Wujudkan Kedaulatan Energi

Jakarta, 19 April 2014 (Ujang Rusdianto) - Sejak 2008, perbincangan mengenai pentingnya kedaulatan energi semakin santer disuarakan banyak pihak. Kedaulatan energi telah dianggap sebagai pilar yang paling fundamental dalam membangun ketahanan nasional. Dengan bahasa lain, kedaulatan energi merupakan tulang punggung negeri. Senada dengan para pengamat – pengakuan jujur justru datang dari perusahaan asing di Indonesia melalui iklan mereka “kami adalah perusahaan energi terbesar di Indonesia”. Setidaknya hal ini semakin mempertegas - kedaulatan energi bangsa Indonesia yang sedang terjajah adalah sebuah fakta yang terang benderang. Oleh karena itu, Indonesia masih tetap harus berusaha lebih keras untuk sampai pada kedaulatan energi.

Menggapai Kedaulatan Energi
Seolah tidak ada habis-habisnya bila berbicara mengenai energi di negeri ini. Baik dalam hal pengelolaannya, penggunaannya, dan kebijakan yang ada di dalamnya. Energi fosil akan segera habis? Berganti gaya hidup dengan energi terbarukan? Sistem manajemen dan kebijakan yang merugikan di bidang Migas? Migas kita dikuasai asing? Dan segala pertanyaan ganjil lainnya mengenai carut marut masalah di bidang energi kita. Tapi, pertanyaan sebenarnya adalah, Apa sebabnya kedaulatan energi Indonesia terjajah?
Jawaban atas pertanyaan di atas, bisa jadi beraneka ragam. Sebagian pihak mungkin akan menjawabnya dengan Kepemimpinan yang lemah dan korup. Sebagiannya lagi menjawab dengan mentalitas dan paradigma, serta sistem pengelolaan Kapitalisme yang digunakan. Lain itu, dengan tegas I. Wibowo (2011) dalam bukunya yang berjudul “Negara dan Bandit Demokrasi” mengatakan, demokrasi sejatinya banyak menghasilkan masalah, bahkan masalah baru yang tidak akan pernah ada seandainya tidak dipraktikkan demokrasi. Tegasnya, demokrasi adalah sumber dari segala masalah.
Dewasa ini kondisi keenergian dan sektor energi nasional semakin menunjukkan wajah yang sesungguhnya. Ketahanan energi kita terbukti sangat rapuh - bila tidak ingin dikatakan memang tidak ada. Sektor energi nasional juga terbukti sangat karut marut dan tidak mampu mengatasi persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Berbagai bukti atas penilaian itu, tertekannya APBN karena pengeluaran subsidi energi yang terus membengkak.
Kebijakan energi yang kurang terarah juga tecermin dari langkah pemerintah mempromosikan penjualan sumber daya alam primer kepada investor asing, bukan menawarkan investasi untuk industri hilir yang bernilai tambah. Sebaliknya, Pemerintah Singapura, yang wilayahnya jauh lebih kecil dari Indonesia dan bukan penghasil minyak, menyadari arti strategis pembangunan kilang. Padahal, sebagai produsen minyak, Indonesia semestinya yang menjual jasa kepada negara lain, bukan sebaliknya.
Lain Singapura, Korea Utara telah menerapkan kedaulatan energi. Energi diletakkan sebagai kedaulatan negara sehingga apapun yang akan dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kedaulatan energi tersebut. Begitu juga dengan Kuba di mana masyarakatnya memanfaatkan energi dengan sebaik-baiknya dan menyadari betapa pentingnya energi.
Sejak 68 tahun Indonesia merdeka, penjajahan di Indonesia masih terus berlangsung – meski dalam bentuk lain. Harus diakui Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Lain itu Indonesia belum memiliki kedaulatan energi. Untuk yang terkahir ini, kedaulatan energi masih menjadi ironi bagi Bangsa Indonesia. Sesungguhnya Tuhan telah menganugerah kan sumber daya alam bagi negeri ini, tetapi mengapa kita belum dapat disebut daulat energi? Penguasaan energi migas dan minerba yang belum sepenuhnya dikuasai negara serta masih banyak daerah yang kekurangan energi, setidaknya telah mencerminkan hal tersebut. Kini, sepatutnya kita mempertanyakan sejauh mana kedaulatan energi kita?
Tentu untuk mewujudkan kedaulatan energi Indonesia, seluruh komponen bangsa harus meletakan persoalan energi sebagai bentuk kedaulatan negara dengan mengubah paradigma energi bukan hanya sebagai pendapatan dalam APBN. Dapat dikatakan menjadi hal yang percuma, bila kita ingin berdaulat - tapi tidak mengubah paradigma kita. Lebih jauh lagi, kedaulatan energi harus menjadi bagian dari kebijakan negara.
Inilah yang pernah diingatkan Presiden pertama RI, Soekarno, dalam pidatonya dengan mengatakan, "siapa yang kuasai energi dialah pemenang, sebab gerak yang dibutuhkan dunia ini bergantung pada energi". Senada dengan apa yang dikatakan Bung Karno, Ali Masykur Musa (2012), dalam sebuah tulisannya berjudul“Kedaulatan Energi adalah Kedaulatan Bangsa” berpendapat, negara yang besar adalah negara yang berdaulat. Salah satu unsur utama kedaulatan ada di bidang energi. Negara yang tercukupi energi primernya akan menjadi negara yang mampu menghegemoni negara lain.
Apa yang diungkapkan Ali masih jauh dari apa yang dialami Indonesia. Jangan kan untuk “menghegemoni”, memenuhi energi masih menjadi persoalan pelik bagi negeri ini. Nyata persoalan energi masih terjadi mulai hulu hingga hilir. Persoalan di hulu terkait dengan penguasaan sumber daya energi dan mineral, dengan dominasi asing yang sangat menonjol. Sedangkan di sektor hulu, lebih dari 2/3 wilayah kerja pertambangan migas dikuasai asing. Asing menguasai 88,8% pertambangan migas,75% tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah; 85% tambang tembaga dan emas; serta 50% perkebunan sawit (Sindo, 30 Oktober 2012).
Kontrol negara, yang ditunjukkan dengan penguasaan BUMN, hanya sekitar 10%. Artinya, kontrol terhadap cadangan dan produksi migas nasional tidak berada di tangan negara. Di sektor hilir, isu sentral sektor energi dan pertambangan adalah keterbatasan infrastruktur hilir. Di sektor migas, keterbatasan kilang minyak dan fasilitas pemurnian dan distribusi gas domestik telah mengancam ketahanan pasok (security of supply) energi dalam negeri. 
Setidaknya ada tiga pilar asasi yang dapat menjadi parameter dan harus diperhatikan dalam menyokong pemenuhan energi di masa depan, yaitu: kebijakan, investasi, dan teknologi (Jurnal Nasional, Kamis, 26 Jul 2012). Dalam hal kebijakan, sebenarnya pemerintah telah lama menggulirkan kebijakan untuk memacu pengembangan energi alternatif. Sebagai contoh adalah Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dari kebijakan ini, kemudian lahirlah beberapa kebijakan turunan yang disebut National Energy Mix of Indonesia 2025. Dengan demikian, seharusnya segala pola pengembangan sumber energi alternatif Indonesia harus bersandar pada kebijakan itu.
Yang menjadi persoalan, selama lima tahun keberjalanan kebijakan itu, pemerintah tampak tidak terlalu fokus pada pembuatan kebijakan energi alternatif yang kuat, alih-alih malah asyik dengan amandemen Undang-Undang Migas dan pewacanaan perubahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang tidak cepat-cepat diselesaikan. Disisi lain, beberapa sumber energi alternatif Indonesia yang juga tidak kalah erat diperebutkan dalam geopolitik energi internasional (panas bumi dan coal bed methane), sangat memerlukan sandaran kebijakan detil sedini mungkin agar dapat dikembangkan secara efektif dan mendapatkan kepastian hukum.
Pilar asasi selanjutnya adalah perbaikan iklim investasi. Menurut Prof Widjajono Partowidagdo, ada tiga faktor yang mempengaruhi pilar asasi ini: prospek lapangan, sistem fiskal dan birokrasi pemerintahan (Jurnal Nasional, Kamis, 26 Jul 2012). Sampai saat ini, situasi Indonesia masih belum sepenuhnya stabil sehingga membuat investor terkadang enggan menginvestasikan uangnya di Indonesia. Korupsi yang masih merajalela, kualitas kepastian hukum, permasalahan tanah, tumpang-tindih birokrasi, dan berbagai masalah lainnya merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan bukan oleh pemerintah saja, melainkan semua elemen bangsa Indonesia.
Pilar asasi energi terakhir atau ketiga, penguasaan teknologi. Di era modern saat ini, pilar asasi ini justru jarang diperhatikan pemerintah. Seharusnya, dengan adanya kekayaan alam dan banyak SDM di Indonesia dapat memacu keunggulan lain dibidang teknologi. Untuk mewujudkan pilar ini, kuncinya adalah ditingkatkannya kembali riset untuk penelitian dan pengembangan sebuah energi alternatif tanpa meninggalkan kondisi sosial, ekonomi, hukum, lingkungan dan politik di dalam masyarakat negeri ini. Hal ini dapat dipicu lewat pengembangan kreativitas riset berbagai perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia yang memiliki fokus pengembangan energi alternatif.
Lebih dalam lagi, jika bicara kedaulatan energi, Pertamina acapkali dijadikan ”tameng” untuk mengelola blok migas. Negeri ini seolah ”memaksa” Pertamina mengakuisisi semua blok asing tanpa menghiraukan karakteristik bisnis hulu migas. Padahal, Pertamina harus berhadapan dengan karakteristik bisnis berupa tingginya risiko, besarnya biaya, dan tuntutan teknologi.
Hal ini menjadi absurd ketika negeri ini memaksa Pertamina untuk mengakuisisi blok asing tetapi ternyata kita sendiri tidak mendukung operasi mereka. Bertambah absurd lagi ketika operasi seismik Pertamina dalam usaha menemukan cadangan hidrokarbon pun ditolak masyarakat setempat. Tampaknya, sebagai ”majikan”, negeri hanya menginginkan Pertamina bekerja semaksimal mungkin, tetapi segala risiko yang dihadapi harus ditanggungnya sendiri.
Dengan demikian, maka kedaulatan energi tidak ditunjukkan dengan melempar tanggung jawab ke pihak lain. Selama ini, kebijakan energi nasional tidak mengarah pada kelestarian sumber energi. Hal ini terlihat pada keleluasaan pihak luar mengeruk kekayaan dari bumi Indonesia. Kedaulatan energi sesungguhnya ditunjukkan dengan mengambil tanggung jawab mengelola sumber daya alam “sendiri” dengan belajar, bekerja, dan berusaha serta dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berpihak pada kepentingan nasional.
Landasan konstitusional dalam kegiatan usaha migas adalah Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Jelas disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realitasnya, di era Reformasi justru makna ”dikuasai negara” telah bergeser ke arah yang lebih praktis dan terbuka. Dengan segala keterbatasan - memang makna “dikuasai negara” tidak harus diartikan bahwa negara sendiri yang  langsung mengusahakan sumber daya alam. Namun aksentuasi “dikuasai negara” ini juga terletak pada bagaimana tindakan negara membuat kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber daya alam.         

Paradigma Pengelolaan Energi
Dalam konteks global, setiap negara di dunia saat ini berlomba-lomba membuat nilai elastisitas energinya terus turun. Elastisitas dan intensitas energi merupakan ukuran untuk melihat efisiensi energi. Denmark misalnya, mempunyai sejarah panjang untuk efisiensi energi dan mampu menjaga konsumsi energi nasional mereka secara konstan selama hampir 30 tahun - dari tahun 70-an hingga tahun 2010, yang nilainya hampir dua kali lipat Produk Domestik Bruto dalam periode waktu yang sama. Perilaku lebih efisien dalam pemanfaatan energi menjadi faktor utama (BPPT, 2012).
Lain Denmark, Jerman, Jepang dan berbagai negara lainnya bahkan nilai elastisitas mereka minus satu. Bagaimana dengan Indonesia? Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tahun 2012, menilai konsumsi energi bangsa Indonesia masih terlalu boros dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi nasionalnya, dengan nilai elastisitas di angka 2,02. Dengan demikian, konsumsi energi di Indonesia memang membutuhkan perubahan paradigma -  negara yang boros energi menjadi bangsa yang hemat energi. Bila bangsa lain mampu mewujudkannya, premis yang sama juga tentu dapat dilakukan negeri ini.
Yang menggembirakan, pemerintah telah berusaha mengubah paradigma pengelolaan energi nasional yang sebelumnya dititikberatkan pada sisi persediaan menjadi sisi permintaan (Tempo.Co, Senin, 11 Juni 2012). Sebelumnya pengelolaan energi didasarkan pada sisi supply dimana pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan energi, berapa pun jumlah dan biayanya melalui pengelolaan sumber energi fosil. Energi terbarukan hanyalah alternatif dan tidak diprioritaskan dalam eksplorasi maupun pemanfaatannya. Bertolak dari pandangan ini, penggunaan energi oleh sektor rumah tangga, industri, komersial dan transportasi sangat boros akibat kurangnya penekanan pada efisiensi energi
Agar lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan sumber daya energi, pemerintah memiliki strategi yang disebut Visi 25/25, yang secara garis besar merupakan tekad untuk “meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 25% pada tahun 2025.” Visi ini melampaui target sebesar 17% yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya dalam Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dimana saat ini pangsa energi terbarukan hanya sebesar 4% dari total sumber daya energi yang dimanfaatkan.
Lain itu, Visi 25/25 juga ditujukan untuk  “mengurangi permintaan energi sebesar 33,85% terhadap skenario keadaan normal (BAU/Business as Usual) pada tahun 2025.” Saat ini permintaan energi adalah sebesar 1,131 juta SBM dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 4,300 juta SBM. Dengan berbagai upaya diharapkan permintaan energi dapat ditekan menjadi 2,852 juta SBM (Kementerian ESDM, 2011). Lebih luasnya lagi, arah kebijakan utama pemerintah meliputi konservasi energi dan diversifikasi energi.
Secara sederhana, konservasi energi diartikan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dan pemanfaatan energi (Demand Side). Sedangkan diversifikasi energi untuk meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional (Supply Side). Selama ini, komitmen pengelolaan energi dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat memang masih dipertanyakan. Contoh klasik tampak ketika alokasi gas dan batu bara untuk dalam negeri tidak menjadi prioritas karena pertimbangan harga. Akibatnya, tak jarang perusahaan listrik nasional dan industri lokal menjerit kekurangan pasokan sehingga terpaksa memakai bahan bakar minyak sebagai energi alternatif pembangkit listrik yang pada ujungnya memunculkan inefisiensi.
Salah satu inisiatif pemerintah yang juga meliputi efisiensi energi adalah Clean Energy Initiative, yang merupakan upaya-upaya terintegrasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi fosil (Reducing Emissions from Fossil Fuel Burning disingkat REFF-Burn). Inisiatif ini adalah sebagai bentuk partisipasi pemerintah Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim. Presiden RI pada Forum G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat dan COP-15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Lebih lanjut, inisiatif Energi Bersih oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini ditujukan tidak saja untuk memenuhi target penurunan emisi nasional tersebut, tetapi juga dalam rangka ketahanan energi nasional secara berkelanjutan.
Selanjutnya dalam inisiatif ini, pengurangan emisi akan dilakukan pada tiga tahap yaitu: Pertama, Pre-Fossil Combustion. Pengurangan emisi pada tahap ini dilakukan melalui pencegahan dalam penggunaan energi fosil yang lebih banyak. Langkah yang dilakukan antara lain dengan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi dan fugitive emission reduction. Kedua, During Fossil Combustion. Pengurangan emisi pada saat pembakaran energi fosil dicapai melalui langkah-langkah seperti penggunaan clean coal technology, clean fuel technology, flared gas reduction dan pemanfaatan teknologi efisiensi energi pada sektor rumah tangga, komersil, transportasi dan industri. Ketiga, Post-Fossil Combustion. Pengurangan emisi juga dapat dilakukan setelah pembakaran energi fosil melalui langkah antara lain Carbon Capture and Storage, penggunaan algae, post mining reclamation dan pemanfaatan gas CO2 (Kementerian ESDM, 2011).

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538