang harus dilestarikan bersama. Dari tujuh jenis yang ada di dunia, Indonesia memiliki enam diantaranya. Apa saja?

Dalam portal profauna disebutkan Indonesia memiliki Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu tempayan (Caretta caretta). Penyu belimbing adalah penyu yang terbesar dengan ukuran panjang badan mencapai 2,75 meter dan bobot 600 - 900 kilogram. Sedangkan penyu terkecil adalah penyu lekang, dengan bobot sekitar 50 kilogram.
Meskipun enam jenis penyu di Indonesia telah dilindungi oleh UU negara (PP 7/1999), namun lemahnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum telah menyebabkan berlangsungnya terus pengambilan jutaan telur penyu di pantai-pantai di Indonesia secara eksploitatif dan tidak memperhatikan konsep kelestarian.
Menurut catatan ProFauna, sekitar 1000 ekor penyu setiap tahunnya dibantai untuk dibuat opsetan dan dijual di sepanjang pesisir Pantai Selatan pulau Jawa. Kemudian sekitar 60 ekor penyu setiap tahunnya yang tertangkap tanpa sengaja oleh jaring nelayan. Penyu yang tertangkap tanpa sengaja itu kemudian dikonsumsi dagingnya. Perdagangan penyu di pesisir Pantai Selatan Jawa tersebut terjadi di Pantai Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah, Pantai Puger - Jember, Pangandaran Jawa Barat, Pelabuhan Ratu Jawa Barat, dan Pangumbahan Sukabumi. (profauna.org,  Volume X No.3/Juli-September 2006).
Ancaman-ancaman yang ada dan kendala di dalam pengelolaan populasi penyu secara lestari mengarah kepada lahirnya persetujuan internasional perihal konservasi penyu. Berdasarkan persetujuan itu maka munculah banyak institusi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan juga program-program yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap penyu, selama 15 tahun terakhir.
Berdasarkan ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), semua jenis penyu laut telah dimasukan dalam appendix I yang artinya perdagangan internasional penyu untuk tujuan komersil juga dilarang. Badan Konservasi dunia IUCN memasukan penyu sisik ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah. Sedangkan penyu hijau , penyu lekang, dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah.
 
CSR: Fokus Pelestarian Penyu
Upaya pelestarian penyu dengan memberikan pendidikan kepada anak-anak sebagai generasi penerus yang akan menjaga kekayaan alam di Indonesia, ditunjukkan oleh PT Kalbe Farma Tbk melaui program “Hydro Coco Beach”, program CSR dari produk Hydro Coco. Bahan baku produk ini mengambil buah kelapa yang didatangkan dari Pulau Sambu di Kepulauan Riau.
Selain menghadirkan suasana dan habitat pantai di dalam mall, rangkaian kegiatan ini juga menghadirkan berbagai kegiatan seperti bersepeda, futsal, volley, bowling, foto, edukasi mengenai penyu, lomba lukis dan mewarnai penyu, lomba peragaan busana pantai, kompetisi tari untuk SMP dan SMA, cerita bawah laut oleh Sea World Indonesia, penampilan Zumba Dance dan Coco Dance, serta kegiatan menarik lainnya.
Bagaimanapun, tentu saja kegiatan ini patut diapresiasi. Namun demikian, kegiatan ini perlu dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan CSR yang fokus pada perlindungan penyu, alangkah lebih baik jika didukung dengan kegiatan konservasi yang meliputi berbagai agenda. Di antaranya, survey kawasan, pemberian bantuan, sosialisasi, kampanye, serta berbagai upaya pelestarian dan perlindungan penyu lainnya. Harapannya, aktivitas ini keberadaan penyu tetap terjaga, utamanya bagi spesies penyu langka yang dilindungi.
Lain itu, upaya-upaya pelestarian penyu di Indonesia juga harus didukung dengan kebijakan perlindungan yang efektif, karena eksploitasi penyu hijau misalnya, telah terjadi di sebagian besar di wilayah Indonesia. Masyarakat juga perlu didorong untuk meningkatkan kepedulian akan upaya penyelamatan dan konservasi penyu, khususnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Selamat Hari Pelestarian Penyu, 23 Mei 2014

Iklan Korporat: Praktik Green PR atau Greenwash?

Ujang Rusdianto, 18 Mei 2013 - Lingkungan telah menjadi salah satu isu utama yang banyak didiskusikan selama satu dekade belakangan ini. Perubahan iklim yang terjadi sedemikian cepat serta bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan yang berkepanjangan, dan suhu udara yang meningkat pesat, menandakan telah terjadi ketidakselarasan relasi antara manusia dengan lingkungan.

Sejalan dengan ini, publik tidak hanya menuntut perusahaan mengkomunikasikan produk dan jasanya, melainkan juga mengkomunikasikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Praktisi Public Relations kemudian dihadapkan pada pekerjaan baru -  ditengah lingkungan yang relatif tetap, tetapi kondisinya kian menurun.
Perkembangan ini kemudian memunculkan istilah Green Public Relations (PR Hijau). Istilah ini berasal dari "gerakan hijau", sebuah ideologi yang berusaha untuk meminimalkan efek dari aktivitas manusia terhadap lingkungan. Dalam praktiknya, sub-bidang Public Relations ini mengkomunikasikan tanggung jawab sosial perusahaan atau praktek-praktek ramah lingkungan kepada masyarakat.
Mengapa ini perlu dilakukan? Tujuannya adalah untuk menghasilkan peningkatan kesadaran merek dan meningkatkan reputasi organisasi. Untuk menelusuri taktik komunikasi yang digunakan Public Relations cukup mudah, umumnya akan menempatkan artikel berita, memenangkan penghargaan, berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lingkungan dan mendistribusikan publikasi ke berbagai media.

Iklan Korporat sebagai Kendaraan
Periklanan yang dilakukan public relations atau corporate communication memang berbeda dengan periklanan yang dibuat oleh bagian pemasaran. Jika periklanan yang dibuat oleh bagian pemasaran, lebih bersifat persuasif atau membujuk konsumen untuk membeli produk perusahaan, biasa disebut iklan komersial/produk, periklanan public relations cenderung mengarah pada pembentukan citra dari produk yang positif dan mengarah pada pembentukan nama baik (goodwill) perusahaan.
Salah satu jenis iklan yang digunakan Public Relations untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan adalah Iklan Korporat (Corporate Advertising). Iklan Korporat umumnya merupakan alat pendukung kampanye Public Relations dan Social Marketing.
Fenomenanya, iklan korporat semakin menjadi perhatian perusahaan-perusahaan, termasuk di Indonesia. Isi dari iklan korporat umumnya menampilkan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Melalui iklan korporat perusahaan berupaya menampilkan perspektif atau membingkai diri sebagai perusahaan yang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Sebagian perusahaan ada yang mengkomunikasikannya karena mendapatkan sertifikat ISO 14001, mendapatkan PROPER Hijau atau Emas, menggunakan bahan-bahan Non B3, konsumsi energi produknya yang kecil, emisi kendaraan distribusi produk yang memenuhi standar, menanam jutaan pohon, dll. Tidak ada yang salah dengan komunikasi perusahaan tersebut, tetapi pahamkah perusahaan, pelanggan dan stakeholders lainnya mengenai klaim Green Company tersebut?
Dari sekian banyak iklan korporat yang ditampilkan, perhatian akan sadar lingkungan menjadi tema dominan yang paling banyak di pilih perusahaan-perusahaan. Selama lebih dari dua puluh tahun dukungan publik pada perlindungan lingkungan semakin meningkat. Bahkan gerakan Hijau (the green movement) menjadi salah satu iklan sadar lingkungan yang menjadi perhatian publik yang lebih penting dari yang lainnya.
Ada nuansa positif bila kemudian kita menyaksikan iklan korporat yang ditampilkan Public Relations dalam mengklaim sebagai perusahaan yang peduli lingkungan melalui iklan hijaunya.  Namun harus diakui, masih banyak kalangan bisnis yang belum menunjukkan perubahan fundamental dalam memperhatikan lingkungan sekitar.
Boleh jadi karena terbatasnya pemahaman, atau bahkan menafikan kebutuhan perubahan paradigmatik dalam kebijakan bisnis mereka. Jika demikian, maka dapat disimpulkan iklan greenwashing lah yang sebeneranya dikomunikasikan pada khalayak melalui iklan korporat.

CSR Industri Rokok : Dongeng Menakjubkan

Jakarta, 2 Mei 2014, Ujang Rusdianto - Siapapun orangnya, pasti tahu jika rokok adalah “pembunuh berdarah dingin” kelas dunia. Di Indonesia, gerakan membangun kesadaran tentang bahaya merokok pun semakin besar dalam lima tahun terakhir ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, awal tahun ini mengeluarkan fatwa yang me-labeli rokok sebagai barang haram bagi wanita hamil, anak-anak, ulama MUI, dan perokok di tempat-tempat umum.

Kampanye untuk menghapuskan iklan dan sponsor rokok kian menguat di kalangan masyarakat. Koalisi LSM Anti-Rokok, misalnya, pernah mendemo konser penyanyi Rossa karena disponsori perusahaan rokok. Koalisi ini juga terus menempuh jalur peradilan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 agar iklan rokok dilarang di seluruh media penyiaran. Salah satu tujuannya agar menghapuskan citra merokok sebagai bagian dari budaya atau sesuatu yang "wajar" untuk dilakukan.
Perusahaan rokok tak seperti kehilangan akal dalam mempromosikan produknya. Bahkan sejak lama, perusahaan melabeli diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab sosial dan lingkungan, apalagi jika bukan dengan melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

CSR Rokok sebuah Dongeng
Pertanyaan yang patut kita ajukan, apakah CSR yang dilakukan perusahaan rokok merupakan tanggung jawab sosial yang berkelanjutan atau seperti pandangan umum, sekedar membangun citra sebagai perusahaan yang peduli?
Meski aktivitas corporate social responsibility (CSR) bukan merupakan kegiatan pemasaran ataupun kehumasan, reputasi yang baik dari perusahaan yang melakukan tanggungjawab sosial tetap merupakan konsekuensi logis. Namun bagaimana dengan CSR perusahaan rokok? Di sinilah letak dilema yang terjadi. Ketika perusahaan rokok memiliki reputasi yang baik dan terus-menerus dipertahankan, apakah masyarakat bisa semakin sadar akan bahaya merokok?
Faktanya, sulit terbantahkan perusahaan rokok termasuk yang paling aktif dalam melaksanakan CSR di berbagai bidang dan termasuk yang memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. Bukan rahasia umum, telah banyak program yang mereka buat di berbagai bidang, sebut saja di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelestarian seni budaya, sampai penghargaan karya jurnalistik.
CSR rokok hadir bak seorang malaikat di dongeng-dongeng. CSR rokok menawarkan program-program sosial kepada masyarakat yang mampu meringankan beban yang sedang ditanggung oleh masyarakat. Alhasil, citra rokok yang sebenarnya negatif mampu tertutupi oleh keberadaan CSR tersebut.
CSR rokok sering dipisahkan dari perusahaan rokok itu sendiri dan dibentuk dalam sebuah yayasan. Hal inilah yang agak mengaburkan eksistensi dari yayasan itu sendiri sebagai CSR itu sendiri. Yang jelas brand dari suatu perusahaan rokok juga tercantum dalam nama yayasan tersebut. Sebut saja perusahaan rokok X dengan CSR-nya adalah X Foundation.
Sepintas, program-program mereka membantu meringankan beban pendidikan di Indonesia, akan tetapi mari melihat dari sisi yang lain. Berapa banyak anak yang tidak bersekolah karena ayahnya memilih menkonsumsi rokok. “Kebudayaan” yang buruk terus dipupuk oleh perusahaan rokok. Semakin rendah posisi dalam piramida ekonomi, semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi rokok. Karena itu semua tidak dikelola, maka perusahaan tidak bisa dianggap bertanggung jawab sosial. Aktivitas sosial industri rokok terlampau kecil untuk mengkompensasi masalah yang ditimbulkannya.
Hal yang patut diapresiasi, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal Ahok mengaku akan menolak semua bantuan CSR dari perusahaan yang berbau rokok. Hal ini merupakan wujud dari kampanye Jakarta bebas asap rokok sehingga segala bantuan dari perusahaan rokok akan ditolak. Ketegasan sikap yang dinyatakan ini langsung direspon positif oleh seluruh anggota koalisi masyarakat anti asap rokok. Koalisi masyarakat anti asap rokok DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk mewujudkan Jakarta bebas asap rokok.

Hardiknas; Menjawab Pertanyaan Berulang


Jakarta, 2 Mei 2014, Ujang Rusdianto, Pendidikan Indonesia secara kuantitatif menunjukkan geliat yang luar biasa. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013 menyebutkan jumlah sekolah pelaksana kurikulum 2013, untuk sekolah dasar, kurikulum 2013 akan dijalankan di 2.598 sekolah, oleh 15.629 guru, dan 341.630 siswa. Untuk SMP, dijalankan di 1.521 sekolah, 27.403 guru, dan 342.712 siswa. Untuk SMA, dijalankan di 1.270 sekolah, 5.979 guru, dan 335.940 siswa. Dan untuk SMK, dijalankan di 1.021 sekolah, 7.102 guru, dan 514.783 siswa. Total keseluruhan pelaksana kurikulum 2013 adalah 6.410 sekolah, 56.113 guru, dan 1.535.065 siswa.
Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Apa dampaknya? Setidaknya muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin.
Lain itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas. Apa saja? Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Diakui, berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Urgensi Proses Yang Berkelanjutan
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : Pertama, memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Kedua, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan Ketiga, untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Implikasi Dua Paradigma
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Selamat hari pendidikan nasional – yang lebih baik!

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538