Resensi Buku : Cyber CSR

Jakarta, 19 Februari 2014 - Komunikasi antara perusahaan dan stakeholder adalah suatu proses penting untuk meningkatkan hubungan dengan stakeholder. Salah satu media yang dapat digunakan perusahaan adalah melalui media internet, seperti website dan situs jejaring sosial. Komunikasi bermedia Internet, merupakan konsep dan area studi yang relatif baru dan belum banyak tersentuh. Beberapa eksplorasi tentang media Internet memberikan kontribussi pada terminologi komunikasi bermedia Internet atau yang lebih popular di sebut komunikasi virtual.


Internet merupakan media interaktif yang memberikan peluang bagi terjadinya interaksi antara perusahaan dengan stakeholder dalam memperbincangkan berbagai isu-isu tertentu. Dengan adanya interaksi ini, perusahaan dapat melanjutkan hubungan lebih intens dengan para stakeholder. Dengan cara ini dapat membantu perusahaan menentukan kebijakan yang tepat bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan aktivitas CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan.

Menariknya, saat ini jika perusahaan tidak memiliki website dan memanfaatkan situs jejaring sosial (seperti blog, facebook dan twitter) justru akan dianggap aneh. Pasalnya, dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat, media online ini adalah tempat pertama yang dikunjungi publik jika ingin mengetahui lebih jauh tentang suatu perusahaan. Tapi bagaimana mengkomunikasikan CSR melalui media sosial tersebut?

Buku ini memberikan uraian singkat namun padat terkait upaya yang dapat dilakukan Cyber PR (Public Relations) untuk mengkomunikasikan CSR di Indonesia berikut teknik dan strategi pemanfaatan media sosial dalam konteks komunikasi CSR. Secara khusus, buku ini memberi panduan bagaimana membangun konten di kanal CSR pada website dan CSR campaign di media sosial.

Bagaimanapun, komunikasi adalah proses terpenting dalam kegiatan PR, terlebih lagi dengan adanya berkembangnya internet yang menawarkan berbagai variasi media komunikasi, dan tidak hanya itu, pengguna internet di seluruh dunia setiap hari terus mengalami peningkatan, maka hal ini juga memiliki nilai efektifitas yang tinggi. Oleh karena itu, setiap bentuk kegiatan PR juga semakin membutuhkan satu atau lebih unsur teknologi informasi. Selamat membaca.

Dari Cyber PR, Menuju CSR

Jakarta, 19 September 2014 - Sekarang ini, bila kita mendengar istilah CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan mungkin sudah tidak asing lagi. Dalam banyak bentuk, sebagian perusahaan di Indonesia telah memberikan kontribusi positifnya pada masyarakat dan lingkungan sekitar melalui CSR. 

Konsep CSR didasarkan pada tiga pilar yang dikenal sebagai 3-P (People, Profit, Planet) atau triple bottom line (ekonomi, ekologi, sosial). Melalui penerapan CSR, diharapkan agar ketiga segi ini: manusia atau faktor sosial, keuntungan atau faktor ekonomi, dan bumi atau faktor lingkungan, tetap dalam keadaan seimbang; keadaan ideal yang diharapkan mendukung pembangunan berkelanjutan.
CSR yang saat ini menjadi isu penting dalam pembangunan secara berkelanjutan, juga dapat memanfaatkan kekuatan media internet. CSR sebagai kegiatan bersama antara perusahaan, masyarakat, juga pemerintah, dan stakeholder lainnya seringkali perlu di komunikasikan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Media untuk mengkomunikasikan semua gagasan, ide, pesan, kebijakan, dan aktivitas CSR, selain melalui media konvensional, dapat juga menggunakan media online. Tujuannya untuk dapat membentuk pendapat, sikap dan perilaku stakeholder untuk berubah sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Selain itu, penggunaan media on line juga dapat mempengaruhi agenda media konvensional dan gate keeper dari media massa.
Tentu saja, pengenalan dan pengembangan konsep Cyber PR, yang utamanya seperti menjadi pembahasan dalam buku ini – karya Ujang Rusdianto, perlu dilakukan di Indonesia. Harus kita akui, selama ini perkembangan komunikasi CSR di Indonesia kurang mengoptimalkan kekuatan cyber media. Dengan cyber media, komunikasi yang dilakukan sifatnya konstan selama 24 jam, responnya cepat, khalayaknya global, dapat dilakukan komunikasi dua arah, dan dengan biaya yang murah.
Cyber CSR sebagai salah satu media yang membantu komunikasi CSR, diharapkan dapat menjangkau lebih banyak penerima pesan komunikasi untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, sikap dan perilakunya. Untuk itu pengelola cyber media untuk kegiatan CSR bukan hanya mengupdate informasi, namun juga mengatasi respon stakeholder. Dengan demikian, pemanfaatan media dapat berjalan optimal. Selamat membaca.

Dr. Prima Mulyasari, M.Si
Executive Director Cesri
Konsultan/Trainer/Dosen Pascasarjana Komunikasi

Komunikasi CSR: Dikenal tapi Tak Banyak Dikaji

Jakarta, 18 September 2014 (Ujang Rusdianto) - Sadar atau tidak, saat ini kita telah memasuki dunia teknologi komunikasi modern. Semakin majunya teknologi, berdampak positif pada perkembangan media komunikasi yang beragam. Media-media komunikasi semakin maju, dan mampu memberikan pelayanan dan fungsi-fungsi yang lebih efektif dan efisien dalam berkomunikasi. Salah satu media yang mampu melakukan hal ini adalah komputer. Melalui komputer, gadget dan lainnya, kini setiap individu dapat dengan mudah mengakses internet.  
 
Komunikasi melalui internet telah menjadi topik penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Isaksson & Jørgensen (2010) misalnya, telah menyelidiki bagaimana organisasi berkomunikasi melalui website. Solis & Breakenridge (2009) melihat bagaimana media sosial merubah cara Public Relations dalam menjalin hubungan dengan pelanggan. Redish (2007) menyelidiki fitur linguistik dan bagaimana menulis konten website yang efektif. Kelleher & Miller (2006) meneliti website organisasi dan strategi relasional. Lain itu, Pollach (2005) lebih dulu telah meneliti bagaimana organisasi menampilkan diri dalam dunia maya dan strategi yang diterapkan untuk meningkatkan kredibilitas dan utilitas. Benang merah dari beberapa penelitian tersebut, para peneliti memfokuskan penelitian pada hubungan antara organisasi dan stakeholder melalui internet.
Perkembangan teknologi memiliki peran yang besar dalam dunia sosial manusia. Hal ini dikarenakan, komunikasi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Melalui komunikasi, manusia membangun interaksi dengan manusia lain. Namun yang menarik, dalam kajian komunikasi kesenjangan yang paling utama adalah belum adanya kepastian tentang status internet dalam konteks sebagai media komunikasi. Banyak yang mempertanyakan status internet sebagai media komunikasi interpersonal ataukah media massa – umumnya memasukkan internet sebagai media massa bentuk baru.
Sayangnya, belum banyak yang melakukan riset internet dari sudut pandang ilmu komunikasi, khususnya di Indonesia. Publikasi tentang website misalnya, masih banyak membahas tentang hardware dan software yang merupakan hasil kajian para peminat studi Teknologi Komunikasi dan Informatika (TIK). Selangkah lebih maju, ditunjukkan publikasi yang mengkaji media sosial, tetapi topiknya belum variatif – umumnya hanya sebagai media komunikasi pemasaran. Kondisi ini kadang menimbulkan pertanyaan penulis, lalu dimana letak “sosial” dari media ini?
Senada dengan itu, kajian CSR di Indonesia umumnya juga masih dilakukan oleh peminat studi Kesejahteraan Rakyat, Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Hukum dan Akuntansi. Terbukti dengan banyaknya publikasi terkait topik tersebut di Indonesia. Sama halnya dengan website, CSR dalam kaitannya dengan studi Ilmu Komunikasi masih sedikit dikaji – bila tidak ingin dikatakan tidak ada di Indonesia. Padahal, CSR dalam studi komunikasi perusahaan (Corporate Communication)  telah menjadi pembahasan mendalam, sebagai sub-bab, seperti yang terdapat dalam publikasi Joep Cornelissen (2004) dan Paul A. Argenti (2009).
Perkembangan komunikasi CSR di Indonesia lebih lanjut, dapat dikatakan senasib dengan investor relations (hubungan inverstor) – dikenal tapi tidak banyak dikaji. Mengapa demikian? Bila dibandingkan dengan sub fungsi Corporate Communication lainnya, kedua sub fungsi Corporate Communication ini kalah popular dengan Media Relations, Internal Relations, atau Crisis Management. Pepatah lama “tak kenal maka tak sayang” nampaknya pas untuk menggambarkan kondisi ini.
Inilah yang kemudian menarik penulis menerbitkan buku sebelumnya, “CSR Communication: A framework for PR Practioners” pada tahun 2013. Dalam buku yang sedang Anda pegang ini, lebih spesifik membahas komunikasi CSR di media on-line. Dengan demikian, buku ini penulis harapkan dapat menambah khasanah internet sebagai media komunikasi – khususnya sebagai media untuk mengkomunikasikan CSR. Bagaimanapun, Internet secara umum, website dan social media secara khusus, ternyata bukan sekedar menjadi alternatif media komunikasi saja, tetapi ikut membentuk pola-pola komunikasi CSR. Bentuk komunikasi baru ini akan dikaji lebih jauh dalam buku ini.

Ujang Rusdianto, S.I.Kom, M.IKom
Penulis Cyber CSR
Konsultan Komunikasi CSR/Trainer/Dosen Komunikasi

Optimalisasi ICT dalam Komunikasi CSR

Jakarta, 18 September 2014 - Perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) atau lazim disebut sebagai Informations communication technologie (ICT) saat ini telah melampaui masa konvergensi (perpaduan berbagai teknologi kedalam satu teknologi cangih) yang semakin cepat, portable, nirmassa dan easy use.

Perkembangan ICT memiliki konsekuesni yang dapat dipredksi dan diinginkan sehingga memberikan andil kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk di dalamnya dalam pola manajemen perusahaan serta aspek-aspek yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan perusahaan.
Ketika teknologi internet mulai booming dan web menjadi salah satu fasilitas yang populer untuk digunakan dalam penyampaian informasi kepada publik, maka kepememilikan web dalam suatu perusahaan memberikan andil menaikkan “gengsi” citra perusahaan sebagai perusahaan modern dan bersifat global. Pada saat yang bersamaan popularitas e-mail menghilangkan korespondensi konvensional dalam perusahaan baik secara internal maupun eksternal sehingga terjadi efisiensi dalam waktu korespondensi serta pengurangan budgeting ongkos korespondensi yang juga menampilkan citra global.
Konsekuensi penggunaan web dalam perusahaan tidak berhenti hanya pada penyampaian informasi kepada publik saja tetapi pada akhirnya memunculkan konsep-konsep baru dalam aplikasinya. Yang paling populer dan menjadi euforia pada tahun 2006 adalah munculnya istilah e-PR (electronic Public Relations) atau kemudian juga disebut sebagai cyber PR. Meskipun beberapa pakar PR lebih memandang cyber PR sebagai media dalam penyebarluasan PR konvensional namun pada akhirnya cyber PR menunjukkan eksistensi lebih daripada hal tersebut.
Pembahasan cyber PR memang telah menjadi buzzword dikalangan akademisi maupun praktisi PR, namun belum mencapai kepada detail pemanfaatannya dalam berbagai aspek program PR. Salah satu aspek PR yang belum banyak diungkapkan adalah bagaimana memanfaatkan ICT untuk keperluan Corporate Social Responsibilty (CSR) perusahaan.
Buku Cyber CSR ini mampu mengisi kekurangan dari berbagai diskusi, seminar, dan artikel pemanfaatan ICT dalam rangka pelaksanaan program CSR perusahaan. Uraian yang detail pemanfaatan ICT dalam kerangka pelaksanaan CSR pada buku ini dapat membantu para praktisi PR untuk mengaplikasikan ICT dalam pemenuhan pelaksanaan program CSR pada perusahaan mereka. Apresiasi lain yang bisa diberikan dari buku ini juga memberikan landasan pemanfaatan ICT dalam aktivitas PR serta dampak positif penggunaan ICT dalam ranah PR secara umum dan CSR secara khusus yang saya yakin belum terpikirkan oleh banyak praktisi PR.
Kemanfaatan dari buku ini bukan hanya untuk mereka para praktisi PR namun juga dapat digunakan sebagai buku referensi para mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relations karena masih langkanya buku referensi yang mengkaji sudut pandang CSR dengan memanfaatkan ICT. Pada sisi yang lain buku ini juga dapat digunakan oleh para praktisi di bidang Informations Technologie (IT) sebagai stimulus ide dan gambaran dalam pembuatan program software yang mensupport dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas CSR di perusahaan.

Edwi Arief Sosiawan

Akademisi Psikologi Komunikasi dan ICT
di berbagai PTN dan PTS di Yogyakarta

 

Mari Membaca, Lagi dan Lagi

Jakarta, 14 September 2014 (Ujang Rusdianto) - Membaca  merupakan  suatu  aktivitas  yang sangat  jamak dilakukan  oleh  siapa  pun,  di mana  pun,  dan  kapan  pun,  serta  tujuan  melakukan  aktivitas  membaca  pun  sangat bervariatif, walaupun bisa dikatakan secara sederhana bahwa tujuan umum membaca adalah  untuk  memperoleh  pengetahuan  sebanyak-banyaknya  di  samping  juga  untuk mencari hiburan semata. 

Membaca  merupakan  kemampuan  yang  kompleks.  Bermacam-macam  kemampuan dikerahkan oleh seorang pembaca agar dia mampu memahami materi yang dibacanya. Membaca  merupakan  interaksi  antara  pembaca  dan  penulis.  Interaksi  tersebut  tidak langsung,  namun  bersifat  komunikatif.  Komunikasi  antara  pembaca  dan  penulis  akan semakin  baik  jika  pembaca  mempunyai  kemampuan  yang  lebih  baik.
Kemajuan peradaban  suatu  bangsa  tidak  terlepas  dari  proses  belajar  yang  berkesinambungan. Proses  belajar  tersebut  didasari  oleh  minat  baca  yang  tinggi  dan  kemampuan  dalam memahami ilmu pengetahuan dan informasi. Dalam rangka menumbuhkan  minat  membaca  sebagai  suatu  kebiasaan,  maka  proses terbentuknya  kebiasaan  membaca  memakan  waktu  yang  cukup  lama,  karena  proses terbentuknya  minat  baca  seseorang  selain  dipengaruhi  oleh  faktor-faktor  yang  telah  disebutkan diatas, juga secara khusus dipengaruhi oleh sosio-psikologis.
Informasi yang mendukung dalam belajar adalah berupa bahan-bahan yang tertulis yang mengharuskan kegiatan membaca sehingga apa yang dibutuhkan dapat tercapai. Sebagai sarana  membaca,  perpustakaan  merupakan  sumber  informasi  dan  pengetahuan  yang mengantar  pemustaka  ke  dunia  yang  lebih  luas,  sebagai  media  yang  dapat menghubungkan segala peristiwa pada masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Keberadaan  perpustakaan  sangat  diperlukan  karena  perpustakaan  dapat  memberikan segala  kebutuhan  akan  minat,  khususnya  minat  dalam  membaca  koleksi-koleksi perpustakaan.
 
Perubahan Main Set Tentang Membaca
Main set masyarakat Indonesia cenderung memilih sesuatu yang visual daripada tulisan. Semakin  banyak  buku  yang  dibaca,  semakin  banyak  info  dan  wawasan  baru  yang diserap.  Banyak  orang  pintar  dan  cerdas  disebabkan  dari  rajin  membaca.  Membaca dapat  membuat  pikiran  seseorang  menjadi  lebih  dewasa.  Dewasa  yang  berarti memandang  permasalahan  sebagai  tantangan  untuk  maju dan  menjadi  lebih  baik  ke depannya.  Dengan  membaca  membuat  pemikiran  semakin  matang  dan  tidak memandang permasalahan dari satu sisi tetapi dari berbagai sudut pandang.
Hal inilah menjadikan  seseorang  arif  dan  bijaksana  dalam  menyikapi  kehidupan. Orang  yang gemar  membaca  memiliki  segudang  wawasan  yang  enak  uintuk  dijadikan  bahan pembicaraan.  Selain  itu  mereka  juga  dapat  membantu  kita  menyelesaikan  masalah karena dengan membaca mereka belajar mengenal puluhan bahkan ribuan karakter yang berbeda dan memiliki solusi terbaik.
Selamat membaca, selamat hari Kunjung Perpustakaan (14 September).

Transmigrasi dan Wacana Perubahan Kebijakan

Jakarta, 14 September 2014 (Ujang Rusdianto) - Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amanat konstitusi, hingga kini pemerintah masih berkepentingan untuk menempatkan transmigrasi sebagai satu model pembangunan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan pembangunan guna mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. 

Transmigrasi juga relevan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia (human rights), yaitu perlindungan negara atas hak-hak warga (negara) untuk berpindah dan menetap di dalam batas-batas wilayah negara-bangsanya. Oleh karena itu, Pemerintah harus tetap memberikan imperatif dan dukungan kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten-kota untuk menyelenggarakan transmigrasi, sepanjang tersedia sumber-sumber daya yang mendukungnya.
Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang selama bertahun-tahun berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan baru berupa penerapan asas desentralisasi dan otonomi, sehingga mengharuskan dilakukan perubahan baik pada tataran kebijakan maupun implementasi.
Sebagai implikasi dari sistem pemerintahan yang sentralistik, kebijakan transmigrasi berciri terpusat dengan pendekatan perencanaan top-down dan standar. Setelah reformasi bergulir, kebijakan yang berciri sentralistik dan top-down menjadi tidak relevan, dan karena itu diperlukan perubahan sesuai asas otonomi dan desentralisasi.
Namun demikian, dalam era reformasi pemikiran ke arah perubahan kebijakan masih berupa wacana, atau paradigma yang belum diikuti oleh perubahan perangkat legalnya. Implementasi UU No. 22/1999 yang telah berimplikasi pada perubahan tata pemerintahan dan struktur birokrasi, belum serta-merta diikuti oleh perubahan perangkat kebijakan makro dan berbagai instrumen legal pendukungnya.  
Pertama, transmigrasi harus menjadi bagian integral dari pembangunan daerah dan sepenuhnya dilaksanakan sesuai karakteristik dan kondisi spesifik daerah. Kedua, menguatnya artikulasi politis masyarakat lokal sebagai dampak langsung proses demokratisasi, mengharuskan implementasi transmigrasi berwawasan kultural.

Kebijakan Eksklusifisme, Sentralistik, dan Standar
Kebijakan pembinaan masyarakat transmigrasi yang sentralistik dan standar telah berimplikasi pada kuatnya budaya pendatang, sementara budaya lokal nyaris tidak berkembang. Akibatnya terjadi penegasian budaya setempat dan rusaknya perkembangan kultural masyarakat setempat. Pembinaan transmigrasi juga cenderung bias pendatang. Berbagai bantuan hanya diberikan kepada masyarakat di dalam UPT, sementara penduduk sekitar yang tidak kalah miskin kurang memperoleh perhatian. Hal ini mengakibatkan perkembangan UPT lebih cepat dibanding desa-desa sekitar sehingga menimbulkan kecemburuan yang rentan terhadap konflik.
Kebijakan perencanaan kawasan transmigrasi yang berciri sepihak, dengan kurang (tidak) melibatkan masyarakat sekitar telah berimplikasi pada sikap dan apatisme masyarakat lokal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh sikap dan pandangan jajaran birokrat yang memposisikan diri sebagai penentu segalanya. Kebijakan ini berimplikasi pada munculnya lokasi-lokasi yang tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan permukiman (desa) sekitar.
Kebijakan Berorientasi Target Penempatan Kebijakan pengerahan yang kurang memperhitungkan kualitas transmigran, telah berimplikasi pada ketidak-sesuaian kondisi transmigran. Transmigran yang didatangkan pada suatu lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah dan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, baik menyangkut kultur budaya dan tradisinya maupun kompetensi keahlian dan ketrampilannya. Hal ini bersumber dari orientasi target pemindahan, sistem rekruitmen yang tidak didasarkan kompetensi dan aspirasi masyarakat lokal, dan pendekatan supply dalam penempatan.

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538