Peran Sistem Informasi dalam KPB

Tangerang, 26 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Sejatinya, masyarakat sangat memerlukan data ataupun informasi terkait lingkungan, akan tetapi kondisi sumber data yang kurang terkoordinir, kualitas data yang kurang banyak data yang belum bisa diperoleh, membuat orang menjadi seolah kurang memanfaatkan informasi.
Informasi secara sederhana adalah suatu kesatuan pernyataan pandangan, fakta, konsep atau ide, yang berhubungan erat dengan pengetahuan, yang mana apabila informasi tersebut diasimilasikan, dikorelasikan dan dimengerti akan menjadi suatu pengetahuan. Informasi tersebut dapat berupa : pengetahuan baru; teori; prinsip; ide; teknologi baru, desain baru; produk baru; proses; prototif; penyempurnaan; metode. Sedangkan sistem informasi adalah suatu sistem formal mengenai hal melaporkan, menggolongkan dan menyebarkan informasi kepada orang-orang yang tepat.
Secara teoritis, ada beberapa bentuk dari sistem informasi. Davis (1974 : 57) dengan baik menjelaskan bentuk-bentuk sistem informasi. Pertama, sistem informasi deterministik adalah sistem informasi yang dalam operasinya dapat menentukan hasilnya secara tepat. Kedua, sistem informasi probabilistik adalah sistem informasi yang dalam operasinya tak dapat diduga hasilnya secara pasti. Kedua bentuk sistem informasi ini, sebaiknya dipadukan dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Dalam beberapa kasus, sering kali terjadinya pencemaran lingkungan, ataupun dampaknya seperti keracunan makanan misalnya, lebih dahulu dideteksi para wartawan dan para ahli lingkungan hidup mengetahuinya dari bacaan surat kabar. Memang keadaan keracunan itu jauh dari dramatis, karena terjadinya khronis, perlahan, dan sulit dideteksi masyarakat awam.
Dengan demikian. pemantauan lingkungan itu penting mengingat pula bahwa secara dinamis dan orang belum tahu persis apa sebenarnya efek kualitas lingkungan tertentu terhadap kesehatan masyarakat. Karena kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun, di negara berkembang misalnya, manfaaat pembangunan tersebut sepertinya belumlah merata, karena laju perkembangan IPTEK di negara maju begitu cepat sehingga negara berkembang belum mampu untuk mengantisipasi dan mengaplikasikannya secara cepat.
Kabar baiknya, Indonesia telah beritikad untuk melaksanakan pembangunan berkesinambungan yang berwawasan lingkungan seperti telah diuraikan di bab ketiga,  dimana setiap pembangunan ditujukan untuk meningkankan manfaat (dampak positif), dan mengurangi resiko (dampak negatif) yang tanpa direncanakan merupakan dampak dari setiap rencana kegiatan pembangunan.
Karena itu Indonesia di dalam proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia, berbeda dengan negara-negara berkembang, karena Indonesia, proses pembangunan yang meningkatkan kualitas material, tetapi memperhatikan kualitas spritual tetap manusia, yang selaras dan seimbang dengan lingkungan alam.
Jika melihat perkembangan di masa lalu, pada tahun 1989, informasi ENSICNET masih terbatas pada masalah penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, kemudian dikembangkan menjadi sistem informasi lingkungan. ENSICNET (a Network for Exchange of Information on Enviromental Santitation) merupakan kegiatan jaringan informasi regional yang dikoordinasikan oleh LRDC-AIL dengan sponsor ADB proyek yang terdiri dari enam negara anggota yaitu : China, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philipines, Thailand dan Vietnam.
Program ENSICNET Indonesia dikembangkan dengan membentuk anggota jaringan (sebagai jaringan (sebagai nodes) yang tersebar di seluruh Indonesia yang kontak person ENSICNET terdiri dari para pustakawan, peneliti, pembuat kebijaksanaan lingkungan. Dalam menata sistem informasi lingkungan penyediaan informasi harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan para pemakainnya terutama  yang dapat digunakan sebagai acuan bagi para pembuat keputusan lingkungan hidup.

Sistem informasi lingkungan di suatu negara yang sudah maju bisa menjadi acuan bagi para pembuat keputusan atau kebijaksanaan lingkungan terutama saat mengkaji apakah proyek/kegiatannya akan merusak lingkungan atau tidak, dan apakah ada dampak penting yang perlu ditanggulangi agar dampak tersebut dapat dikurangi atau dihindarkan dengan cara menerapkan IPTEK/teknologi. Informasi-informasi IPTEK umumnya dan teknologi khususnya perlu diidentifikasikan kegiatan mana sebagai masukan (input), keluaran (output) dan pemrosesannya serta pengolahannya sedemikian rupa agar informasinya dapat dirancang (design) sesuai kebutuhan (demand).

Menakar Peran Media dalam Pembangunan Berkelanjutan

Tangerang, 25 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Komunikasi Pembangungan Berkelanjutan, merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pencapaian visi pembangunan berkelanjutan yang sudah dicanangkan sejak Brundtlandt Conference 1986 dan Rio Conference 1992.
Pemerintah Indonesia sendiri, bahkan telah merespons dengan mengeluarkan Agenda 21 Nasional yang diimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Nasional. Lebih jauh, pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan Agenda 21 Sektoral yang mencakup pertambangan, energi, pariwisata, perumahan, dan kehutanan. Meski sampai saat ini pola pembangunan di Indonesia masih sangat jauh dari konsep pembangunan berkelanjutan yang ideal.
Disinilah peran Komunikasi Pembangungan Berkelanjutan dituntut dan harus berfungsi tidak hanya sebagai media informasi antara pemerintah dan warga negaranya atau antara perusahaan dan stakeholdernya, tetapi juga sebagai media pembelajaran agar semua pihak sadar bahwa sistem ekonomi sangatlah bergantung pada sistem sosial dan lingkungan, sehingga pola produksi dan konsumsi manusia haruslah rasional dan menggunakan akal sehat.

Peran Media Massa dalam KPB
Keberhasilan Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan tergantung dari peran serta aktif semua pihak. Tanpa partisipasi semua lapisan baik pemerintah, masyarakat, NGO, perguruan tinggi, dan industri, maka pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan akan mustahil dicapai.
Media massa juga memiliki keterkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, jika hal ini kita tinjau dari konsep good gavermance yang mensyaratkan adanya partisipasi dan transparansi yang kedua hal tersebut dapat dilakukan oleh komunikasi melalui media massa.
Sebagai civil society, media massa berperan penting dalam pengelolaan lingkungan diatur dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan, yaitu hak masyarakat akan informasi lingkungan diatur dalam pasal 5 ayat 2 yang berbunyi “ setiap orang punya hak atas informasi lingkungan yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan.
Dari beberapa peraturan tersebut komunikasi lingkungan dapat dipahami sebagai suatu proses komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat atau antara perusahaan dengan stakeholder dalam mengembangkan mutualisme yang berkesinambungan untuk mengembangkan hutan berkelanjutan.
Akhirnya, komunikasi Pembangunan Berkelanjutan sebagai suatu topik baru dalam dunia akademis dan industri masih memerlukan terobosan-terobosan baru secara teoritis dan praktis agar dapat efektif. Saat ini sustainability reporting (pelaporan suatu institusi/organisasi atas aktivitas ekonominya dan dampaknya pada dimensi lingkungan dan sosial kepada stakeholder-nya) merupakan topik hangat dalam ruang lingkung KPB. Terutama di Indonesia, KPB masih merupakan hal yang sangat aktual dan masih membuka peluang lebar bagi siapapun yang ingin berkecimpung di dalamnya.

Komunikasi Lingkungan versus KPB

Tangerang, 24 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Meski konsep pembangunan berkelanjutan sudah didengungkan sejak Brundtlandt-Report 1980 dan Rio-Conference 1992, namun perbincangan terkait Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan belumlah banyak didiskusikan, baik dalam diskusi akademis maupun diskusi publik.
Kondisi ini berbeda dengan komunikasi lingkungan, sudah ramai dibicarakan sejak diperkenalkan pada pada tahun 1960-an dan dipopulerkan pada Konferensi Tingkat Tinggi ( KTT ) Bumi pada tahun 1992 di Rio Janiero Brasil yang mengkaitkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan komunikasi.
Terkait Komunikasi Lingkungan, Robert Cox (2010) menjelaskan Komunikasi Lingkungan sebagai media pragmatis dan konstruktif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai lingkungan. Dalam lingkup praktis, hal ini menyangkut srategi pengemasan pesan dalam media untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Sejatinya, komunikasi lingkungan adalah bagian dari Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan yang merupakan proses komunikasi antara pemerintah dan warga negara atau antara perusahaan dan stakeholder-nya dalam usaha mengembangkan dan mempertahankan hubungan mutualisme secara berkesinambungan yang didasari atas konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal ini pemerintah atau perusahaan mengkomunikasikan visi misi, norma budaya dan tanggung jawab sosial (social responsibility, good governance) agar terjadi dialog aktif dengan warga negara atau stakeholder-nya sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat tercapai (Sancassiani, 1996). Jelas pemerintah atau perusahaan haruslah mengetahui informasi apa yang ingin diketahui dan dibutuhkan warga negara atau stakeholder.
Di Jerman, penelitian yang dilakukan Michelsen, G. (2005) menunjukkan, suatu negara maju dimana pemerintah dan warga negaranya sangat mempedulikan masalah lingkungan dan sosial dalam praktek kehidupan sehari-hari – diketahui bahwa pengetahuan warga negara Jerman mengenai terminus ‘Pembangunan Berkelanjutan’ tidak mengalami peningkatan berarti sejak tahun 1998 (tahun 1998 hanya 15% masyarakat yang mengerti istilah PB, 2004 hanya 22%).
Menurut survei ini, pengetahuan masyarakat mengenai istilah PB berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan mereka; semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin istilah PB dikenal. Michelsen kemudian menggungkapkan hal-hal yang paling sering dikaitkan dengan istilah ‘Pembangunan Berkelanjutan’ adalah keadilan, perdagangan yang fair antara negara miskin dan kaya, dan penanganan/pengelolaan sumber daya alam.
Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan digunakan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan bersifat dialogis yang lebih banyak terjadi pada komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Pola komunikasi dibentuk untuk mengidentikasi dan mengkategorikan unsur-unsur yang relevan dari suatu proses komunikasi khususnya komunikasi interpersonal. Pola komunikasi adalah representasi dari suatu peristiwa komunikasi yang dapat digunakan untuk melihat unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi. Sedangkan sejauh mana efektivitasnya tergantung bagaimana relevansi antara pola komunikasi yang dipakai dengan kondisi sosial, budaya dan psikologis khalayak.

Dengan demikian, komunikasi yang efektif dapat dilihat dari prosentase antara khalayak yang dapat dipengaruhi dengan khalayak peserta komunikasi, disamping itu efektivitas komunikasi juga dapat diukur dari efek pada khalayak yang berupa kognitif, afektif, konatif dan efek sosial meliputi difusi inovasi, opini publik, akulturasi serta perubahan sosial ekonomi. Komunikasi yang efektif jika terjadi dalam suasana yang menguntungkan, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan pesannya menggugah perhatian dan minat komunikan. 

Lebih Dekat dengan Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan

Tangerang, 23 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Pendekatan komunikasi yang berbeda saat ini, nampak telah banyak digunakan oleh PBB, perusahaan termasuk pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk memenuhi tantangan pembangunan berkelanjutan dan SDGs (Sustainable Development Goals). 
Pendekatan tersebut bervariasi, mulai dari: Perubahan Perilaku Komunikasi, Komunikasi untuk Pembangunan (atau Pengembangan Komunikasi), Komunikasi untuk Perubahan Sosial, Edutainment (EE), Komunikasi Kesehatan, TIK untuk pembangunan, Informasi, Pendidikan dan Komunikasi (IEC), Pengembangan jaringan dan dokumentasi, Pemasaran sosial, Mobilisasi Sosial, Komunikasi Strategis, dan Komunikasi Partisipasi.
Menariknya, kini muncul istilah baru dan mulai banyak diperbincangkan, yaitu Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan (KPB). Jika membincang konsepnya di awal, Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu proses saling mengerti dan memahami antara pemerintah dan warga negaranya menuju suatu masyarakat yang terjamin masa depannya (sustainable society), dimana nilai-nilai dan norma-norma keadilan dijunjung tinggi.
Dalam konteks bisnis, Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan dapat dipahami sebagai suatu proses komunikasi yang dilakukan perusahaan pada stakeholder (pemangku kepentingan) untuk menciptakan kesamaan makna terkait pembangunan dan terciptanya hubungan yang berkelanjutan.
Yang penting disadari, proses saling mengerti dan memahami tersebut terjadi pada berbagai level dan konteks dalam suatu negara; baik antar individu, antara individu dan institusi, antar institusi dan di dalam institusi itu sendiri, di sekolah dan perguruan tinggi, di media massa, di panggung politik, di dunia bisnis, pada skala komunal, regional, nasional sampai internasional. Singkatnya, Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan sangatlah bergantung pada berbagai macam faktor yang membuatnya menjadi tidak sederhana dan kadang sangat sulit mencapai efektifitasnya.

Sudut Pandang Keilmuan
Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan dari sudut pandang ilmu komunikasi, tentu tidak hanya dimengerti sebagai suatu proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima (komunikasi satu arah/asimetris), lebih dari itu, harus pula dipahami sebagai proses dialog mutual dan berimbang antara pembicara satu dengan lainnya yang tujuannya untuk mencapai suatu kesepahaman persepsi (komunikasi dua arah/simetris). Dalam hal ini bahasa, nilai dan norma antara 2 aktor dalam proses komunikasi tersebut memainkan peran yang penting dalam menentukan efektifitas komunikasi agar tercapai suatu keadaan yang saling mengerti dan memahami antara keduanya.
Dari sudut pandang Ilmu Psikologi - teori Konstruktivismus, Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan kemudian dipandang sebagai suatu bidang ilmu yang dapat dipahami apabila seseorang mempelajarinya sendiri, dengan kemaua dan inisiatif sendiri. Dari perspektif Konstruktivismus, pengetahuan seseorang mengenai pembangunan berkelanjutan tidak dapat diperoleh dari hasil pengajaran (atau melalui  informasi yang disampaikan kepadanya). Pembangunan Berkelanjutan hanya dapat dimengerti seseorang dari hasil belajar dan pengalamannya sendiri.

Sedangkan jika dipandang dari Ilmu Sosiologi, tema aktualisasi diri atas gaya hidup adalah yang paling sering dikaitkan dengan Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan. Gaya hidup masyarakat yang ditandai dengan pola konsumsi dapat menjadi indikator keberhasilan KPB dari pemerintah. Melalui KPB, pola atau gaya hidup masyarakat berusaha diarahkan seefisien dan seefektif mungkin agar eksploitasi sumber daya alam dapat dikendalikan.

Komunikasi untuk Pembangunan Berkelanjutan?

Tangerang, 22 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Konsep dan praktik Komunikasi telah berubah dari waktu ke waktu. Dalam Komunikasi Pembangunan misalnya, hal ini sejalan dengan pendekatan dan tren pembangunan serta kebutuhan untuk aplikasi yang efektif dari metode komunikasi. Terlebih, dalam dua puluh tahun terakhir, telah muncul salah satu paradigma pembangunan yang cukup menonjol, yaitu Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Sejalan dengan visi Pembangunan Berkelanjutan tersebut, Pemberdayaan Masyarakat (Community Development) sudah lebih dulu populer dan menjadi fitur kunci dalam pendekatan partisipatif. Community Development lebih lanjut, bisa dipahami sebagai metode komunikasi partisipatif dan penggunaan media komunikasi terencana yang memfasilitasi berbagi pengetahuan dan informasi, partisipasi dan perubahan sikap serta praktek yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembangunan yang disepakati semua pemangku kepentingan.
Dalam Community Development, komunikasi adalah tentang dialog, partisipasi dan berbagi pengetahuan dan informasi. Dimana dalam proses komunikasi tersebut memperhitungkan kebutuhan dan kapasitas semua pihak melalui penggunaan terpadu dan partisipatif dari proses komunikasi, media dan saluran.
Pandangan ini sekaligus menanggapi tiga fungsi utama. Pertama, memfasilitasi partisipasi, yaitu memberikan pendapat kepada para pemangku kepentingan yang berbeda untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, menyampaikan informasi yang bisa dimengerti dan bermakna. Ini termasuk menjelaskan dan menyampaikan informasi untuk tujuan pelatihan, pertukaran pengalaman, dan berbagi pengetahuan dan teknologi. Ketiga, membina penerimaan kebijakan: memberlakukan dan mempromosikan kebijakan, terutama ketika ini membawa peluang baru bagi masyarakat pedesaan untuk mengakses layanan dan sumber daya. Dalam kerangka ini, komunikasi dianggap sebagai proses sosial yang tidak terbatas pada media atau pesan, tetapi untuk interaksi mereka dalam jaringan hubungan sosial.
Pendekatan dan metode Community Development dianggap paling tepat untuk digunakan ketika berhadapan dengan isu-isu kompleks Pembangunan Berkelanjutan, seperti untuk: Meningkatkan peluang pengembangan dan memastikan akses yang adil terhadap pengetahuan dan informasi untuk semua sektor masyarakat dan terutama untuk kelompok rentan dan terpinggirkan; Membina manajemen yang efektif dan koordinasi inisiatif pembangunan melalui perencanaan bottom-up; Mempromosikan isu-isu kesetaraan melalui jaringan dan platform sosial mempengaruhi pembuatan kebijakan; Mendorong perubahan perilaku dan gaya hidup mempromosikan pola konsumsi berkelanjutan melalui sensitisasi dan pendidikan khalayak besar; Mempromosikan penggunaan sumber daya alam berkelanjutan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan dan perspektif, dan mendukung manajemen kolaboratif melalui konsultasi dan negosiasi.
Lain itu, Community Development juga digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan mobilisasi masyarakat yang berkaitan dengan isu-isu sosial dan lingkungan; Memastikan peluang ekonomi dan lapangan kerja melalui informasi yang tepat waktu dan memadai; dan Memecahkan beberapa konflik dan memastikan dialog antar komponen yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Jelas dari poin-poin di atas, komunikasi sangat penting untuk mencapai partisipasi dan pemberdayaan, dua elemen kunci dari inisiatif pembangunan berkelanjutan. Komunikasi lebih lanjut, dapat digunakan untuk: pertukaran informasi dan membangun konsensus sekitar isu-isu spesifik; mendukung pencapaian tujuan suatu program dan membantu dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan program tersebut. Hal ini dapat memfasilitasi partisipasi aktif dan sadar dari semua pemangku kepentingan pada saat siklus suatu program (misalnya Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi), mempromosikan keberlanjutan upaya pembangunan.
Meski dalam praktiknya, hambatan komunikasi akan selalu ada. Komunikasi untuk Pembangunan Berkelanjutan telah menghadapi masalah dan tantangan baru dalam dekade terakhir, sebagai konsekuensi dari liberalisasi media, perubahan ekonomi dan sosial yang cepat, dan munculnya teknologi informasi dan komunikasi baru (TIK).

#KomunikasiPembangunan #CommunityDevelopment #KomunikasiLingkungan #CSR #TanggungJawabPerusahaan #KomunikasiPembangunanBerkelanjutan

Menerepong SDGs dalam Bidang Kesehatan

Indonesia harus belajar banyak dari Millenium Development Goals (MDGs). Lebih dari 15 tahun terakhir, delapan tujuan dan 60 target MDGs telah melahirkan perbaikan yang signifikan dalam pembangunan di tingkat nasional, regional dan global. MDGs telah mengajarkan Indonesia untuk memahami dan mengakomodasi multi dimensi yang melekat pada pembangunan. MDGs juga membantu membangun momentum gerakan anti-kemiskinan, yang merupakan salah satu gerakan global sepanjang sejarah.
Tidak berlebihan, jika menyebut MDGs juga sukses dalam membangun momentum untuk peningkatan kepedulian dan gerakan kesehatan balita, anak, remaja dan perempuan, membuat lebih banyak anak perempuan dapat bersekolah, mengentaskan kemiskinan lebih dari satu milyar orang di dunia dan mencegah kematian. Namun demikian, disamping tonggak keberhasilan tersebut, di beberapa daerah, ketidak setaraan dan penghambat pembangunan masih ada.

Sebagai tindak lanjut MDGs, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia akan mengarahkan pada kewajiban-kewajiban untuk melanjutkan dan memperluas keberhasilan MDGs. Mengamati inklusifitas dalam proses penyusunannya, SDGs diharapkan mempu membangun diatas pondasi yang sudah dibuat MDGs. Integrasi antar dimensi yang berbeda dari pembangunan berkelanjutan, tidak hanya terkait pencapaian target, namun juga penting dipastikan upaya bersama di tingkat nasional untuk memasukkan SDGs dalam agenda pembangunan nasional dari perencanaan sampai pelaksanaan.

Namun demikian, hal penting yang perlu diingat adalah SDGs tidak dapat dilaksanakan sendiri, tanpa dukungan semua pihak. Dalam pelaksanaannya diperlukan partisipasi aktif dari banyak pihak, pemerintah, LSM, sektor swasta, akademisi dan media. Implementasi SDGs harus dilaksanakan secara inklusif, sama seperti proses penyusunannya. Ada tiga elemen penting dalam pengarusutamaan pelaksanaannya yaitu kerangka kebijakan, struktur institusi dan keterlibatan masyarakat. Tiga hal tersebut harus senantiasa disinkronkan satu sama lain tandas Menkes.

Kedepan, dokumen SDGs akan diadopsi oleh negara-negara dalam Sidang PBB ke 70 minggu ini dengan judul Transformasi Dunia Kita: Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Di tingkat nasional, Indonesia memiliki Nawa Cita atau 9 agenda prioritas. Seperti SDGs, Nawa Cita juga diprioritaskan kepada yang berisiko tinggi. Kita perlu sadari bersama, bahwa Nawa Cita bisa berfungsi sebagai kendaraan untuk membawa SDGs menjadi nyata. Perencanaan yang terintegrasi di tingkat nasional, tidak hanya melibatkan kementerian teknis, tapi juga melibatkan lembaga perencanaan tingkat nasional sebagai penghubung perencanaan pembangunan nasional.


       

Kenal SDGs Lebih Dekat

Tangerang Selatan, 25 Maret 2016 (Ujang Rusdianto) - Mau tidak mau, Indonesia harus bersiap menjalankan program Sustainability Development Goals (SDGs) dari PBB hingga tahun 2030 nanti. SDGs merupakan kelanjutan dari program Millenium Development Goals (MDGs), juga dari PBB, yang dicanangkan berlaku di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2015. Program ini bercita-cita untuk menghapus kemiskinan di dunia.
Namun berbeda dengan MDGs, program SDGs menaruh perhatian bukan hanya pada pengembangan manusia (human development), tetapi juga pengembangan ekonomi dan lingkungan sebagai bagian dari agendanya. Jika MDGs yang bersifat top-down, SDGs disusun dengan melibatkan negara-negara yang memberlakukan SDGs, baik itu dari pemerintah maupun masyarakat sipil.  Hasil dari pelibatan itu adalah 17 indikator yang mesti dicapai negara pemberlaku SDGs dalam 15 tahun ke depan.
Jika melihat tujuan dari SDGs, sebenarnya ada banyak tujuan dari konsep SDGs. Tetapi ada tiga tujuan penting yang perlu mendapat perhatian kita bersama. Apa saja? Pertama, SDGs diharapkan bisa mengakhiri segala bentuk kemiskinan di semua negara manapun. Kedua, SDGs bertujuan mengakhiri segala bentuk kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi dan mendorong pertanian secara berkelanjutan. Ketiga, target SDGs adalah menjamin adanya kehidupan yang sehat, serta mendorong kesejahteraan untuk semua orang di dunia pada semua usia.

Target utama SDGs adalah mengentaskan kemiskinan. Tapi, Indonesia akan menggunakan tiga indikator terkait dengan dokumen SDGs, yaitu pembangunan manusia atau human development yang meliputi pendidikan dan kesehatan, lingkungan dalam skala kecil atau social economic development dan lingkungan yang besar atau environmental development berupa ketersediaan kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang baik.

Kegunaan dari sebuah Laporan Keberlanjutan, apa saja?

Tangerang Selatan, 19 Maret 2016 - Laporan keberlanjutan adalah praktek pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas dari kinerja organisasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal.
Laporan Keberlanjutan merupakan sebuah istilah umum yang dianggap sinonim dengan istilah lainnya untuk menggambarkan laporan mengenai dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial (misalnya triple bottom line, laporan pertanggungjawaban perusahaan, dan lain sebagainya).
Sebuah laporan keberlanjutan harus menyediakan gambaran yang berimbang dan masuk akal dari kinerja keberlanjutan sebuah organisasi –baik kontribusi yang positif maupun negatif.
Laporan Keberlanjutan yang disusun berdasarkan Kerangka Pelaporan GRI mengungkapkan keluaran dan hasil yang terjadi dalam suatu periode laporan tertentu dalam konteks komitmen organisasi, strategi, dan pendekatan manajemennya. Laporan dapat digunakan untuk tujuan berikut, di antaranya:

Pertama, Patok banding dan pengukuran kinerja keberlanjutan yang menghormati hukum, norma, kode, standar kinerja, dan inisiatif sukarela. Kedua, Menunjukkan bagaimana organisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh harapannya mengenai pembangunan berkelanjutan; dan Ketiga, Membandingkan kinerja dalam sebuah organisasi dan di antara berbagai organisasi dalam waktu tertentu.

Orientasi Kerangka Pelaporan GRI
Semua dokumen berdasarkan Kerangka Pelaporan GRI dikembangkan melalui sebuah proses pencapaian konsensus lewat dialog di antara para pemangku kepentingan yang berasal dari perusahaan, komunitas investor, pekerja, masyarakat sipil, akuntan, akademisi, dan pihak lainnya. Semua dokumen berdasarkan Kerangka Laporan menjadi subjek pengujian dan upaya peningkatan secara terus-menerus.
Kerangka Pelaporan GRI ditujukan sebagai sebuah kerangka yang dapat diterima umum dalam melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial dari organisasi. Kerangka ini didesain untuk digunakan oleh berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya. Kerangka ini juga memperhatikan pertimbangan praktis yang dihadapi oleh berbagai macam organisasi – dari perusahaan kecil sampai kepada perusahaan yang memiliki operasi ekstensif dan tersebar di berbagai lokasi.
Kerangka Pelaporan GRI mengandung kandungan isi umum dan sektor secara spesifik yang telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dan dapat diaplikasikan secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi.
Panduan Laporan Keberlanjutan (Panduan) berisikan Prinsip-prinsip dalam mendefinisikan isi laporan dan menjamin kualitas dari informasi yang dilaporkan. Panduan juga meliputi Standar Pengungkapan yang terdiri atas Indikator Kinerja dan item pengungkapan lainnya sebagaimana halnya panduan akan topik teknis spesifik dalam pelaporan.
Protokol Indikator ada pada setiap Indikator Kinerja yang dimuat dalam Panduan. Protokol ini menyediakan definisi, panduan dalam mengkompilasi informasi, dan informasi lain untuk membantu dalam menyiapkan laporan dan dalam menjamin konsistensi interpretasi terhadap Indikator Kinerja. Pengguna Panduan harus juga menggunakan Protokol Indikator.
Suplemen dalam Setiap Sektor melengkapi Panduan dengan interpretasi dan arahan mengenai bagaimana menerapkan Panduan dalam suatu sektor tertentu, termasuk di dalamnya Indikator Kinerja sektor secara spesifik. Suplemen Sektor yang dapat digunakan harus digunakan sebagai tambahan Panduan daripada ditempatkan dalam Panduan.
Protokol Teknis dibuat dalam rangka menyediakan panduan terhadap isu-isu dalam membuat laporan, seperti menetapkan batasan laporan. Protokol ini didesain untuk digunakan bersama dengan Panduan dan Suplemen Sektor yang mencakup isu-isu yang banyak dihadapi oleh organisasi dalam proses pembuatan laporan (Ujang Rusdianto).

Pembangunan Berkelanjutan dan Pentingnya Transparansi

Tangerang Selatan, 18 Maret 2016 - Sejatinya, tujuan dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai kekuatan penting di dalam masyarakat, organisasi dalam bentuk apa pun, memiliki sebuah peran penting dalam pencapaian tujuan ini.
Salah satu tantangan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah adanya tuntutan akan pilihan-pilihan dan cara berpikir yang baru dan inovatif. Perkembangan pengetahuan dan teknologi dituntut tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat membantu dalam memecahkan permasalahan terkait risiko dan ancaman terhadap keberlanjutan dari hubungan sosial kita, lingkungan, dan perekonomian.
Karenanya, pengetahuan dan inovasi baru dalam teknologi, manajemen dan kebijakan publik, merupakan tantangan bagi segenap organisasi agar dapat membuat pilihan-pilihan baru dalam melaksanakan operasional mereka, produksi, jasa-jasa, dan aktivitas-aktivitas lainnya, yang akan berdampak terhadap bumi, manusia, dan perekonomian.
Penting dan besarnya desakan akan risiko dan ancaman terhadap keberlanjutan kita bersama di samping peningkatan pilihan dan kesempatan, akan membuat transparansi mengenai dampak ekonomi, lingkungan dan sosial menjadi komponen utama bagi efektifnya hubungan dengan pemangku kepentingan, kebijakan investasi dan hubungan pasar lainnya.
Untuk dapat mendukung harapan ini dan juga dalam mengkomunikasikan secara jelas dan terbuka mengenai keberlanjutan, maka diperlukan sebuah kerangka konsep yang global, dengan bahasa yang konsisten dan dapat diukur. Adalah menjadi misi dari Inisiatif Pelaporan Global/Global Reporting Initiative (GRI) untuk memenuhi kebutuhan itu dengan menyediakan sebuah kerangka yang kredibel dan dapat dipercaya dalam melaporkan keberlanjutan yang dapat digunakan oleh berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya.
Transparansi mengenai keberlanjutan dari aktivitas organisasi menjadi perhatian penting dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk perusahaan, pekerja, lembaga swadaya masyarakat, investor, akuntan, dan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan kenapa GRI sangat bergantung pada kerja sama dari sebuah jejaring besar para ahli yang berasal dari berbagai pemangku kepentingan dalam melakukan konsultasi untuk mencapai konsensus.

Melalui konsultasi ini, dan juga pengalaman praktis selama ini telah dapat memperbaiki dan meningkatkan secara terus-menerus Kerangka Pelaporan yang ada sejak didirikannya GRI di tahun 1987 (GRI didirikan pada 1987). Pembelajaran dari pendekatan berbagai pemangku kepentingan ini telah menjadikan Kerangka Pelaporan memiliki kredibilitas yang tersebar dan digunakan oleh berbagai kelompok pemangku kepentingan (Ujang Rusdianto).

Bukan Hanya Laba; Aspek Sosial dan Lingkungan juga Penting

Tangerang Selatan, 17 Maret 2016 - Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP1) atau lebih dikenal sebagai CSR (Corporate Social Responsibility) mulai banyak dibahas sejak dasawarsa terakhir. Banyak perusahaan menganggap etika berbisnis sekedar sebagai pemenuhan standar legal, dan hal itu pun sekedar dari segi administrasi dan kepatuhan terhadap aturan dan peraturan internal. Akan tetapi keadaan sekarang berbeda.
Perhatian terhadap Tanggung Jawab Sosial (TJS) dan etika berbisnis makin besar dan banyak perusahaan mulai sadar bahwa keberhasilan harus dibangun dari penghargaan dan kepercayaan masyarakat. Kini perusahaan diminta, dituntut dan didorong memperbaiki cara berusaha berdasarkan tingkah laku etis dan patuh hukum.
Perusahaan juga dituntut agar peka terhadap kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dalam kegiatan usahanya sedangkan pihak yang berkepentingan adalah mereka yang dipengaruhi atau terkena dampak atau mampu mempengaruhi keputusan dan tindakan perusahaan tersebut.
Kecenderungan ini juga terjadi di Indonesia. Pada pertengahan tahun 2007, pemerintah Indonesia bahkan telah menerbitkan UU baru tentang Perseroan Terbatas yang salah satu pasalnya (Pasal 74, UU No. 40 Tahun 2007) mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumberdaya alam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, termasuk melaporkan program TJS tersebut dalam laporan tahunan. Pasal tersebut menimbulkan debat hangat tentang perlu tidaknya TJS diwajibkan dengan Undang-undang yang sukar ditegakkan mengingat lemahnya penegakan hukum di Indonesia secara umum.
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa TJS tersebut dan bagaimana melaksanakannya? TJS didasarkan pada tiga pilar yang dikenal sebagai 3-P (People, Profit, Planet) atau triple bottom line (ekonomi, ekologi, sosial). Melalui penerapan Tanggung Jawab Sosial, diharapkan agar ketiga segi ini: manusia atau faktor sosial, keuntungan atau faktor ekonomi, dan bumi atau faktor lingkungan, tetap dalam keadaan seimbang; keadaan ideal yang diharapkan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Karena itu Tanggung Jawab Sosial meliputi ketiga faktor ini dan pada dasarnya dimaksudkan untuk: Mengutamakan/m • elindungi kepentingan umum, Menganut kebijakan tidak merugikan pihak lain atau “Do no harm policy”, Melakukan kegiatan secara bertanggung jawab dan bukan sekedar bagibagi uang, dan Melebihi persyaratan yang ditetapkan peraturan perundangan (beyond compliance).

Secara umum TJS dapat dikatakan meliputi cara berusaha yang transparan dengan berbasis pada nilai-nilai etika, kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan dan menghargai serta menghormati orang lain, masyarakat dan lingkungan (Kytle & Ruggie 2005). Meskipun ada banyak definisi berbeda (Dahlsrud 2008), pada umumnya ada kesepakatan bahwa prinsip TJS adalah akuntabilitas; transparansi; patuh terhadap peraturan-perundangan, konvensi dan standar internasional dan menghormati hak asasi manusia (Ujang Rusdianto).

Balada Sungai di Kota Istana

Jakarta, 8 Maret 2016 - Popularitas Sungai Siak yang membelah Riau daratan semakin populer saja. Apalagi dalam kurun waktu beberapa tahun ini. Pemicunya adalah Pemerintah Kabupaten Siak yang baru berumur belasan tahun - pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, membangun jembatan di atas sungai terpanjang di Riau itu dan sungai terdalam di Indonesia.
Bukan jembatannya yang menjadi persoalan, tapi ketinggiannya. Dengan ketinggian 23 meter di atas pasang tertinggi, jembatan tersebut menarik perhatian banyak pihak, dari daerah sampai orang-orang di Ibu Kota Jakarta. Dari rakyat bisa sampai sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Dengan tinggi 23 meter itu, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan tentu berkaitan dengan bisnis.
Namun terlepas dari kontroversi tarik ulur kepentingan di atas, Sungai Siak memang sudah sangat menderita. Dan alasan ini pula yang diusung oleh Pemkab Siak untuk hanya membangun jembatan setinggi 23 meter. Dengan demikian tidak semua ukuran kapal yang leluasa melintasi batang air yang dalam tersebut. Sehingga hempasan air yang berpuluh tahun menggerogoti tanah di pinggiran sungai (proses abrasi) bisa diminimalisir.
Bisa dimaklumi, saban hari, Sungai Siak menjadi aluran pelayaran yang ramai untuk angkutan barang maupun orang. Kapal yang melintasinya juga berukuran besar yang menyuplai keperluan maupun mengeluarkan berbagai produk dari banyak perusahaan di sepanjang sungai. Sehingga pergerakan kapal-kapal menimbulkan gelombang lumayan deras dan menggerus tanah bibir sungai.
Sesepuh lingkungan Indonesia, Prof Dr Emil Salim, juga tertarik ke pusaran Sungai Siak. Emil Salim berpendapat perlu segera dilakukan konservasi terhadap Sungai Siak sehingga fisik sungai dan biota yang ada dapat diselamatkan. Menurutnya, pemerintah kabupaten dan provinsi harus membuat aturan tentang tata ruang Sungai Siak, karena saat ini belum ada tata ruangnya sebagai daerah konservasi. Persoalannya, mengapa ketika Pemkab Siak ingin membangun jembatan dengan ketinggian tertentu itu mendapat halangan dari sejumlah pihak, tentunya harus dicarikan solusi terbaik.
Menteri Lingkungan Hidup RI, Rahmad Witoelar juga pernah menyempatkan diri melihat Sungai Siak di Desa Okura Raso Sakti, Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru. Malah sempat berkomentar dengan nada kaget karena abrasi sungai yang sudah menelan lebih kurang 20-30 meter daratan. “Wah, kalau seperti ini kondisinya, memang sudah terjadi abrasi yang sangat berat,” gumannya sambil mengamati tepian sungai yang runtuh hingga nyaris ke rumah penduduk.
Kondisi banyak sungai di negeri memang tidak lagi baik. Selain karena hantaman alami juga karena ulah manusianya. Sungai mana di Sumatera ini yang kualitasnya tidak mengalami penurunan? Bisa dikatakan semuanya mengalami penurunan kualitas baik fisik maupun airnya. Kerusakan kualitas tersebut bisa karena masuknya berbagai jenis limbah ke perairan ataupun sebab alami seperti abrasi, sedimentasi dan ulah perusakan fisiknya oleh manusia: 
Publikasi Kementerian Lingkungan Hidup menyebut, di Sumatera sering terjadi pencemaran terhadap sungai-sungainya. Namun jika itu terjadi semua disibukkan dengan urusan mencari siapa yang berwenang. Di samping itu, banyak kebijakan yang dilakukan birokrasi bersifat reaktif alias baru ditangani jika telah terjadi pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan. Sudah seharunya pemerintah mampu bersikap preventif bukan reaktif. 
Kalau kita bicara soal pengelolaan lingkungan selama ini dianggap menghalangi pembangunan, adanya regulasi dan pengawasan yang ketat tentu tujuannya bukan menghalangi, tetapi untuk pembangunan yang keberlanjutan. Pembangunan itu bertujuan menyejahterakan masyarakat. Bisa dibayangkan, bagaimana enaknya jika memiliki pemimpin yang berwawasan lingkungan. Tapi kapan?
Selain faktor pemimpin, diperlukan membangun data lingkungan. Misalnya berapa banyak industri di sebuah daerah dengan data ditelnya. Dari berapa jumlah dan bahan apa saja yang dipakai untuk sebuah produksi inaka dari situ bisa dihitung berapa kadar limbah dan seberapa besar kapasitas fasilitas pengolahan limbah sebuah industri itu bekerja. Dari situ nanti bisa diketahui berapa banyak kadar limbah yang masuk ke parairan.
Memang sekilas semua itu memerlukan biaya tinggi dan kesediaan perusahaan. Tapi akan lebih parah lagi jika pengelolaan lingkungan tidak dilakukan sejak sekarang. Karena penanganan akan dampaknya akan lebih mahal dan rumit lagi. Belum lagi waktu pemulihan lingkungan yang memerlukan waktu lama.
Selain itu, diperlukan pula keterpaduan semua pihak baik lintas sektoral maupun lintas batas administratif birokrasi. Dengan kata lain, pencemaran sungai misalnya, tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu daerah karena sungai juga melintasi banyak kota/kabupatan. 

Mengintip Duet Program CSR Unilver

Jakarta, 6 Maret 2016 - Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam boleh jadi merupakan program Corporate Social Responsility (CSR) andalan Unilever Indonesia. Melalui Yayasan Unilever Indonesia, Unilever Indonesia melaksanakan program pengembangan komunitas petani kedelai hitam sejak tahun 2001.
Menyadari bahwa perempuan memiliki potensi untuk mendorong kemajuan masyarakat, Unilever pun merilis Program Pemberdayaan Perempuan Saraswati sejak tahun 2006 untuk memperkuat Program Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam. Dengan demikian, kedua program tersebut dapat memberikan perbaikan taraf hidup keluarga petani secara menyeluruh.
Program tersebut, seperti terbentuk atas dasar kesadaran Unilever bahwa operasi bisnisnya memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan para petani yang terlibat di dalam rantai produksi, salah satunya produksi Kecap Bango.
Seperti di ketahui, salah satu pilar Unilever Sustainable Living Plan (USLP) adalah untuk meningkatkan penghidupan masyarakat. Program ini bisa disebut istimewa, karena program ini bukan saja mengembangkan petani kedelai hitam, melainkan turut menggandeng dan memberdayakan ribuan perempuan. Mulai dari buruh tani, istri petani, dan kelompok sortasi kedelai hitam yang terlibat dalam kegiatan pemilahan kedelai hitam fase paska panen.
Inisiatif itu bermula ketika Yayasan Unilever Indonesia menjalankan program  pengembangan petani kedelai hitam di tahun 2001 untuk menghasilkan kedelai hitam bermutu tinggi kultiver Malika. Program tersebut dilakukan melalui kemitraan dengan tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada.
Program pembinaan petani kedelai hitam dilakukan dengan penyediaan benih unggul, bantuan akses keuangan, teknik penanaman dengan prinsip pertanian berkelanjutan, pendampingan teknis di lapangan, serta jaminan pasar yang pasti bagi hasil panenan mereka.
Hasilnya, kesuksesan Malika tidak hanya membawa dampak positif bagi kehidupan para petani. Namun, juga telah membuka kesempatan bagi para ibu untuk berkembang dan tidak terbatas pada urusan domestik.
Memberdayakan perempuan seperti yang dilakoni Unilever bisa menjadi contoh bagi perusahaan lain. Karena dapat membawa kebaikan bagi komunitas secara keseluruhan untuk makin mengukuhkan pemberdayaan komunitas petani.
Namun yang tidak bisa dikesampingkan, bagaimana perusahaan juga mampu menggandeng mitra-mitra lokal dan upaya melakukan pengembangan program, tidak hanya mengembangkan Ekonomi dan Sosial tetapi juga turut mendukung pengembangan diri penerima manfaat dan Pengembangan Organisasi seperti dengan mendorong terbentuknya Kelompok Usaha Bersama (KUB), Lembaga Keuangan Perempuan (LKP), atau Kelompok Wanita Tani (KWT). Lebih jauh, Obyektifnya diarahkan untuk menciptakan inclusive business model untuk memperkuat UKM dari para kelompok perempuan tersebut.

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538