Membumikan Ketahanan Energi Nasional

Jakarta, 18 April 2014 (Ujang Rusdianto) - Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Ketiadaan energi yang berkelanjutan, akan membuat pembangunan pada suatu negara tidak akan berkelanjutan pula. 


Peranan Energi Kedepan
Problematika energi bagi kelangsungan hidup manusia, kini merupakan masalah besar yang dihadapi oleh hampir seluruh negara - tak terkecuali Indonesia. Tidak lagi ditemukannya cadangan dalam jumlah yang besar disertai dengan meningkatnya konsumsi energi, menjadikan permasalahan energi menjadi problem yang perlu ditangani secara serius.
Bagi masyarakat modern, energi sangat penting untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Berbagai fungsi energi kemudian dimanfaatkan dalam kuantitas dan kualitas yang terus meningkat, mulai dari keperluan penerangan, rumah tangga, komunikasi, industri, transportasi, dan bahkan objek buatan manusia yang ditempatkan di angkasa. Berbagai bentuk kesulitan akan dialami jika akses pada energi kemudian dibatasi. Karena itu, upaya penyediaan energi tidak boleh putus.
Tidak hanya bagi manusia, energi sangat diperlukan dalam menjalankan aktivitas perekonomian suatu negara, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun aktivitas produksi berbagai sektor perekonomian. Lebih lanjut Yusgiantoro (2000 : 13) berpendapat energi sangat berperan pada peningkatan perekonomian makro suatu negara, secara signifikan terlihat bahwa konsumsi energi di suatu negara akan mempengaruhi tingkat output nasionalnya (PDB).
Sebagai sumberdaya alam, energi idealnya dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dan pengelolaannya harus mengacu pada asas pembangunan berkelanjutan. Lain itu akan sangat disayangkan, jika energi kemudian hanya dipandang sebagai komoditas, bukan sebuah aspek strategis yang menjadi GDP’s multiplier dan competitive advantage di kancah internasional.
Setidaknya peran strategis energi ini dapat kita amati dari aspek geopolitik dan produksi domestik. Menurut Friedman (2009) energi dan ekonomi migas telah memainkan peranan penting dalam konstelasi politik negara, regional dan sosial. Seperti yang ditunjukkan saat ini, dimana Petrodolar atau negara-negara penghasil migas memiliki pengaruh besar dalam lobi-lobi keputusan politik di semua negara.
Dalam pandangan Friedman, eratnya hubungan antara ekonomi energi yang diwakili minyak bumi dengan politik telah melahirkan hukum 1 Petropolitik (the first law of petropolitic) yang menyatakan bahwa “harga minyak bumi mempengaruhi kecepatan adopsi demokrasi dan perdamaian internasional.”
Sementara itu dari aspek produksi domestik, ketersediaan energi merupakan simbol kemakmuran suatu negara. Energi, tenaga kerja, modal, komponen inter-output dan faktor penyusutan merupakan faktor primer pendukung produksi domestik suatu negara. Sampai saat ini, pemenuhan kebutuhan energi nasional masih menjadi salah satu indikator penentu kemajuan suatu negara.
Dengan demikian, jelas energi memainkan peranan krusial bagi suatu negara. Menggaris bawahi hal ini, Dellecker dan Gomart (2011 : 1) mengungkapkan bahwa keberadaan energi dapat dikatakan merupakan manifestasi kekuatan suatu negara seperti politik, militer, ekonomi, hingga kekuatan teknologi. Secara spesifik dampaknya akan sangat terasa pada lingkup kehidupan ekonomi, sosial, dan political development.
Untuk menghindari krisis energi dimasa dating, maka perlu dioptimalkan pemanfaatan energi di Indonesia baik dari sisi pemanfaatan pasokan sumberdaya maupun pemanfaatannya. Karena itu, kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap energi harus pula diiringi kesadaran kita bersama sebagai warga negara akan perlunya efisiensi energi.

Konsumsi Energi di Indonesia
Kebutuhan akan Sumber Daya Alam (SDA) sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia. Berbagai sektor kehidupan masyarakat membutuhkan energi fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara) sebagai komponen penunjangnya. Saat ini, pertumbuhan konsumsi energi mencapai 7% per tahun serta ketergantungan pada energi fosil (minyak, gas bumi dan batu bara) yang masih tinggi (95,21%).
Meningkatnya penggunaan energi ini memberi implikasi langsung terhadap pertumbuhan dan permintaan akan energi di Indonesia. Disisi lain, pertumbuhan konsumsi energi ini harus berhadapan dengan fakta bahwa indonesia saat ini mengalami silent energy crisis – dimana minyak, gas bumi dan batu bara (minerba) yang sifatnya tak terbarukan semakin menipis dan habis.
Saat ini, Indonesia memang telah dilanda berbagai permasalahan krisis energi. Namun pertanyaan sebenarnya, dapatkah negeri ini mengulang kesuksesan kemandirian energinya kembali? Lebih jauh lagi, dapatkah Indonesia lolos dari jeratan ketergantungan minyak dari negara lain dengan pengembangan energi alternatifnya?
Seiring dengan peningkatan kebutuhan dan menipisnya cadangan minerba, kini minyak telah menjadi komoditas yang mahal dan persaingan untuk mendapatkannya juga cukup tinggi. Faktor ini bisa menimbulkan beberapa konflik antar bagi pemerintah berkuasa dengan warganya dan bahkan negara sebagai dampak ikutan dari pemenuhan kebutuhan energi.
Adanya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri ini, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kerap disebut kaya sumber energi. Kelangkaan energi ini kemudian menimbulkan beragam pendapat. Lagi-lagi lemahnya regulasi dan kebijakan terhadap sektor energi menjadi sorotan banyak pihak. Tetapi, tentu bukan itu saja persoalannya. Lemahnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah turut diiringi dengan pemanfaatan energi yang tidak tepat guna. Dengan kata lain, Indonesia masih boros energi.
Pemanfaatan energi yang boros di Indonesia setidaknya diperlihatkan oleh elastisitas energi yang tinggi. Elastisitas energi adalah perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju pertumbuhan ekonomi. Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien penggunaan energi di suatu negara. Tahun 2009, elastisitas energi Indonesia masih cukup tinggi yaitu  2,69. Sebagai perbandingan, menurut penelitian International Energy Agency pada tahun 2009, angka elastisitas Thailand adalah 1,4, Singapura 1,1 dan negara-negara maju berkisar dari 0,1 – 0,6 (Tempo.Co, Senin, 11 Juni 2012).
Indikator lainnya yang menunjukkan terjadinya pemborosan dalam pemanfaatan energi di Indonesia adalah intensitas energi. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi per Produksi Domestik Bruto (PDB). Semakin rendah angka intensitas, maka semakin efisien penggunaan energi di sebuah negara. Intensitas energi primer Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 565 TOE (ton-oil-equivalent) per 1 juta USD. Artinya, untuk meningkatkan PDB sebesar 1 juta USD, Indonesia memerlukan energi sebanyak 565 TOE. Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia adalah 439 TOE/juta USD dan rata-rata intensitas energi negara maju dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) hanyalah 164 TOE/juta USD.
Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi Indonesia adalah konsumsi energi yang meningkat dan cenderung boros, sedangkan cadangan energi fosil yang semakin menipis dan pengembangan energi alternatif yang lambat. Secara detail konsumsi energi di Indonesia dapat dilihat menurut sektor pengguna energi.
Pertama, sektor industri. Saat ini  sekitar 44% dari total energi di Indonesia digunakan oleh sektor industri. Jenis energi yang digunakan pada umumnya adalah minyak bumi, gas dan batu bara. Industri umumnya menggunakan  energi dalam jumlah besar untuk unit proses yang umumnya menggunakan banyak mesin dan membutuhkan panas dalam jumlah besar. Oleh karena itu efisiensi energi di sektor industri sangatlah penting dan berdampak besar. Walaupun efisiensi energi pada sektor industri terus mengalami perkembangan dan perbaikan, namun masih terdapat banyak potensi penghematan energi yang dapat digali.
Kedua, sektor transportasi. Tidak hanya pada sektor industri, sektor transportasi juga merupakan salah satu komponen yang membuat pemborosan energi terjadi. Menurut Indonesia Climate Change Trust Fund, penggunaan energi untuk transportasi di Indonesia meliputi 48% dari penggunaan energi total di tahun 2005, dan pada saat yang bersamaan, konsumsi bahan bakar indonesia tersebut menghasilkan sekitar 67 juta ton CO2 (ICCSR, 2010).
Ketiga, sektor rumahtangga. Sektor ini mengkonsumsi  sekitar 11% dari total energi di Indonesia. Pada sektor rumahtangga energi berfungsi untuk penerangan, memasak, pemanas dan pendingin ruangan serta berbagai kegiatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, upaya efisiensi energi di sektor ini sangatlah penting, bukan hanya untuk menghemat biaya pemakaian energi di rumah tangga tersebut, tetapi juga untuk mengerem pemakaian energi secara keseluruhan.
Terakhir atau Keempat adalah sektor komersial. Walaupun permintaan energi di sektor komersial hanyalah 4% dari total permintaan energi nasional, efisiensi energi pada sektor ini tetap menjadi prioritas. Tipe-tipe gedung komersial yang menggunakan banyak energi meliputi perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel dan rumah sakit. Umumnya energi yang digunakan oleh gedung komersial adalah untuk pengaturan suhu dan pencahayaan. Potensi penghematan yang dapat dicapai tentunya bergantung pada besarnya investasi perubahan yang dilakukan pada gedung.

Potensi Sumber Daya Energi
Sumber daya energi di Indonesia yang penting dan mempunyai peran strategis adalah minyak bumi, gas bumi dan batubara. Pada hakekatnya tiga sumber daya alam ini adalah sumber daya fosil yang sangat berharga bagi pembangunan nasional, yang mempunyai fungsi sebagai sumber energi dan bahan baku industri dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara.
Minyak bumi merupakan sumber daya hidrokarbon yang sangat berharga dalam proses industrialisasi. Pemanfaatan sumber daya hidrokarbon dalam bentuk minyak bumi ini untuk bahan bakar industri di dalam negeri akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dibanding ekspor minyak bumi. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi sekitar 4 miliar barel dengan laju produksi minyak saat ini sekitar 900.000 barel per hari (bph), dan konsumsi domestik minyak sekitar 1,3 juta bph (KOMPAS, 14 Maret 2012).
Selain memiliki kelebihan, setidaknya ada tiga persoalan yang muncul pada waktu pembakaran bahan bakar minyak. Ketiga hal tersebut yaitu : abu yang dihasilkan walaupun sangat sedikit sulit untuk membuangnnya; minyak mentah mempunyai sulfur yang cukup tinggi dan proses pembuangannya mahal; dan unsur Vanadium yang menyebabkan korosi yang cepat dari bahan-bahan ferous.
Berbeda dengan minyak bumi, gas alam mempunyai kelebihan dibanding dengan minyak, seperti mudah terbakar dan bercampur dengan udara secara baik, dapat terbakar secara bersih dengan sedikit abu, dan mudah transportasinya. Tetapi kekurangannya adalah sulit untuk menyimpan sejumlah besar energi dalam bentuk gas alam. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan gas bumi 104 tcf dengan laju produksi gas sekitar 1,5 juta barel setara minyak (bsm) dan konsumsi domestik gas sekitar gas 750.000 bsm (KOMPAS, 14 Maret 2012).
Sementara itu, Saat ini, Indonesia memiliki cadangan batu bara 21 miliar ton dengan laju produksi batu bara 340 juta ton dan konsumsi domestik baru bara sekitar 67 juta ton (KOMPAS, 14 Maret 2012). Sifat penting yang dimiliki batu bara yaitu memiliki kadar sulfur untuk menghasilkan energi. Sifat penting lainnya adalah daya tahan terhadap cuaca. Beberapa persoalan yang muncul pada waktu pembakaran batubara adalah gas CO2 yang menyebabkan penurunan kualitas udara dan abu yang terlepas ke udara jumlahnya lebih besar dari minyak dan gas.
Dalam memenuhi kebutuhan energi dan mewujudkan ketahanan energi nasional, salah satu kendala yang dialami Indonesia adalah baru memiliki cadangan operasional, belum mempunyai cadangan penyangga dan cadangan strategis. Kedua komponen ini sangat vital jika suatu negara terpaksa menghadapi kondisi di luar dugaan, seperti force majeure.
Sekalipun kualitas energi minerba mendapat banyak sorotan, bauran energi nasional masih didominasi oleh minerba. Berdasarkan teknologi dan pengetahuan saat ini, Indonesia diperkirakan hanya mampu memproduksi minyak bumi untuk 23 tahun, gas untuk 55 tahun dan batubara untuk 8 3tahun ke depan.
Berkaitan dengan minerba, maka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi masih perlu ditingkatkan, utamanya untuk merubah status cadangan potensial menjadi cadangan terbukti. Hal ini dilandasi bahwa cadangan operasional Indonesia dapat dikatakan masih kecil. Namun, diakui upaya melakukan eksplorasi pada cadangan-cadangan potensial memerlukan ketekunan dan biaya yang tinggi, disamping akan menghasilkan cemaran lingkungan akibat penggunaan energi untuk eksplorasi dan ekstraksi yang semakin tinggi pula.
Pada umumnya dalam konsep Energy Return on Energy Invested (ERoEI), energi fosil memiliki nilai ERoEI yang tinggi. Setidaknya hal ini disebabkan karena energi ini terkonsentrasi selama ribuan bahkan jutaan tahun. Konsentrat-konsetrat energi dalam wujud gas, cair, dan padatan ini pada umumnya lebih mudah diekstraksi dibandingkan mengusahakan energi terbarukan (KCET, 2013).
Lain itu McKay (2013) menjelaskan, bahwa perhitungan akan efisiensi eksplorasi energi minerba dapat didekati dengan metode production per unit effort (PPUE), dimana puncak kejayaan minyak bumi (peak oil) terjadi pada satuan usaha yang dikeluarkan dalam wujud jumlah pengeboran aktif (ring), sumur bor, dan investasi modal yang ditanamkan pada titik terendah untuk satuan produksi yang sama.
Eksplorasi dan eksploitasi minerba masih diperlukan Indonesia. Sekalipun biaya investasi yang diperlukan menjadi mahal. Hal ini disebabkan oleh postur minerba di dalam bauran energi nasional yang dominan, bahkan hingga tahun 2050. Oleh karena itu, eksplorasi dan eksploitasi masih menjadi salah satu solusi yang diperlukan di samping tindakan-tindakan konservasi energi.

Ketahanan Energi bagi Indonesia
Sebagai salah satu pilar dari sistem pertahanan negara, ketahanan energi dibutuhkan Indonesia sebagai pondasi untuk memperkuat ketahanan nasional demi tercapainya kepentingan nasional.
Saat ini, trend-nya juga telah memperlihatkan dimana negara - negara maju dan berkembang telah mengadopsi ketahanan energi. Adanya ketidakpastian dan kemungkinan krisis yang dapat dihasilkan oleh kelangkaan minyak, menjadi suatu alat untuk untuk memperkuat, ataupun mewujudkan ketahanan energi mereka.
Sementara itu, problematika terdependensinya Indonesia akan minyak, di beberapa sektor strategis seperti transportasi, industri, dan listrik, memperlihatkan bahwa ketahanan energi kita masih lemah. Jika hal ini dibiarkan tanpa dicarikan solusi, akibatnya bisa mengganggu struktur ketahanan nasional.
Di Indonesia konsep ketahanan energi sejatinya belum ada, karena saat ini cenderung baru berada pada fase permulaan krisis energi, dimana jika telah diatasi, situasinya akan berkembang ke tahapan resilience, atau kemampuan suatu negara untuk dapat bertahan dari goncangan, dan memperbaiki diri dari kesalahan.
Istilah ketahanan energi selanjutnya dapat diartikan sebagai daya tahan dan kemampuan suatu bangsa dalam menghadapi gangguan dan ancaman baik dari dalam maupun luar negeri, seperti bencana alam, eskalasi politik dunia, aksi terorisme, hingga perang. Adapun faktor – faktor yang meliputinya adalah ketersediaan energi, kemudahan akses ke energi, daya beli masyarakat, penerimaan suatu jenis energi, dan energi yang tidak merusak lingkungan. 
Dengan demikian, maka ketahanan energi Indoensia sangat terkait dengan kemampuan Indonesia agar tetap mampu bertahan, meski terdapat gangguan pada pasokan, akses, daya beli terhadap energi yang tidak mengganggu pertumbuhan perekonomian, serta pemanfaatannya diharapkan memberikan dampak yang jauh lebih positif pada lingkungan suatu negara tersebut.
Saat ini, Indonesia masih belum memiliki keseluruhan kemampuan dalam mewujudkan ketahanan energi. Memiliki ketahanan energi memang mahal dan sulit, tetapi tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain memulainya. Setidaknya terdapat enam langkah untuk mewujudkan ketahanan energi, yaitu akan diuraikan sebagai berikut :
§  Pemerintah perlu mengoptimalkan produksinya untuk konsumsi domestik. Hal ini tentu dengan harga yang pantas bagi kontraktor.
§  Pelaku usaha hilir/industri yang padat BBM, termasuk retailer BBM asing, sudah saatnya menaikkan cadangan operasionalnya.
§  Pemerintah dan DPR perlu memperketat dan mengawasi pemakaian BBM subsidi untuk mengantisipasi terganggunya pasokan crude dan BBM.
§  Untuk meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri, sebaiknya Pertamina bekerjasama dengan entitas bisnis asing yang bisa menjamin crude untuk intake kilang domestik secara kontinu.
§  Penghematan subsidi harus digunakan untuk penambahan sarana angkutan umum dan untuk kaum miskin yang layak dibantu.
§  Pemerintah didukung oleh DPR perlu segera menjalankan program diversifikasi BBM dengan energial ternatif, seperti bahan bakar gas untuk sektor transportasi serta energi baru dan terbarukan untuk listrik.

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538