Balada Sungai di Kota Istana

Jakarta, 8 Maret 2016 - Popularitas Sungai Siak yang membelah Riau daratan semakin populer saja. Apalagi dalam kurun waktu beberapa tahun ini. Pemicunya adalah Pemerintah Kabupaten Siak yang baru berumur belasan tahun - pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, membangun jembatan di atas sungai terpanjang di Riau itu dan sungai terdalam di Indonesia.
Bukan jembatannya yang menjadi persoalan, tapi ketinggiannya. Dengan ketinggian 23 meter di atas pasang tertinggi, jembatan tersebut menarik perhatian banyak pihak, dari daerah sampai orang-orang di Ibu Kota Jakarta. Dari rakyat bisa sampai sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Dengan tinggi 23 meter itu, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan tentu berkaitan dengan bisnis.
Namun terlepas dari kontroversi tarik ulur kepentingan di atas, Sungai Siak memang sudah sangat menderita. Dan alasan ini pula yang diusung oleh Pemkab Siak untuk hanya membangun jembatan setinggi 23 meter. Dengan demikian tidak semua ukuran kapal yang leluasa melintasi batang air yang dalam tersebut. Sehingga hempasan air yang berpuluh tahun menggerogoti tanah di pinggiran sungai (proses abrasi) bisa diminimalisir.
Bisa dimaklumi, saban hari, Sungai Siak menjadi aluran pelayaran yang ramai untuk angkutan barang maupun orang. Kapal yang melintasinya juga berukuran besar yang menyuplai keperluan maupun mengeluarkan berbagai produk dari banyak perusahaan di sepanjang sungai. Sehingga pergerakan kapal-kapal menimbulkan gelombang lumayan deras dan menggerus tanah bibir sungai.
Sesepuh lingkungan Indonesia, Prof Dr Emil Salim, juga tertarik ke pusaran Sungai Siak. Emil Salim berpendapat perlu segera dilakukan konservasi terhadap Sungai Siak sehingga fisik sungai dan biota yang ada dapat diselamatkan. Menurutnya, pemerintah kabupaten dan provinsi harus membuat aturan tentang tata ruang Sungai Siak, karena saat ini belum ada tata ruangnya sebagai daerah konservasi. Persoalannya, mengapa ketika Pemkab Siak ingin membangun jembatan dengan ketinggian tertentu itu mendapat halangan dari sejumlah pihak, tentunya harus dicarikan solusi terbaik.
Menteri Lingkungan Hidup RI, Rahmad Witoelar juga pernah menyempatkan diri melihat Sungai Siak di Desa Okura Raso Sakti, Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru. Malah sempat berkomentar dengan nada kaget karena abrasi sungai yang sudah menelan lebih kurang 20-30 meter daratan. “Wah, kalau seperti ini kondisinya, memang sudah terjadi abrasi yang sangat berat,” gumannya sambil mengamati tepian sungai yang runtuh hingga nyaris ke rumah penduduk.
Kondisi banyak sungai di negeri memang tidak lagi baik. Selain karena hantaman alami juga karena ulah manusianya. Sungai mana di Sumatera ini yang kualitasnya tidak mengalami penurunan? Bisa dikatakan semuanya mengalami penurunan kualitas baik fisik maupun airnya. Kerusakan kualitas tersebut bisa karena masuknya berbagai jenis limbah ke perairan ataupun sebab alami seperti abrasi, sedimentasi dan ulah perusakan fisiknya oleh manusia: 
Publikasi Kementerian Lingkungan Hidup menyebut, di Sumatera sering terjadi pencemaran terhadap sungai-sungainya. Namun jika itu terjadi semua disibukkan dengan urusan mencari siapa yang berwenang. Di samping itu, banyak kebijakan yang dilakukan birokrasi bersifat reaktif alias baru ditangani jika telah terjadi pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan. Sudah seharunya pemerintah mampu bersikap preventif bukan reaktif. 
Kalau kita bicara soal pengelolaan lingkungan selama ini dianggap menghalangi pembangunan, adanya regulasi dan pengawasan yang ketat tentu tujuannya bukan menghalangi, tetapi untuk pembangunan yang keberlanjutan. Pembangunan itu bertujuan menyejahterakan masyarakat. Bisa dibayangkan, bagaimana enaknya jika memiliki pemimpin yang berwawasan lingkungan. Tapi kapan?
Selain faktor pemimpin, diperlukan membangun data lingkungan. Misalnya berapa banyak industri di sebuah daerah dengan data ditelnya. Dari berapa jumlah dan bahan apa saja yang dipakai untuk sebuah produksi inaka dari situ bisa dihitung berapa kadar limbah dan seberapa besar kapasitas fasilitas pengolahan limbah sebuah industri itu bekerja. Dari situ nanti bisa diketahui berapa banyak kadar limbah yang masuk ke parairan.
Memang sekilas semua itu memerlukan biaya tinggi dan kesediaan perusahaan. Tapi akan lebih parah lagi jika pengelolaan lingkungan tidak dilakukan sejak sekarang. Karena penanganan akan dampaknya akan lebih mahal dan rumit lagi. Belum lagi waktu pemulihan lingkungan yang memerlukan waktu lama.
Selain itu, diperlukan pula keterpaduan semua pihak baik lintas sektoral maupun lintas batas administratif birokrasi. Dengan kata lain, pencemaran sungai misalnya, tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu daerah karena sungai juga melintasi banyak kota/kabupatan. 

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538