Mencari Format Ideal CSR?

Mencari format CSR yang ideal membutuhkan waktu yang cukup lama serta ketercukupan dana. Penyebabnya adalah kondisi masyarakat di Indonesia yang heterogen dengan permasalahan yang amat kompleks. Faktor internal masyarakat, seperti kecemburuan sosial, ras, dan ketidakadilan ekonomi dapat menjadi pemicu konflik jika CSR dilaksanakan tanpa survei atau berdiskusi dengan masyarakat itu sendiri. Untuk menekan hal-hal semacam itulah maka CSR harus dilakukan dengan beragam model.
Untuk melaksanakan CSR, setidaknya terdapat empat model yang diterapkan perusahaan (Saidi dan Abidin, 2004 : 64-65). Keempat model tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, keterlibatan langsung. Dalam hal ini perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan kepada masyarakat tanpa perantara. Pelaksanaan model ini biasanya perusahaan memiliki satu bidang tersendiri yang bertanggung jawab langsung ke pimpinan perusahaan atau bisa juga digabung dengan bidang lain yang bertanggung jawab dalam kegiatan sosial perusahaan, termasuk CSR.
Kedua, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan dalam hal ini mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.
Ketiga, bermitra dengan pihak lain. Dalam hal ini perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan pihak lain, seperti lembaga sosial, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
Keempat, mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan dalam hal ini turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”.
Perusahaan sebagai sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak bisa berdiri sendiri. Dari berbagai pengalaman program tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia serta di berbagai belahan dunia lain, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa kemitraan multiaktor merupakan pilihan yang paling baik, walaupun ini juga bukan merupakan panacea, obat ampuh untuk seluruh penyakit.

Tiga Indikator Capaian CSR
Lain itu, model apa pun yang akan digunakan merupakan pilihan dari pimpinan dan manajemen perusahaan itu sendiri. Intinya adalah program CSR yang dilakukan wajib memenuhi tiga indikator capaian, sebagaimana diungkapkan Roby Cahyadi dalam sebuah artikel (2012), yakni keuntungan bagi perusahaan, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan.
Indikator pertama, keuntungan perusahaan, memiliki arti bahwa program CSR itu sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Jika CSR dipandang sebagai investasi masa depan, perusahaan akan mendapatkan manfaatnya di tahun-tahun mendatang. Setidaknya citra baik masyarakat akan memperpanjang umur perusahaan dan produk mereka akan diterima dengan baik.
Indikator kedua, kesejahteraan masyarakat, diukur dengan capaian program CSR itu dapat mengubah masyarakat. Misalnya, mengubah masyarakat miskin menjadi tidak miskin atau setidaknya meningkatkan taraf hidup mereka. Capaian sejahtera dalam program CSR tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi, juga sisi sosial.
Indikator ketiga, kelestarian lingkungan. Program CSR tentu melihat lingkungan dan alam sekitar sebagai ekosistem yang patut dijaga kelestariannya. Program kebersihan lingkungan, penghijauan, serta penanaman pohon guna menjaga ketersediaan air dan kualitas udara. Skala produksi, misalnya, diawali dengan peningkatan kualitas produk yang ramah lingkungan, analisis dampak lingkungan terhadap sampah atau sisa produksi serta lingkungan pabrik yang nyaman dan aman terhadap keberlangsungan makhluk hidup. Semua itu perlu mendapat dukungan akademisi dan para ahli.
Baca selengkapnya dalam “CSR Communication: A Framework for PR Practitioners; Ujang Rusdianto, Graha Ilmu, Yogayakarta, 2013, hlm. 14

ISO 26000 : Sebagai Panduan CSR

Jakarta, 30 April 2014 - Ujang Rusdianto - ISO 26000 merupakan pedoman awal bagi pengusaha maupun entitas organisasi dalam menjalankan tanggungjawab sosial mereka.
ISO 26000 secara resmi mendefinisikan CSR sebagai “tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang: konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional; terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.”
Prinsipnya didalam ISO 26000, CSR mencakup tujuah aspek. yaitu: (i) Akuntabilatis, membuktikan bahwa organisasi bersangkutan melakukan segala sesuatu dengan banar, (ii) transparansi, menyatakan dengan transparan seluruh aktivitasnya yang memiliki dampak bagi masyarakat dan lingkungan, (iii), perilaku etis, organisasi harus berperilaku etis dengan menegakkan kejujuran, kesetaraan dan integritas (iv) penghormatan pada pemangku kepentingan, dimana organisasi harus menghargai dan menanggapi seluruh para pemangku kepentingan atau stakeholder. (v) kepatuhan pada hukum, setiap organisasi harus mematuhi hukum yang berlaku (vi) penghormatan pada Norma Perilaku Internasional, dimana pada hukum nasionalnya atau implementasinya tidak mencukupi maka organisasi harus mengacu pada Norma Perilaku Internasional (vii) Penegakan Hak Asasi Manusia, dimana organisasi harus mengakui betapa pentingnya HAM serta sifatnya yang universal.
Setiap aspek dari ketujuh aspek SR (social responsibility) di atas terdiri dari berbagai komponen yang perlu menjadi perhatian oleh setiap organisasi, termasuk perusahaan dalam mengelola kebijakan dan program SR. Komponen-komponen dari setiap aspek SR tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, The Environment (Lingkungan), yaitu mencakup: pencegahan polusi, penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta perlindungan dan pemulihan lingkungan.
Kedua, Community Involvement and Development (Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat), yaitu mencakup: keterlibatan di masyarakat, penciptaan lapangan kerja, pengembangan teknologi, kekayaan dan pendapatan, investasi yang bertanggungjawab, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, dan peningkatan kapasitas.
Ketiga, Human Rights (Hak Asasi Manusia), yaitu mencakup: nondiskriminasi dan perhatian pada kelompok rentan, menghindari kerumitan, hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak-hak dasar pekerja.
Keempat, Labor Practices (Praktik Ketenagakerjaan), yaitu mencakup:  kesempatan kerja dan hubungan pekerjaan, kondisi kerja dan jaminan sosial, dialog dengan berbagai pihak, kesehatan dan keamanan kerja, dan pengembangan sumberdaya manusia.
Kelima, Fair Operating Practices (Praktik Operasi yang Adil), yaitu mencakup: anti korupsi, keterlibatan yang bertanggungjawab dalam politik, kompetisi yang adil, promosi tanggungjawab sosial dalam rantai pemasok (supply chain), dan penghargaan atas property rights.
Keenam, Consumer Issue (Konsumen), yaitu mencakup: praktik pemasaran, informasi dan kontrak yang adil, penjagaan kesehatan dan keselamatan konsumen, konsumsi yang berkelanjutan, penjagaan data dan privasi konsumen, pendidikan dan penyadaran.
Terakhir atau ketujuh, Organizational Governance (Tata Kelola Organisasi), yaitu mencakup: proses dan struktur pengambilan keputusan (transparansi, etis, akuntabel, perspektif jangka panjang, memperhatikan dampak terhadap pemangku kepentingan, berhubungan dengan pemangku kepentingan). Pendelegasian kekuasaan (kesamaan tujuan, kejelasan mandat, desentralisasi untuk menghindari keputusan yang otoriter).

Terintegrasi ke dalam Aktivitas Organisasi
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup tujuh isu pokok diatas. Hal terpenting, ketujuh prinsip nilai yang terkandung di dalamnya yang harus diterjemahkan di lapangan secara kreatif dan kontekstual. Kreatif berarti para pelaku usaha dituntut bisa menerjemahkan pelaksanaan CSR sesuai dengan kapasitas organisasi. Sementara kontekstual berarti dibutuhkan kepiawaian manajemen organisasi dalam menetapkan program SR yang relevan dan tepat sasaran.
ISO 26000 tidak dimaksudkan sebagai standar yang disertifikasi (conformity standard), tetapi lebih bersifat panduan bagi organisasi yang berminat untuk menerapkannya. Dengan menggunakan istilah Guidance Standard on Social Responsibility, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa ISO 26000 tidak hanya diperuntukkan bagi Corporate (perusahaan) melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat. 


Baca selengkapnya dalam “CSR Communication: A Framework for PR Practitioners; Ujang Rusdianto, Graha Ilmu, Yogayakarta, 2013, hlm. 14

Dilema Komunikasi CSR melalui Media Massa

Jakarta, 27 April 2014 (Ujang Rusdianto) - Informasi mengenai CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan kini dapat dengan mudah kita temui melalui berbagai saluran. Salah satu saluran yang banyak digunakan perusahaan untuk mengomunikasikan CSR adalah media massa.
Melalui media massa, program-program CSR dibentuk dan dikomunikasikan. Tujuannya antara lain, agar perusahaan mampu bersaing dengan yang lainnya, dan juga untuk menciptakan citra yang positif. Media massa sebagai saluran komunikasi bagi perusahaan, memang memiliki sejumlah fungsi strategis, diantaranya untuk memberikan informasi dan mempengaruhi pihak lain.
Sebagai salah satu eksternal stakeholder perusahaan, media massa dapat mempengaruhi reputasi perusahaan. Media menggambarkan perusahaan dengan pemberitaan di media, pemberitaan mengenai perusahaan tersebut dapat membentuk opini publik di masyarakat. Opini publik kemudian dapat mempengaruhi stakeholder-stakeholder perusahaan lainnya.
Dengan demikian media massa dapat menjadi salah satu indikator apakah reputasi organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk. Perusahaan sangat berkepentingan memiliki reputasi yang baik dari stakeholder. Melalui reputasi maka akan muncul kepercayaan, dengan kepercayaan ini maka perusahaan akan memperoleh dukungan dan bahkan kesetiaan dari para stakeholder. Seperti sebuah siklus yang pada akhirnya akan memberikan manfaat kepada perusahaan.

Dua Sisi Media Massa
Namun, ketika media masa mengekspos aktivitas CSR perusahaan secara berlebihan, hal ini dapat menguntungkan sekaligus merugikan perusahaan. Mengapa? Keuntungannya jelas seperti telah diuraikan sebelumnya. Di sisi lain, pada saat terjadi hal yang merugikan akibat dari berlebihannya informasi, maka organisasi akan menuai bencana. Tak jarang pemberitaan mengenai CSR yang ditampilkan media massa juga menuai kritikan. Kritikan itu datang pada perusahaan yang memanfaatkan komunikasi CSR untuk memoles kinerja yang sebenarnya biasa saja.
Bertolak dari kondisi di atas, media massa juga sering tampil kritis terhadap perusahaan. Hanya saja di balik sikap kritis itu ada beberapa media yang mengharapkan advertorial CSR. Meski media tersebut tidak memiliki rubrikasi atau halaman yang secara khusus untuk pembahasan CSR. Meski, ada pula media yang memang secara mendalam dan berkelanjutan membahas CSR.
Persoalan lainnya, kurangnya pemahaman media akan makna CSR itu sendiri menjadi salah satu tantangan pelaksanaan CSR kedepan. Dengan kondisi ini, pemberitaan mengenai CSR hanya ada kala isu mengenai sebuah perusahaan berembus. Oleh karena itu, media dalam hal ini juga perlu memahami CSR sebelum memberitakannya. 
Pemahaman yang tidak utuh atas eksistensi media massa dapat menyebabkan hubungan perusahaan dengan pelaku media memburuk, terutama ketika terjadi konflik. Represi dan eksploitasi–meminjam istilah Svetlana Tsalik (2005) yang dilakukan media terhadap perusahaan, faktanya lebih banyak disebabkan oleh miskomunikasi dan minimnya wawasan keduabelah pihak (pelaku media dan PR) dalam memahami tugas masing-masing atas sebuah peristiwa atau isu-isu krusial.

Motif Public Relations Mengkomunikasikan CSR

Jakarta, 26 April 2014 (Ujang Rusdianto) – Jika melihat konsepnya, motif dapat diartikan sebagai dorongan bertindak untuk memenuhi suatu kebutuhan, dirasakan sebagai kemauan, keinginan, yang kemudian terwujud dalam bentuk perilaku nyata (Kimble, et al, 1984).
Motif Komunikasi CSR merupakan satu penggerak perusahaan untuk mengkomunikasikan program CSR kepada pemangku kepentingan. Dengan kata lain, motif merupakan proses untuk tercapainya suatu tujuan perusahaan dalam melaksanakan CSR. Oleh karena itu, motif menjadi penting dalam setiap tindakan manusia.
Dalam konteks Public Relations, relasi diantara praktisi Public Relations dan publiknya adalah suatu tindakan sosial, dalam pengertian tindakan tersebut merupakan suatu relasi yang di dalamnya ada kebersamaan dan keberbagian makna yang saling dipertukarkan secara intersubjektif.
Tindakan sosial diantara pasangan Public Relations dan publiknya akan senantiasa berorientasi juga kepada hal-hal yang menyebabkannya melakukan sesuatu yang diperjuangkannya melalui tindakan yang dipilihnya. Dengan pemahaman ini, maka akan memiliki motif yang berorientasi masa depan atau masa lampau. 
Dua Motif PR
Menurut Schutz (1967; 86), terdapat dua macam motif yaitu : in order to motive dan because motive. Praktisi PR yang mempunyai because motive adalah mereka yang mempunyai motif melakukan kegiatan CSR karena kesadaran moral dan mereka yang prihatin pada masalah penduduk sekitar yang masih banyak membutuhkan bantuan materil. Praktisi public relations yang mempunyai in order to motive adalah mereka yang mempunyai motif melakukan kegiatan CSR karena mengikuti ketentuan pemerintah dan untuk membangun citra positif perusahaan.
Lalu bagaimana dengan motif Public Relations dalam mengkomunikasikan CSR? Jalal (2010) berpendapat, motif komunikasi CSR terdiri dari dua hal; Pertama, adanya motif intrinsik, manakala CSR dipandang bersifat tulus. Kedua, adanya motif ekstrinsik, manakala CSR kemudian dipandang sebagai cara untuk meningkatkan keuntungan. Pemangku kepentingan lebih menghargai motif intrinsik dibandingkan ekstrinsik. Namun, komunikasi CSR yang paling dihargai adalah mengombinasikan kedua motif tersebut. 
Hemat penulis, dalam berbagai aspek, motif ekstrinsik dan intrinsik ini saling berkaitan, sehingga dapat saja saling memperkuat atau melemahkan. Adanya pemberian penghargaan (reward), atau adanya tekanan sosial (social pressure) dapat memotivasi perusahaan untuk mengkomunikasikan CSR secara lebih terbuka dan berinteraksi dengan para pemangku kepentingan, begitu juga sebaliknya, dapat menimbulkan kehati-hatian dan menimbulkan adanya ketidaktransparan dalam pengungkapan CSR.

Mengapa CSR di Regulasi?

Jakarta, 25 April 2014 (Ujang Rusdianto) - CSR di Indonesia telah diangkat kedalam suatu hukum positif yang memiliki konsekuensi secara yuridis dalam pelaksanaannya. Jika dikaitkan dengan peraturan perundang–undangan tentang Perseroan Terbatas, CSR di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 yang merupakan revisi dari UU No. 1 Tahun 1995.

Penjelasan dalam Pasal 74 UU No. 40/2007 memuat unsur kewajiban bagi perseroan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam, dianggarkan sebagai biaya yang dilakukan dengan memperhatikan aspek “kepatutan dan kewajaran” serta bagi pelanggarnya dikenai sanksi dan pengaturan lebih jauh akan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah.
Selanjutnya dalam upaya menjalankan amanat UU No. 40/2007, secara resmi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 2 PP No 47/2012 dijelaskan bahwa setiap perusahaan sebagai subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Ditetapkannya PP ini sekaligus mengakhiri spekulasi tentang besaran dana yang harus dikeluarkan perusahaan. Seperti dijelaskan dalam Pasal 5 PP No 47/2012, perseroan dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan anggaran harus memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Sementara itu, realisasi anggaran dan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan perseroan diperhitungkan sebagai biaya perseroan.
Selain peraturan perundang-undangan di atas, semangat meregulasi CSR di Indonesia sangatlah kuat. Hal ini tercermin dari adanya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Menteri Negara BUMN No. 4 tahun 2007. Seperti diketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Selain itu Indonesia juga memiliki turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 tahun 2009).

Memaknai Regulasi CSR
Kesadaran bahwa ada wilayah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang diatur oleh berbagai regulasi maupun yang diluar itu, adalah suatu kemajuan berpikir dari pemerintah. Meski para pengamat CSR masih beranggapan bahwa regulasi terkait CSR belum secara eksplisit menjelaskan secara keseluruhan, hanya menyebutkan sebagian saja.
Lebih jauh lagi, mencermati banyaknya regulasi yang mengatur CSR di Indonesia, setidaknya ada dua hal yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan pengaturan CSR seperti dijelskan Daniri (2008) yaitu : Pertama, adalah keprihatinan pemerintah atas pratik korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang mengakibatkan kerugian di pihak masyarakat. Kedua, adalah sebagai wujud upaya entitas negara dalam penentuan standar aktivitas sosial lingkungan yang sesuai dengan konteks nasional maupun lokal. 
Sayangnya, regulasi formal yang dibuat oleh pemerintah ternyata tidak pernah cukup untuk menangani masalah yang timbul terkait sosial dan lingkungan. Dengan demikian, bagi perusahaan di Indonesia sangat penting disadari bahwa melaksanakan seluruh tuntutan regulasi yang berlaku di Indonesia tidak dapat dipandang telah ber-CSR. Jalal, dari Lingkar Studi CSR, mengungkapkan bahwa perusahaan yang hendak meraih posisi yang pantas di mata pemangku kepentingan memang harus bekerja keras untuk masuk ke dalam wilayah di mana bisnis mereka sudah sepenuhnya masuk ke dalam penciptaan nilai bersih positif bagi pemangku kepentingan (Majalah Bisnis & CSR, edisi 11-17 Juni 2012 : 67).

Melirik Pelaksanaan CSR di Timur Tengah


Jakarta, 24 April 2014 (Ujang Rusdianto) - Kebutuhan mendesak untuk pertumbuhan lapangan kerja adalah memacu tren inovatif dan inisiatif pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility), sebagai bentuk tanggung jawab organisasi pada stakeholder (pemangku kepentingan).
Di negara-negara maju , inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan ( CSR ) banyak berpusat pada isu-isu seperti kelestarian lingkungan, alternatif energi, kesejahteraan sosial, pemberdayaan masyarakat lokal dan lainnya. Dapat dikatakan, kegiatan ini telah banyak dilakukan perusahaan. Meski kondisinya masih menimbulkan pertanyaan, bagaimanakan hasilnya dari pelaksanaan CSR tersebut? Atau pertanyaan sebenarnya, apakah perusahaan sudah memiliki komitmen untuk menjalankannya secara berkelanjutan? Jika tidak, ini berarti hanya keinginan perusahaan untuk menarik sentimen konsumen yang kuat.
Itu di negara maju – termasuk juga di Indonesia sebagai negara berkembang. Bagaimana dengan di Timur Tengah dan Afrika Utara ( MENA ), CSR menjadi sesuatu yang secara fundamental berbeda. Mengapa? Pelaksanaan CSR banyak ditujukan untuk mengatasi tantangan sosial dan ekonomi yang menghambat pembangunan, terutama terkait kurangnya lapangan pekerjaan.
Skala pengangguran sangat besar di wilayah tersebut ( seperti di daerah-daerah berkembang lainnya dengan populasi muda ). Menurut World Economic Forum (WEF), Timur Tengah harus menciptakan 75 juta pekerjaan pada tahun 2020 - peningkatan 43 persen dari 2011. Kegagalan untuk mengatasi angka pengangguran, khususnya angkatan muda, berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial dan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, penciptaan lapangan kerja yang kuat dan berkelanjutan akan melahirkan kegiatan ekonomi yang lebih kuat dan stabilitas politik.
Namun, tanggung jawab untuk semua pertumbuhan lapangan pekerjaan ini memang seharusnya tidak hanya bergantung pada pemerintah. Dan yang harus disadari, salah satu kelemahan struktural dari banyak negara berkembang adalah kurangnya sektor swasta untuk mendorong perekonomian dan menyerap tenaga kerja. Dalam konteks ini, sektor swasta dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).  Di Jerman dan Perancis, misalnya , UKM menyumbang 60 persen dan 61 persen dari tenaga kerja angkatan muda. Bahkan, UKM memberikan kontribusi dari setengah PDB. 

Inovasi program di Timur Tengah 
Belajar dari negara-negara lain, pemerintah dan sektor swasta di Timur Tengah semakin menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan dalam membersihkan jalan bagi penciptaan UKM, khususnya bagi angkatan kerja muda. Misalnya, Departemen Tenaga Kerja di Arab Saudi telah mengidentifikasi 36 inisiatif, tujuh di bawah pengembangan , sebagai bagian dari proyek "UKM Ekosistem.
Inisiatif-inisiatif ini termasuk pemanfaatan teknologi dan informasi yang menyediakan informasi mengenai persyaratan untuk memulai usaha di industri yang berbeda, restrukturisasi proses pendanaan UKM , dan mendorong terciptanya akselerator. Accelerators  adalah program jangka pendek yang melibatkan beberapa pendanaan, pelatihan formal, dan akses ke para ahli dan mentor untuk membantu mengembangkan ide-ide UKM. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir setengah pemerintah di kawasan MENA telah menerapkan reformasi regulasi yang memudahkan untuk melakukan bisnis. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Dubai Internet City dan Frost & Sullivan, misalnya, menyatakan bahwa 2005-2011, jumlah startups di kawasan MENA tumbuh delapan kali lipat.

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538