Meneropong Komitmen CSR


Ujang Rusdianto, Jakarta, (11/03/14) - Banyak peristiwa dan publikasi CSR yang berseliweran dengan cepat di sekeliling kita, baik melalui media tradisional (televisi, media cetak, radio) maupun media online. Dari sekian banyak publikasi CSR, bagi penulis, sulit rasanya memaknai fakta dari berita-berita CSR yang dipublikasikan perusahaan.
Untuk mencocokkan antara publikasi CSR dan apa yang telah mereka lakukan, mau tidak mau, kita memang harus menganalisis lebih jauh dari isi berita CSR yang dipublikasikan perusahaan. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Bukankah berita tersebut dibuat berdasarkan fakta? Secara teoritis Ia, tetapi terdapat beragam motif perusahaan dalam mengkomunikasikan CSR mereka. 
Dengan menganalisis lebih jauh, setidaknya dapat memberi gambaran pada kita untuk mengetahui bagaimana CSR di praktikkan, apa motif perusahaan mengkomunikasikan CSR, dan segala pertanyaan lain yang dapat kita ajukan untuk membuktikan bahwa perusahaan yang mempublikasikan atau diberitakan oleh media massa telah memiliki komitmen menjalankan CSR secara berkelanjutan – atau seperti ungkapan di awal, CSR hanya digunakan untuk memoles kinerja perusahaan yang sebenarnya “biasa saja”.

Motif CSR Perusahaan
         Diakui, kegiatan CSR yang bersifat ad hoc sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar perusahaan. Perusahaan mulai menyadari bahwa ujung tombak inovasi dan mendapatkan manfaat dari kegiatan CSR adalah dengan ikut menanggulangi permasalahan sosial dan lingkungan sebagai kegiatan CSR yang diintegrasikan sejak awal kedalam bisnis perusahaan. Namun yang harus kita sadari, kecenderungan banyak perusahaan untuk mengedepankan keuntungan ekonomi bagi dirinya dibandingkan keadilan sosial dan lingkungan tetaplah besar. 
Dalam praktiknya, perusahaan bisa memiliki sikap yang didasarkan atas dua motif sekaligus dalam menjalankan CSR, yakni altruisme (mementingkan kepentingan orang lain) dan self interest (mementingkan kepentingan diri sendiri). Sayangnya, pendekatan altruisme belum menjadi mainstream oleh sebagian besar perusahaan. Sebaliknya, sebagian besar justru lebih mementingkan kepentingan perusahaan. Sikap self interest ini merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam praktek kedermawanan sosial perusahaan. Motif perusahaan dalam menyumbang seringkali tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan tanggung jawab moral, melainkan dalam bentuk pemberian dengan motif ; charity (amal atau derma), image building (promosi), tax-facility (fasilitas pajak), security prosperity (keamanan dan peningkatan kesejahteraan), atau bahkan money laundering. 
Sudah menjadi rahasia umum hukum bisnis adalah maksimalisasi modal. Namun, hukum populer di kalangan bisnis ini mulai banyak dikritisi. Alasannya, seringkali kemajuan bisnis tak diimbangi dengan kemajuan sosial. Apalagi kesadaran mutakhir mengatakan bisnis yang tak bisa berperan pada kemajuan sosial justru terancam keberlangsungannya. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah sosial dan lingkungan sekarang ini? perusahaan atau pemerintah? Pertanyaan ini pernah diungkapkan Profesor Alyson Warhurst dari Warwick Business School. Dari sudut pandang perusahaan, sepanjang perusahaan mematuhi kebijakan dan regulasi yang telah ditetapkan dan membayar pajak, maka perusahaan telah memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, maka apapun yang menjadi konsekuensi dari perilaku perusahaan yang legal haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah.

Menuju "The Responsible Business"
Regulasi formal yang dibuat oleh pemerintah ternyata tidak pernah cukup untuk menangani masalah yang timbul. Karenanya, perusahaan harus mengadopsi kenyataan bahwa ada dua bentuk perijinan yang harus dipatuhi oleh perusahaan agar dapat beroperasi dengan aman, yaitu ijin legal dari pemerintah dan ijin sosial dari masyarakat. Untuk memperoleh ijin sosial lah perusahaan harus melakukan kegiatan sosialnya.
Carol Sanford (2011) dalam publikasinya berjudul “The Responsible Business” mengungkapkan banyak perusahaan yang menyatakan dirinya ber-CSR sesungguhnya baru berada pada tahap The Responsibility Project.  Mereka harus dibuat maju melalui The Responsibility Program, untuk menuju The Responsible Business. Untuk sampai pada The Responsible Business, kerangkanya adalah manajemen pemangku kepentingan: customer, co-creators, Earth, community, dan investors.
Dengan demikian, inovasi bisnis dan sosial harus berimbang. Inovasi bisnis cenderung memaksimalkan profit. Inovasi sosial lebih mengacu pada pemberdayaan masyarakat, khususnya mereka yang tak maksimal mengakses hak-haknya. Untuk memiliki sesuatu yang bisa ”diamalkan”, perusahaan memang harus melakukan usaha dan menghasilkan keuntungan. Dengan makin banyak untung, maka makin banyak pula yang bisa diamalkan. Namun yang kurang disadari pimpinan perusahaan, tujuan akhir dari suatu usaha sejatinya bukan lah keuntungan. Keuntungan yang lebih besar harus pula disertai dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Sumber : dalam "Cyber CSR", Ujang Rusdianto, 2014 

Translate

More

Search This Blog

Ujang Rusdianto

Ujang Rusdianto
Consultant / Trainer / Public Speaker / Lecturer UMN / Owner Kasa 1 Indonesia

Kontak

Riveira Village
Jl. Riveira Barat No. 27
Tangerang, Banten
Telp : (021) 2222 8658
Mobile : 0878-3855-1988 (Whatsaap)
0821-1376-0538